Mohon tunggu...
Fergusoo
Fergusoo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Spe Salvi Facti Sumus

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Maaf Pak Jokowi, Kami Tidak Butuh "Darurat Sipil", Melainkan "Darurat Kesehatan"

31 Maret 2020   23:42 Diperbarui: 1 April 2020   16:22 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah sekian lama kasus pandemi covid-19 menghantui negeri, saat ini negara kita juga sedang mengalami berbagi permasalahan multidimensi. Mulai dari terjadinya perbedaan kebijakan antar daerah dengan pusat untuk pencegahan virus corona, ketersediaan APD untuk tenaga medis berupa masker dsb, lalu ketersediaan obat dan rapid test yang masih simpang siur dimana keberadaannya.

Belum selesai dengan itu, pemerintah yang dianggap gagap dan lambat bergerak mengantisipasi virus corona masuk negeri kini beraksi lagi dengan mengeluarkan kebijakan Darurat Sipil ditengah merebaknya  virus corona yang kasusnya semakin hari semkin menunjukan angka yang semakin cantik alias terus naik.

Banyak kalangan mulai dari aktivis, tokoh politik hingga para praktisi hukum menilai langkah Presiden Jokowi tersebut salah alias blunder untuk mengatasi pandemi ini. Sedangkan dari kalangan praktisi dan akademisi kesehatan beranggapan bahwa  upaya penanganan dengan menetapkan darurat sipil sejatinya hanya akan memperkeruh suasana dan menimbulkan ketakutan.

Kontra kebijakan yang diterapkan pemerintahan Presiden Joko Widodo sebenarnya bukan hanya sekali dua kali ini dinilai kurang tepat. Masih segar diingatan kita bagaimana paket kebijakan yang diterbitkan pemerintah lebih condong pada kegiatan perekonomian daripada penyiapan dan perbaikan serta evaluasi sistem kesehatan kita.

Carut marut kebijakan ini tentu akan berpeluang menciptakan keresahan dan kegelisahan dimasyarakat. Apalagi saat ini gejolak panic attack disertai dengan panic buying berpotensi menimbulkan kekacauan yang berujung kekerasan di lingkungan masyarkaat sipil.

Kebijakan Pembatasan  Sosial Berskala Besar  (PSBB) disertai Darurat Sipil untuk mengefektifkan penangan pandemi covid-19 sangat sarat dan tendensius dengan kewenangan yang disalahgunakan. Jika melihat dari sumber hukum penerapannya dan membandingkannya dengan keadaan yang sekarang rasanya kebijakan tersebut tidak sinkron dan tidak tepat.

Secara garis besar Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Penetapan Keadaan Bahaya diterapkan jika negara sedang mengalami tiga hal ini.

Pertama, keamanan atau ketertiban hukum di seluruh atau sebagian wilayah terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;

Kedua, timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga.

Ketiga, hidup negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan- keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.

Jika kita cermati secara saksama maka ketiga keadaan bahaya ini sebagai fondasi awal penerapan darurat sipil sangat bias dengan apa yang terjadi sekarang. Tentu relevansi perppu tersebut dengan upaya untuk melawan penyebaran virus corona juga semakin dipertanyakan.

Dua orang praktisi hukum Refli Harun dan Yusril Ihsa Mahendra juga kompak tidak menyetujui penerapan darurat sipil tersebut. Menurut Refli dalam laman kompas.com,  jika darurat sipil sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Penetapan Keadaan Bahaya diterapkan, maka pemerintah tidak wajib menanggung kebutuhan dasar warga.

Sedangkan menurut Yusril Ihsa Mahendra dalam laman twiternya menulis bahwa Pasal-pasal dalam Perppu No 23 Tahun 1959 yang mengatur Darurat Sipil itu tidak relevan dengan upaya untuk melawan merebaknya wabah virus corona. Pengaturannya hanya efektif untuk mengatasi pemberontakan dan kerusuhan, bukan mengatasi wabah yang mengancam jiwa setiap orang.

Satu-satunya pasal  relevan hanya yang berkaitan dengan kewenangan Penguasa Darurat Sipil untuk membatasi orang ke luar rumah. Ketentuan lain seperti melakukan razia hanya relevan dengan pemberontakan dan kerusuhan. Begitu juga pembatasan penggunaan alat-alat komunikasi tidak relevan, sambungnya.

Alih-alih menerapkan darurat sipil, saat ini yang kita butuhkan adalah darurat kesehatan. Mengapa? 

Karena yang saat ini terjadi adalah sektor kesehatan merupakan titik fatal yang sedang bergejolak. Korban meninggal dan angka kejadian kasus positif corona tentu menjadi api pemantik terjadinya kekacuan dan tertib sosial dimasyarakat. Oleh karena itu, darurat kesehatan harus dikedepankan ketimbang darurat sipil.

Dasar hukum pelaksanaan darurat kesehatan sebenarnya telah ada dan telah cukup kuat dijadikan landasan untuk bergerak. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Karantina Kesehatan.

Dengan dua produk hukum tersebut, pemerintahan Jokowi sebenarnya sudah cukup leluasa untuk mengatur keadaan masyarkaat agar mau patuh dan tunduk dengan semua langkah-langkah penerapan untuk pencegahan virus corona. Misalnya saja dengan pemberlakuan physical dan social distancing.

Hanya saja, tentu sebagai negara dengan jumlah penduduk yang banyak dan wilayah yang luas akan sangat mustahil jika penerapan social distancing dijalankan tanpa aturan turunan yang mengikat dan memaksa.

Penerapan Darurat Kesehatan sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah terhadap perlindungan rakyatnya merupakan hal yang harusnya segera ditempuh. Konsep dan perencanaannya bisa dimulai dengan melalukan karantina wilayah yang ketat disetiap pintu masuk dan keluar daerah.

Efektifitas ini akan tercapai jika diimbangi dengan penyiapan peralatan medis seperti APD, Rapid Test dan SOP yang berkualitas untuk tenaga medis selaku pelaksana tugas dari musibah ini. Nah dari sini, pemerintah juga harus bertanggung jawab terhadap kebutuhan dari masyarakat yang memberlakukan karantina wilayah. Mengingat kegiatan ekonomi akan berangsur-angsur surut dan mati.

Dengan penerapan darurat kesehatan juga, maka secara otomatis anggaran-anggaran yang selama ini dialokasikan untuk kesehatan dan bencana juga akan semakin meningkat. Hal tersebut bersumber dari pemotongan dan alih fungsi dana lain seperti proyek infrastruktur dan lain-lain untuk digunakan selama proses penanganan ini.

Manfaat lain yang bisa pemerintah dapatkan dengan pemberlakuan Darurat Kesehatan ialah semua masyarkat juga tentu akan lebih concern lagi untuk menjaga kesehatan dan mau untuk bekerja sama agar penularan dan pandemi covid-19 bisa kita kalahkan. 

Menggandeng masyarakat dan media sebagai bentuk kampanye perlawanan akan virus corona tentu akan menenangkan suasana dan ketenangan bagi masyarakat yang  sudah tidak betah dengan keadaan ini. 

Lekas pulih bangsaku!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun