Mohon tunggu...
Fergusoo
Fergusoo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Spe Salvi Facti Sumus

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Tara Basro, UU ITE, dan Kebebasan Berekspresi

6 Maret 2020   09:05 Diperbarui: 17 Februari 2021   10:32 4478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilutrasi foto (pexel.com)

Dunia secara implisit dan eksplisit mampu untuk kita terjemahkan. Penerjemahannya bisa dari berbagai perspektif dan persepsi. Pun juga semua bisa kita asumsikan. 

Namun siapa yang bisa menerjemahkan kebenaran. Kata Nieztche, Kebenaran Hanya ada di langit. Yah kebenaran itulah yang selama ini selalu tertutup awan tebal. Hingga langit pun selalu jauh dari pelupuk mata. Padahal di sana ada bintang dan rembulan yang selalu indah untuk kita tatap.

Hal serupa juga sedang terjadi di depan mata kita. Lagi-lagi kebenaran akan sebuah unggahan dan harapan harus berbenturan dengan kakunya sistem hukum dan gelapnya pandangan patriarki dibumi manusia ini.

Kita tentu saja bisa berargumen dan beda asumsi. Namun, sumber kebenaran itu hanya dimiliki dan diketahui oleh pemiliknya saja. Sekelumit pandangan kita tentang sesuatu sehingga titik terang selalu menjadi lorong gelap yang kita sendiri lupa bahwa tersesat adalah kondisi yang paling memilukan. Pun juga seorang manusia. 

Ilutrasi foto (pexel.com)
Ilutrasi foto (pexel.com)
Namanya Tara Basro. Sehari-hari berprofesi sebagai artis, MC, dan juga menjadi pembicara di beberapa acara diskusi. Ia aktif sebagai sosialita yang banyak membidangi berbagai ranah hiburan. Bagi saya, kadang secara diam-diam ia melemparkan singgungan revolusioner secara halus kepada sesama dara lainnya.

Sebagai sosialita dalam sela-sela kehidupannya, terbersit dalam pikirannya bahwa sosial movement dan positively mindset adalah kunci utama dalam memandangi diri sendiri.

Sehingga hasrat menimbulkan syukur itu ada. Ekspektasinya yang demikian ia haturkan kepada khalayak ramai dengan mengunggah sebuah foto dirinya sebagai sebuah contoh konkret.

Ilustrasi foto (akun twiter @tarabasro)
Ilustrasi foto (akun twiter @tarabasro)

Sebelum melanjutkan, izinkan saya melantunkan sebuah puisi indah untuk Tara Basro:

Kau wanita. Tulang tulangmu dari tulang tulangku.
Tak ada beda hanya perbedaan pada sela paha semata.
Kau kukagumi.
Tak bersolek kau pun tetap ku puji.
Sungguh.

Manusia lain bernama laki laki memandangmu dalam biji mata yang hitam
Rupamu pun juga jadi ikut-ikutan busuk tak seperti biasanya.
Apa yang mereka sanggah dari ekspresimu
Mereka hanya memandamg
dada dan mencari sela keindahanmu.

Tetaplah dengan keanggunanmu
Percayalah kau akan tetap kusanjung.

Jika kalian melihat foto di atas, akan terbersit seperti apa. Hanya memandang gambarnya saja, sebenarnya akan menimbulkan sebuah spekulasi yang tak terbendung seperti dampak virus Corona. Namun bukan itu maksud dari seorang pesohor seperti Tara Basro.

Dalam gambar itu ia sesungguhnya ia ingin menggemborkan sebuah semangat positif tentang tubuh wanita. Bagi saya ia sedang memerangi sebuah istilah body shaming  yang selama ini kerap menghantui banyak perempuan.

Wajar bila banyak kaum feminis geram dengan banyaknya vonis yang menghujani Tara Basro karena aksinya tersebut. Tidak hanya Tara Basro, influencer seperti Fiersa Beasri juga ikut berkomentar.

Dalam laman twiternya ia berkata bahwa tubuh Tara Basro sekilas hanya dijadikan objek sehingga yang melihatnya membenturkannya dengan kerangkeng hukum yang absurd.

Memang benar bahwa Tara Basro dalam fotonya itu menjadikan dirinya sendiri sebagai objek.

Yang terpenting di sini ialah bagaimana seorang Tara Basro yang dengan keadaan tubuhnya sekarang mengucap syukur akan hal itu lalu kemudian ingin berkata kepada orang-orang lain: Tak Ada yang salah dengan tubuhku. Saya bahagia dengan ini dan menerimanya. Tak penting apa yang dikatakan orang lain tentang saya. Saya bersyukur.

Nah itulah makna tersirat yang sedang ingin disampaikan oleh wanita ini. Sasarannya pun sebenarnya bukan kepada ajang untuk melakukan aksi pornografi dan melanggar UU ITE semata. Tetapi lebih kepada penyampaian gerakan moralitas kepada perempuan lain bahwa syukuri tubuh kalian dengan keapaadaan kalian.

UU ITE DAN KEBEBASAN BEREKSPRESI
Mendefinisikan foto Tara Basro dapat kita lihat dari dua corong. Yang pertama moralitas kebangsaan dan hukum yang mengikat.

Secara kaidah hukum, Kominfo menganggap bahwa foto Tara Basro melanggar UU ITE pasal 27. Mengutip laman Tirto.id, "Yang jelas kami melihat itu memenuhi unsur Pasal 27 ayat 1 tentang melanggar kesusilaan. Itu menafsirkan ketelanjangan. Foto yang ditampilkan itu, seperti yang tadi saya sampaikan, kami akan segera take down, tapi syukur-syukur sudah di-take down sendiri olehnya," ujar Kabiro Humas Kominfo Ferdinand Setu.

Setelah pernyataan ini, api kemarahan warganet memuncak dan foto Tara Basro di-like dan retweet oleh kalangan massa yang menolak tuduhan tersebut. Sejatinya, jika ada pihak yang merasa dirugikan oleh Tara Basro maka boleh saja menggugatnya. Namun bukan itu masalahnya.

Masalahnya adalah kebebasan berekspresi kita semakin dipersempit dengan hadirnya tali-tali pengekang yang multitafsir itu. Benturan ini sebenarnya membuat banyak kita yang kadang berbeda persepsi.

Contoh nyatanya saja pihak Kominfo sendiri. Setelah bawahannya berkata bahwa foto itu melanggar UU ITE, sang Tuan departemen, Johnny G. Plate (Menkominfo) pun berkata sebaliknya. Ia secara eksplisit membantah bahwa foto itu tidak melanggar UU ITE.

Beda pejabat, beda hal masyarakat. Jika melihatnya dalam ruang tradisionalis dan patriarki, tentulah foto itu akan menimbulkan hawa nafsu. Sekilas, foto itu mempertontonkan area tubuh yang sensitif. Payudara dan buah dada tertutup, namun paha, lengan dan area dada terekspose dalam filter abu-abu gelap yang kusut.

Menurut kalian, jika bukan seorang Tara Basro yang mengunggah foto tersebut, akankah badai dukungan dari masyarakat akan sebesar ini?

Itu adalah spekulasi. Namun seyogyanya yang perlu kita benahi di sini ada dua hal. Yaitu persepsi dan konstitusi.

Pertama ialah Perspesi tentang vulgar, pornografi dan susila perlu kita pahami lagi. Dalam hal ini adalah UU ITE yang dibuat akan sangat ditentukan oleh persepsi pembuatnya. Sehingga produk tersebut bisa menjadi belati yang bermata dua. Jika saja ada pihak yang melaporkan foto tersebut, tentu urusannya akan semakin panjang.

Sudah seyogyanyalah UU ITE tersebut kita buka lagi. Agar kunkungan sangkar multitafsir itu tidak membuat kita sulit untuk berekspresi. Secara eksplisit seorang Tara Basro bukan sekedar mempertontonkan foto vulgarnya, namun hanya sekedar menyebarkan sebuah ekspresi rasa syukur atas keapaadaannya.

Kedua adalah  konstitusi.

Konstitusi sejatinya harus membuka ruang untuk berekspresi.

Ekspresi nya pun juga harus dalam batasan yang jelas dan sesuai dengan kaidah kesusilaan dan budaya timur yang melekat pada kita. Saya tidak sedang menyalahkan UU ITE yang dipakai untuk menjerat foto Tara Basro.

Namun dalam area pandang yang lain saya ingin berkata kepada lemerintah bahwa UU ITE harus bisa menjadi pelindung bukan sebagai pentungan buta untuk memukul masyarakat. Ia harus kita letakkan pada area yang terang hingga langit yang indah itu selalu bisa kita pandang. Semoga saja pemerintah menjadikan momen ini sebagai sebuah refleksi akan UU ITE dan Kebebasan Berekspresi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun