Persoalan apakah boleh mudik atau tidak mudik ibarat dua sisi mata uang. Rakyat yang ingin mudik dan pemerintah yang harap harap cemas agar masyarakat tak mudik memiliki dalilnya masing-masing.
Dititik buntu ini, kualitas kepemimpinan Presiden Joko Widodo pun lagi-lagi diperhadapkan dengan ujian yang berat. Sebagai rakyat dan pimpinan rakyat keduanya berharap keputusan yang baik dan menentramkan.
Pemerintah menegaskan tidak melarang mudik lebaran saat pandemi Corona di Indonesia. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut mudik adalah tradisi dari zaman dahulu. Imbasnya pemerintah pun hanya memberikan imbauan kepada masyarakat agar tidak mudik.
Rumit  juga untuk memahami maksud pemerintah terkait mudik. Dilarang mudik tapi di iimbau agar tidak mudik. Ini klise dan diksi kebijakan yang membingunkan bagi saya.
 Mudik adalah tradisi nenek moyang. Sedari dulu mudik telah menjadi ritual tahunan manusia pribumi. Ia tak mengenal jarak dan waktu.
Asal ada kesempatan dan hari raya datang, ramai-ramai orang akan mengatur siasat menuju ke kampung halaman. Ahh bangsaku memang dewa mudik!!!
Tetapi dengan situasional sekarang, relevansi mudik pun akan teruji. Mampukah masyarakat dengan segala akal dan perasaannya mampu menahan kaki agar tidak mudik ditengah pandemi?
Ditengah wabah virus corona yang sudah menyebar ke semua wilayah Indonesia, perihal mudik atau tidak mudik seharusnya dapat diputuskan jalan keluarnya. Dalam hal ini saya ingin mengatakan, Jokowi selaku presiden mengeluarkan keputusan yang tegas.
Tegas dalam hal apakah orang-orang dibolehkan mudik atau tidak mudik ditengah pandemi tanpa melihat latar belakang sosial dan budayanya.
Presiden mengatakan bahwa mengizinkan orang untuk mudik. Ada dua kelompok yang menurut beliau tak bisa dilarang oleh pemerintah untuk mudik.
Kelompok yang pertama yaitu kelompok yang ekonominya terdampak langsung dengan sebaran virus ini dan kelompok yang kedua adalah kelompok yang mudik karena menjadikannya tradisi atau ritual tahunan.