Badai isu nama Ahok dijadikan sebagai calon Kepala Badan Otorita berhembus kuat dilini masa. Saya bangga sekaligus panik.
Bangga karena karir Pak Ahok semakin melesat dan panik karena ini adalah aroma politik yang bisa menciptakan berbagai macam multitafsir  dan akan mengarah pada karir Pak Ahok sendiri.
Ibarat seorang Sahabat, ia tak akan menjerumuskan sahabatnya dalam kubangan kekelaman apalagi sel penjara seperti yang sudah pernah dialami pria kelahiran Belitung Timur ini.
Namun ada satu hal yang mesti digarisbawahi bahwasannya dalam politik, semua bisa terjadi. Tak ada kawan atau lawan yang abadi, begitu kata pujangga coba mengungkapkannya.
Berita keterpilihan Ahok menjadi Kepala Badan Otorita sangat mencuri perhatian massa. Salah satunya kubu sebelah, yang seperti cacing kepanasan jika melihat Ahok tampil lagi dipanggung pemerintahan ini.
Dari sekian nama mencuat beberapa nama lain yang sama kuatnya. Namun tentu saja kita tahu bahwa kedekatan Ahok dan Jokowi semenjak memimpin DKI, bukanlah hal mustahil jika nama yang  akan jatuh dan ditunjuk secara  langsung oleh presiden bisa saja Pak Ahok itu sendiri. Ada kedekatan dan kesepahaman dalam mengelola pemerintah. Itulah kira-kira cara untuk mengelaborasikan dua pemimpin nasional ini.
Bukan maksud menyepelekan pentingnya proses pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). Namun api semangat reformasi birokrasi dan transparansi di perusahaan BUMN Â terbesar ini jangan sampai terlalu cepat untuk padam.
Lalu mengapa Ahok harus ikut-ikutan terseret sebagai kandididat Kepala Badan Otorita? Bukankah pemerintah saat ini melalui Kementerian BUMN sedang fokus-fokusnya membangun dan mengelola Migas dengan lebih baik lagi? Bukankah BUMN juga katanya sedang melawan musuh terbesar di Pertamina, yaitu Mafia Migas?
Bukankah Bapak sendiri (Pak Jokowi) yang berkoar-koar berpidato untuk memerangi mereka? Atau itu hanya sekedar suara di panggung sandiwara saja?
Saya melihatnya dari isu yang berbeda. Pertama, boleh jadi Ahok dianggap orang hang paling cocok dan sesuai dengan visi kepemimpinan yang dibutuhkan oleh Presiden dan yang kedua adalah boleh jadi ini langkah yang halus dan lembut agar Ahok cepat-cepat pindah dari Pertamina. Apa karena pesanan mafia migas?
Jika sekiranya boleh, izinkan saya bertanya kepada para pembaca: manakah yang lebih urgent jika Ahok memimpin di Pertamina atau Menjadi Kepala Badan Otorita?
Memimpin Pertamina dan Menjadi Kepala Badan Otorita dua hal yang sama pentingnya. Tetapi dari sisi kebutuhan dan fokus kerja pemerintah yang ada saat ini, saya lebih banyak berharap Pak Ahok tetap mengurusi Pertamina.
Bukan maksud untuk mendangkalkan pikiran kita semua atau mengintervensi pemerintah agar menghapus nama Ahok dari bursa Kepala Badan Otorita. Namun ada hal yang lebih penting dan cocok untuk dikerjakan bagi seorang Ahok dinegeri ini.
Sebelum duduk di Pertamina dan namanya juga kuat disebut akan menjadi nahkoda baru di Pertamina, sejujurnya Pak Ahok telah berhasil membuat ketar-ketir para mafia migas.
Siapa yang tak mengenalnya? Orang-orang dari rakyat biasa hingga ke Pengusaha borjouis pasti paham akan watak dan gaya kepemimpinan Ahok sewaktu menjadi orang nomor satu di Balai Kota.
Beberapa ahli ekonomi dan pengamat ramai-ramai bertempik sorak akan keputusan ini. Citra pak Jokowi dan pemerintahannya pun juga terkena dampaknya. Masyarakat berharap orang jujur seperti Ahok bisa lebih lama memimpin pertamina atau kepalan tanggung sekalianlah beliau dijadikan Menteri saja, Pak Jokowi.
Soal siapa yang layak menjadi Kepala Badan Otorita ini tentu akan menarik kita pada titik krusial dengan sebuah pertanyaan, apakah proses tukar guling jabatan Ahok dari Pertamina menjadi Kepala Badan Otorita adalah sebuah skema istana untuk memindahkan Ahok secara halus?
Asumsi ini tentunya masih bisa diperdebatkan. Namun, kurang masuk akal jika nama Ahok harus masuk dalam bursa Calon Kepala Badan Otorita. Apakah negara dan Pak Jokowi sudah kehabisan nama dan kolega yang punya kapabilitas untuk menjadi suksesor pembangunan Ibu Kota Negara yang baru ini?
Saya rasa tidak. Ada begitu banyak Partai Politik dan Tokoh-Tokoh Nasional yang mendukung Pak Jokowi pada saat pencalonannya yang kedua beberapa waktu silam. Dan negara kita tidak sedang kekurangan Putra-Putri terbaik untuk melanggengkan rencana krusial tersebut.
Atau opsi lainnya yang mungkin dibuka kepada kita adalah Ahok diperbolehkan untuk mengurusi dua proyek besar tersebut. Namun ini bisa menciderai politik negeri kita. Mengingat hal tersebut sangat mengandung insinuasi bahwa ahok adalah anak emas dari pemerintahan ini. Bisa jadi pemerintah akan didemo lagi berjilid-jilid oleh gerakan anti ahok dan ini akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam political will pak Jokowi.
Harapan kita sebenarnya untuk mempertahankan Ahok hanya kepada Erick Thohir seorang. Biar bagaimanapun Erick Thohir sebagai Pejabat Tertinggi di BUMN paham betul sedang membutuhkan jasa dari Ahok.
Betul kata Pak Jokowi, pemerintah sedang tidak berbisnis. Pemerintah ingin mencapai sebuah harapan yang ditanamkan pada sila yang selalu kita gaungkan itu. Salah satunya adalah mampu mengelola tanah, air, laut dan udara untuk kesejahteraan rakyat maupun negara.
Pertamina yang sedang dalam kondisi pesakitan dan selalu gagal dalam menaikkan sumbangan terhadap APBN menjadi momok yang harus dientaskan. Mengingat sumber daya migas kita begitu banyak. Mafia tentu akan terusik dengan hadirnya Ahok.
Setelah KPK dilemahkan, apa kita juga harus kehilangan sosok Ahok sebagai penjaga aset-aset negara yang banyak dan mahal itu? Â Saya rasa tidak. Oleh karena itu, maaf pak Jokowi, Izinkan Ahok tetap memimpin Pertamina.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H