Mohon tunggu...
Fergusoo
Fergusoo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Spe Salvi Facti Sumus

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tak Apa Tidak Hafal Pancasila, asal...

7 Maret 2020   12:41 Diperbarui: 7 Maret 2020   12:52 1038
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kompas.com

Pengantar

Ajang Pencarian Bakat yang menjaring para putri-putri terbaik bangsa semalam digelar. Mereka akan diuji, dinilai dan ditantang untuk bisa menjadi Puteri Indonesia yang akan mewakili bangsa kita dalam ajang-ajang internasional seperti Miss Universe dan sekaligus menjadi representatif dari wanita-wanita Indonesia yang ada diera ini.

Tuntutan dan harapan kepada seorang Puteri  Indonesia sangatlah tinggi. Selain memiliki tubuh yang ideal, wajah yang cantik, rupa yang elok dan paras yang berkharisma juga adalah tuntutan luar yang mesti ada.

Dari dalam diri mereka diharapkan memiliki inner beauty sebagai Perempuan Indonesia yang memiliki jiwa revolusioner pun mampu menorobos stigma akan pandangan kaum patriarki dan tradisionalis terhadap lemahnya dan domestikasi yang disematkan kepada  kaum perempuan.

Ajang ini sudah beberapa kali digelar dan telah menghasilkan Puteri Indonesia yang cerdas nan rupawan. Mengutip Tirto.id, Ajang kontes kecantikan tahunan yang digagas oleh pendiri Mustika Ratu, Mooryati Soedibyo ini sudah diadakan sejak tahun 1992.

Setelahnya, sejumlah kontes kecantikan serupa bermunculan, beberapa di antaranya ialah Miss Indonesia yang mulai diselenggarakan MNC Group sejak tahun 2005, Miss Earth Indonesia yang diinisiasi sejak 2013 oleh Yayasan El John Indonesia, dan Miss Grand Indonesia yang baru akan dimulai tahun 2018 oleh Yayasan Dharma Ganitra Indonesia.  

Lalu sebelum memasuki babak akhir, Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo dipersilahkan untuk mengajukan pertanyaan kepada para finalis. salah satu finalis dalam jajaran Top 6, Kalista Iskandar tak berhasil melafalkan Pancasila dengan sempurna.

Seketika, namanya pun langsung viral. Disoroti media,  warganet pun memberikan komentar beragam. Ada yang menyanjung pun ada juga yang menuding bahwa Kalista Iskandar tak layak menjadi finalis Puteri Indonesia apalagi menjadi juara. Alhasil, kompetisi ini tidak berhasil ia raih. Pemenangnya jatuh kepada Maulida Putri

Refleksi dari Kalista Iskandar

Apa yang semalam terjadi bagi saya adalah hal biasa saja. Panggung itu memang dengan sekejap mampu menimbulkan rasa tegang dan nervous (gugup). Dalam rasa tegang, terkadang kita akan merasa tertekan dan memperlambat daya ingat di otak.

Melansir Healthline dalam laman Tirto.id, gugup adalah perasaan yang timbul karena tubuh merasakan stres. Tubuh akan merespons dengan melawan dari ancaman stres dengan meningkatkan produksi hormon adrenalin dalam tubuh.

Perasaan gugup merupakan respons alami terhadap suatu peristiwa ataupun kegiatan yang baru atau situasi yang berada di luar zona nyaman seseorang. Perasaan ini bersifat sementara dan akan hilang setelah stres berlalu.

Dari definis diatas rasanya terlalu terburu-buru jika kita langsung memvonis Kalista Iskandar tidak lafal dan hafal pancasila. Pancasila sebagai Ideologi bangsa seyogyanya bukan barang baru dibumi pertiwi ini. Dari kecil kita mengenal dan dikenalkan oleh Pancasila.

Lalu masalahnya apa?

Sejak masih di Taman Kanak Kanak, saya, kamu atau bahkan kita sudah diajarkan dan dikenalkan apa itu Pancasila. Setiap senin pagi biasanya, dalam upacara bendera. Salah satu ritual yang wajib kita lakukan selain mendengarkan lantunan pembacaan Pembukaan UUD 1945 adalah mengumandangkan pancasila.

Pancasila itu sudah kita kenal sedari dulu. Dari pengalaman dan riwayat kita inilah yang sebenarnya membuat orang merasa terkejut dan hampir tak percaya bagaimana mungkin seorang kandidiat Puteri Indonesia sampai tidak latah melafalkan pancasila. Akhirnya kita lalai dan latah juga memvonis Kalista Iskandar tidak layak untuk berada dipanggung itu semalam.

Kita pun juga pasti bertanya tanya. Apakah ajang sekelas Puteri Indonesia tidak melalukan penyaringan yang matang sehingga salah seorang pesertanya gagal dan gugup menyebutkan pancasila. Apalagi yang bertanya saat itu adalah Ketua MPR RI.

Lalu izinkan saya bertanya satu hal, apakah tidak menghafal pancasila berarti tidak pancasilaisis? Apakah jika tidak menghafal pancasila berarti saya tidak nasionalis dan tidak cinta tanah air? Apakah dengan tidak menghafal atau keliru mengucapkan pancasila kemudian dicap tidak taat hukum dan tidak menghargai ideologi yang telah digagas para founding father bangsa?

Jangan terlalu awal memvonisnya salah ferguso. Itu adalah sebuah langkah keliru.

Memaknai Ulang Pancasila

Pancasila sebagai dasar negara, ideologi bangsa, sumber dari sumber hukum dan pedoman dalam hidup berbangsa dan bernegara sedang dalam kondisi yang tidak nyaman. Mengapa?

Fenomena bangsa kita saaat ini ialah adanya benturan siapa yang paling pancasialis, sedikit kritis dan beda dianggap tidak nasionalis. Mengenakan cadar dan celana cingkrang dianggap radikal dan masuk radar terorisme. Semuanya dalam zona yang campur aduk dalam satu kolam yang sama. Sehingga sengketa dan diskusi tentang pancasila pun terus berjalan seiring perkembangannya.

Pemerintah pun melalui Presiden Joko Widodo menggagas Badan Pembina Ideologi Pancasila  (BPIP) sebagai salah satu alternatif agar eksistensi pancasila tidak dikalahkan oleh budaya asing dan tidak disalah artikan oleh kaum kanan yang dianggap sering menjadi pemecah bela bangsa.

Apa yang melanda Kalista Iskandar bukanlah sebuah hal yang patut untuk dicemoohkan. Mengapa? Karena dengan kondisi yang ada saat ini, kita mungkin saja tidak menghafal pancasila. Namun pertanyaan terbesarnya adalah sudah kah kita memahami dan melakui tiap tiap nilai yang ada pada Pancasila?

Misalnya saja bagaimana rakyat kita yang ada saat ini banyak yang tidak paham, lupa atau bahkan salah dan tertukar menyebutkan tiap sila dalam pancasila. Harapan dijadikannya pancasila sebagai ideologi bangsa adalah agar tiap tiap manusia di bumi pertiwi ini memiliki nilai-nilai luhur kebangsaan yang dijiwai  dengan spirit yang sama dan harus kita guguh dan tiru.

Pancasila itu bukan benda kaku. Ia fleksibel dan sangat bernas. Pancasila juga bukanlah bahan hafalan semata. Ia harus ada ditiap hati rakyatnya. Orang boleh-boleh saja menghafal dan latah mengucapkan pancasila, namun sudah seberapa dalam kah nilai-nilai pancasila itu kita hayati dan kita lakui?

Coba tanyakan kepada para warga negara kita yang saat ini menjadi kombatan isis, apakah mereka hafal Pancasila? Saya yakin mereka tidak akan mudah melupakan pancasila. Atau mungkin mereka lebih lancar dan latah dalam melafalkan pancasila ketimbang Kalista Iskandar.  Tetapi apakah perbuatan dan tindakannya mencerminkan nilai-nilai pancasila?

Dalam artikel ini saya ingin berkata bahwa tidak apa tak menghafal pancasila karena itu bukan esensi dan sensasi dari Pancasila itu sendiri. Esensinya adalah agar semua warga negara Indonesia dapat paham dan bisa hidup dalam rantai pancasila dan sensasinya adalah agar nilai-nilai itu terus menerus dilakukan oleh rakyat Indonesia.

Dalam hal lain saya juga tidak ingin berkata bahwa Boleh tidak menghafal pancasila. Itu juga keliru. Tetapi dahulukan menghayati dan melakui nilai-nilai pancasila, niscaya kamu akan hafal dan latah mengucapkan sila demi sila dalam pancasila.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun