Mohon tunggu...
Fergusoo
Fergusoo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Spe Salvi Facti Sumus

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Maaf Pak Jokowi, Kami Tidak Butuh "Darurat Sipil", Melainkan "Darurat Kesehatan"

31 Maret 2020   23:42 Diperbarui: 1 April 2020   16:22 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto (geloranews.com)

Dua orang praktisi hukum Refli Harun dan Yusril Ihsa Mahendra juga kompak tidak menyetujui penerapan darurat sipil tersebut. Menurut Refli dalam laman kompas.com,  jika darurat sipil sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Penetapan Keadaan Bahaya diterapkan, maka pemerintah tidak wajib menanggung kebutuhan dasar warga.

Sedangkan menurut Yusril Ihsa Mahendra dalam laman twiternya menulis bahwa Pasal-pasal dalam Perppu No 23 Tahun 1959 yang mengatur Darurat Sipil itu tidak relevan dengan upaya untuk melawan merebaknya wabah virus corona. Pengaturannya hanya efektif untuk mengatasi pemberontakan dan kerusuhan, bukan mengatasi wabah yang mengancam jiwa setiap orang.

Satu-satunya pasal  relevan hanya yang berkaitan dengan kewenangan Penguasa Darurat Sipil untuk membatasi orang ke luar rumah. Ketentuan lain seperti melakukan razia hanya relevan dengan pemberontakan dan kerusuhan. Begitu juga pembatasan penggunaan alat-alat komunikasi tidak relevan, sambungnya.

Alih-alih menerapkan darurat sipil, saat ini yang kita butuhkan adalah darurat kesehatan. Mengapa? 

Karena yang saat ini terjadi adalah sektor kesehatan merupakan titik fatal yang sedang bergejolak. Korban meninggal dan angka kejadian kasus positif corona tentu menjadi api pemantik terjadinya kekacuan dan tertib sosial dimasyarakat. Oleh karena itu, darurat kesehatan harus dikedepankan ketimbang darurat sipil.

Dasar hukum pelaksanaan darurat kesehatan sebenarnya telah ada dan telah cukup kuat dijadikan landasan untuk bergerak. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Karantina Kesehatan.

Dengan dua produk hukum tersebut, pemerintahan Jokowi sebenarnya sudah cukup leluasa untuk mengatur keadaan masyarkaat agar mau patuh dan tunduk dengan semua langkah-langkah penerapan untuk pencegahan virus corona. Misalnya saja dengan pemberlakuan physical dan social distancing.

Hanya saja, tentu sebagai negara dengan jumlah penduduk yang banyak dan wilayah yang luas akan sangat mustahil jika penerapan social distancing dijalankan tanpa aturan turunan yang mengikat dan memaksa.

Penerapan Darurat Kesehatan sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah terhadap perlindungan rakyatnya merupakan hal yang harusnya segera ditempuh. Konsep dan perencanaannya bisa dimulai dengan melalukan karantina wilayah yang ketat disetiap pintu masuk dan keluar daerah.

Efektifitas ini akan tercapai jika diimbangi dengan penyiapan peralatan medis seperti APD, Rapid Test dan SOP yang berkualitas untuk tenaga medis selaku pelaksana tugas dari musibah ini. Nah dari sini, pemerintah juga harus bertanggung jawab terhadap kebutuhan dari masyarakat yang memberlakukan karantina wilayah. Mengingat kegiatan ekonomi akan berangsur-angsur surut dan mati.

Dengan penerapan darurat kesehatan juga, maka secara otomatis anggaran-anggaran yang selama ini dialokasikan untuk kesehatan dan bencana juga akan semakin meningkat. Hal tersebut bersumber dari pemotongan dan alih fungsi dana lain seperti proyek infrastruktur dan lain-lain untuk digunakan selama proses penanganan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun