Mohon tunggu...
SONY JEREMIA
SONY JEREMIA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Melihat Memahami dan Menulis adalah jalan yang saya pilih agar orang lain mengerti apa yang saya pikirkan melalui tulisan saya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sishankamrata dalam Upaya Menjaga Kedaulatan NKRI dan Melindungi Laut Natuna dari Klaim Sepihak China

31 Mei 2024   18:57 Diperbarui: 31 Mei 2024   19:16 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kapal Patroli China di laut Natuna Sumber photo: M. Risyhal Hidayat (2020)

Terancamnya kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), akhir-akhir ini sedang ramai diperbincangkan oleh khalayak ramai. Kedaualatan adalah hak eksklusif untuk menguasai suatu wilayah, pemerintahan dan masyarakat sendiri tanpa campur tangan oleh pihak luar manapun. Oleh karena itu, kedaulatan sangat penting bagi suatu negara agar memiliki kendali penuh untuk mengurus negaranya sendiri dalam suatu wilayah geografis dengan lembaga yang memiliki yurisdiksi hukum sendiri (Jean Bodin, 1596).

Ancaman kedaulatan NKRI yang paling nyata saat ini adalah konflik Laut China Selatan. Klaim sepihak oleh China terhadap Laut Natuna Utara mengakibatkan ancaman yang sangat berat bagi keutuhan wilayah NKRI. Konsep Nine Dash Line menjadi acuan utama China untuk memperoleh wilayah perairan tersebut. 

Nine Dash Line sendiri adalah garis putus putus yang dimunculkan pada peta negara China pada Perang Dunia II untuk menandai daerah kekuasaan China pada masa itu. Dengan acuan ini, maka China mengklaim bahwa setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, maka seluruh wilayah kekuasaan China yang telah menjadi daerah kekuasaan Jepang dikembalikan secara otomatis dengan hukum serta otoritas pihak Sekutu sebagai pemenang perang.

Hal ini tentu tumpang tindih dengan konvensi P BB tentang Hukum Laut Internasional (UNCLOS) pada tahun 1982. Pada kesepakatan ini sudah jelas diputuskan bahwa perairan Natuna adalah Zona Ekonomi Eklusif Indonesia (ZEEI). Maka dari itu Indonesia berhak melaksanakan kegiatan ekspolarasi dan ekploitasi sumber daya laut di daerah perairan ini. 

Fakta dilapangan menunjukkan bahwa China melayangkan protes terhadap kegiatan pengeboran minyak dan gas alam di wilayah Kepulauan Maritim dan larangan penangkapan ikan di zona penangkapan ikan tradisional (Traditionals Fishing Ground) China.

Dari banyaknya masalah tersebut, baik Indonesia dan China sama sama belum menyatakan diri bersengketa. Justru posisi Indonesia saat ini adalah sebagai mediator yang jujur terhadap konflik Laut Tiongkok. Dengan demikian dapat disimpulkan China masih menyatakan bahwa negaranya masih membutuhkan negara Indonesia uutuk menyelesaikan masalah tersebut. 

Tetapi apabila negara China terus menerus melayangkan protes mengenai Laut Natuna, maka Indonesia harus dengan tegas mengubah posisi sebagai negara yang berkonflik dengan China seperti Filiphina, Vietnam, Malaysia dan Brunei Darussalam.

Bukti nyata bahwa China tidak bermain main dengan protesnya terhadap kegiatan pengeboran dan penangkapan ikan di perairan Laut Natuna adalah dengan adanya keberadaan Kapal CCG 5901. Kapal CCG 5901 adalah kapal penjaga Pantai terbesar di dunia dan sudah berlayar di perairan maritim Indonesia dan Vietnam sejak 30 Desember 2022. Hal ini ditanggapi oleh KSAL Laksamana Muhammad Ali (2023) dengan menyiagakan kapal Angkatan laut dan pesawat patroli untuk memantau pergerakan kapal monster tersebut.

Tetapi langkah untuk berjaga-jaga bukanlah langkah paling efektif yang bisa kita laksanakan. Upaya yang harus kita laksanakan adalah dengan mengupayakan Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (SISHANKAMRATA). Solusi yang paling memungkinkan adalah dengan melaksanakan diplomasi mengenai tanggapan PBB mengenai klaim Nine Dash Line China. Diplomasi ini harus menuntut penolakan dan penghapusan konsep Nine Dash Line. 

Hal ini dikarenakan China adalah salah satu negara yang ikut menandatangani konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) pada tahun 1982. Perlu ketegasan dan kejelasan yang resmi terhadap pihak China mengenai klaim atas konsep ini karena tidak tercantum didalam kesepakatan yang ditanda tangani.

Kapal TNI AL yang sedang berpatroli di kawasan Laut Natuna (Achmad Richad, 2021)
Kapal TNI AL yang sedang berpatroli di kawasan Laut Natuna (Achmad Richad, 2021)

Selain itu upaya pengamanan dan patroli baik dari TNI Angkatan Laut dan Bakamla perlu ditingkatkan. Bukan hanya didaerah ini, tetapi diseluruh wilayah NKRI. Penambahan jumlah unit kapal yang berpatroli dan alutsista yang dilakukan di Kawasan ini menunjukkan bahwasanya Indonesia tetap menjaga daerah kekuasaannya. 

Peningkatan sarana dan prasarana pertahanan harus dilakukakan dalam upaya mendukung upaya mempertahankan wilayah kedaulatan. Sarana dan prasarana yang dimaksud adalah peningkatan jumlah pangkalan udara dan pangkalan laut beserta Alusista dan personal yang ahli didalamnya. Peningkatkan kualiatas alutsista seperti memperbesar kualiatas kapal patroli dari yang kapal patroli kecil ke skala besar juga berpengaruh dalam peningkatan upaya pertahanan.

Selain peningkatan Angakatan bersenjata yang kita miliki, peran ketegasan pemerintah dalam mengambil sikap terhadap kerjasama di Laut Natuna perlu ditekankan. Pemerintah harus dengan menolak seluruh ajakan kerjasama di Laut Natuna, karena apabila dilaksanakan kerjasama dengan China maka seolah olah kita akan mengakui keberadaaan dan hak China atas wilayah perairan tersebut.

Tetapi tidak hanya TNI dan pemerintah yang perlu melayangkan usaha dalam menjaga keutuhan wilayah NKRI ini. Seluruh masyarakat berperan penting dalam upaya penanganan masalah ini. Mulai dari para nelayan yang harus semakin gigih untuk berlayar dan menangkap ikan di wilayah perairan Natuna. 

Tindakan ini akan menunjukkan bahwa kita memiliki eksistensi dan memberdayakan wilayah perairan kita. Sektor pertambangan juga harus tetap kita laksanakan untuk menunjukkan kita tidak berpengaruh terhadap gencatan dan protes yang dilaksanakan oleh China. Dan bagi seluruh masyarakat Indonesia kita harus terus bersama-sama bersuara dan mengawal permasalahan ini dengan terus belajar dan memperkuat diri kita sesuai bidang dan profesi yang kita kuasai.

Memang negara kita adalah negara yang cinta akan perdamaian, tetapi bukan berarti kita menjadi tidak awas terhadap kedaulatan negara kita. Diplomasi akan terus dilayangkan mengenai pengakuan terhadap perairan Natuna adalah Zona Ekonomi Eklusif Indonesia. Tetapi kita harus tetap menanamkan semangat bela negara bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Memang benar sekarang China belum melaksanakan gencatan senjata dan hanya melaksanakan protes dan patroli, tetapi kita tidak tahu sewaktu-waktu akan menyerang. Oleh sebab itu, kita tidak boleh lengah dan terus mempersiapkan diri. Jangan berpangku tangan seluruh rakyat Indonesia harus siap sedia apabila Ibu Pertiwi sudah memanggil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun