Dunia secara implisit dan eksplisit mampu untuk kita terjemahkan. Penerjemahannya bisa dari berbagai perspektif dan persepsi. Pun juga semua bisa kita asumsikan.Â
Namun siapa yang bisa menerjemahkan kebenaran. Kata Nieztche, Kebenaran Hanya ada di langit. Yah kebenaran itulah yang selama ini selalu tertutup awan tebal. Hingga langit pun selalu jauh dari pelupuk mata. Padahal di sana ada bintang dan rembulan yang selalu indah untuk kita tatap.
Hal serupa juga sedang terjadi di depan mata kita. Lagi-lagi kebenaran akan sebuah unggahan dan harapan harus berbenturan dengan kakunya sistem hukum dan gelapnya pandangan patriarki dibumi manusia ini.
Kita tentu saja bisa berargumen dan beda asumsi. Namun, sumber kebenaran itu hanya dimiliki dan diketahui oleh pemiliknya saja. Sekelumit pandangan kita tentang sesuatu sehingga titik terang selalu menjadi lorong gelap yang kita sendiri lupa bahwa tersesat adalah kondisi yang paling memilukan. Pun juga seorang manusia.Â
Sebagai sosialita dalam sela-sela kehidupannya, terbersit dalam pikirannya bahwa sosial movement dan positively mindset adalah kunci utama dalam memandangi diri sendiri.
Sehingga hasrat menimbulkan syukur itu ada. Ekspektasinya yang demikian ia haturkan kepada khalayak ramai dengan mengunggah sebuah foto dirinya sebagai sebuah contoh konkret.
Sebelum melanjutkan, izinkan saya melantunkan sebuah puisi indah untuk Tara Basro:
Kau wanita. Tulang tulangmu dari tulang tulangku.
Tak ada beda hanya perbedaan pada sela paha semata.
Kau kukagumi.
Tak bersolek kau pun tetap ku puji.
Sungguh.
Manusia lain bernama laki laki memandangmu dalam biji mata yang hitam
Rupamu pun juga jadi ikut-ikutan busuk tak seperti biasanya.
Apa yang mereka sanggah dari ekspresimu
Mereka hanya memandamg dada dan mencari sela keindahanmu.