Mohon tunggu...
Sony Hartono
Sony Hartono Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang Pria Yang Hobi Menulis

Kutulis apa yang membuncah di pikiranku

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Kebijakan Perpajakan Perlu Mengantisipasi "Endowment Effect"

30 Oktober 2018   21:19 Diperbarui: 31 Oktober 2018   11:21 1332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Warta Kota - Tribunnews.com

Rasio penerimaan pajak penghasilan orang pribadi di Indonesia masih relatif rendah dibandingkan negara-negara maju ataupun G-20. Meskipun menunjukkan tren yang  positif dari tahun ke tahun terkait penerimaan pajak penghasilan orang pribadi, jumlah penerimaannya jauh dari potensi wajib pajak orang pribadi yang ada.

Kepatuhan dalam membayar pajak dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah tingkah laku masyarakat. Kewajiban dalam membayar pajak tentunya mengurangi kepemilikan seseorang atas asetnya. 

Ada fenomena menarik pada tingkah laku masyarakat jika terkait dengan unsur kepemilikan. Salah satu hal yang mempengaruhi masyarakat dalam menyikapi kepemilikannya atau aset-nya yaitu endowment effect. 

Endowment effect terjadi ketika seseorang menilai secara berlebihan barang atau aset yang dimilikinya sehingga berakibat keengganannya untuk melepas atau menjual aset tersebut dengan harga pasar yang berlaku, misalkan barang-barang koleksi yang mempunyai nilai historis tersendiri bagi pemiliknya. 

Endowment effect merupakan suatu hal yang wajar dimiliki oleh setiap anggota masyarakat, tetapi implikasinya akan jauh berbeda jika berhubungan dengan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Salah satu kewajiban itu adalah terkait dengan perpajakan.

Endowment effect jika dikaitkan dengan kewajiban perpajakan bisa diasosiasikan dengan efek yang muncul karena keengganan masyarakat untuk membayar pajak atas penghasilan yang diterima. Keengganan itu muncul dikarenakan masyarakat mengganggap uang mereka sangat berharga dan diperoleh dengan kerja keras, sehingga untuk diambil sebagian dan dibayarkan ke negara dalam bentuk pajak sebagai kewajibannya. Dalam menyikapi hal tersebut, tidak jarang mereka melakukan berbagai macam usaha untuk melakukan manipulasi pelaporan SPT ataupun penghindaran pajak sebagai bentuk ketidakrelaan dalam membayar pajak.

Menurut Kahneman et.al.(1991) ketika seseorang sudah memiliki sesuatu, dia enggan untuk kehilangannya. Begitu pula yang terjadi ketika seseorang mendapatkan penghasilan bruto (belum dipotong pajak) akan merasa penghasilan itu sepenuhnya merupakan milik yang bersangkutan. Ketika tiba saatnya untuk menunaikan kewajibannya dalam membayar pajak, orang tersebut merasa tidak rela untuk mengeluarkannya, terlebih jika dia merasa tidak mendapatkan benefit secara langsung dari pemerintah sebesar pajak yang telah dibayarkannya.

ilustrasi : youtube.com (channel Qhat)
ilustrasi : youtube.com (channel Qhat)
Endowment Effect dalam perpajakan dapat diminimalisir jika pemerintah menerapkan salah satu asas perpajakan yang dikemukakan oleh Adam Smith yaitu asas "Convenience" atau asas Kenyamanan. Asas ini mensyaratkan bahwa membayar pajak itu harus nyaman, dalam artian pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah harus berdekatan atau bersamaan ketika wajib pajak mendapatkan penghasilan. 

"Pay as You Earn", bayar sesegera mungkin ketika telah mendapatkan penghasilan. Konsep Pay as you earn ini dengan sangat baik diterapkan di beberapa objek pajak penghasilan, yang lebih dikenal dengan withholding tax. 

Withholding tax yang mana pemungutannya dilakukan langsung oleh pihak ketiga, sangat memudahkan dan mengeliminasi kemungkinan efek negatif dari endowment effect. Negosiasi kotor antara wajib pajak dengan aparat pajak juga bisa diminimalisir. Ketika witholding tax dikombinasikan dengan pajak yang bersifat final, maka hasil yang ada adalah kepatuhan wajib pajak yang sangat tinggi, dalam artian "dipaksa" oleh sistem secara otomatis. Biasanya pajak yang diberlakukan seperti itu mempunyai tarif yang rendah sehingga tidak memberatkan wajib pajak. Contoh riil adalah pajak penghasilan atas transaksi penjualan saham di bursa yang termasuk withholding tax dan bersifat final. Wajib pajak pun tidak perlu repot-repot lagi memasukkan penghasilan dari jualan saham tadi dalam perhitungan pendapatan kena pajak saat pelaporan SPT Pajak. Dengan tidak adanya kesempatan pajak mengendap dalam "rekening" si wajib pajak, akan meminimalisir terjadinya endowment effect, si wajib pajak tidak terasa telah menunaikan kewajiban perpajakannya.

Pemerintah tidak bisa menafikkan begitu saja fenomena endowment effect yang ada di masyarakat, karena sebagian besar, atau bahkan hampir semua manusia punya kecenderungan enggan melepas asetnya, hanya kadar keengganannya yang berbeda-beda. Kadar keengganan yang tinggi jika terkait dengan kewajiban perpajakan tentunya akan berimplikasi terhadap upaya penghindaran pajak yang masif.

Sudah banyak bukti, bahwa aktivitas ekonomi masyarakat, tak terkecuali dalam pembayaran pajak sangat  dipengaruhi oleh tingkah laku masyarakatnya atau yang lebih populer disebut behavioural economic. 

Behavioural economic saat ini semakin banyak dikaji, bagaimana tindakan-tindakan irrasional yang salah satu contohnya adalah endowment effect itu sangat berpengaruh terhadap perekonomian suatu negara. 

Thaler peraih Nobel bidang ekonomi yang selama puluhan tahun mengkaji tentang behavioural economic membenarkan bahwa perilaku-perilaku irrasional yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi secara signifikan berpengaruh terhadap aktivitas perekonomian di suatu negara, termasuk perilaku wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan.

Sudah saatnya dalam membuat kebijakan perpajakan, Pemerintah harus lebih banyak mempertimbangkan sisi behavioural economics tidak sekedar dengan variabel-variabel ekonomi standar (konvensional), agar bisa secara lebih komprehensif menelurkan kebijakan yang efektif, efisien, sekaligus tidak membebani bahkan menakut-nakuti masyarakat. Syukur-syukur masyarakat bisa sadar pajak dan menunaikan kewajiban perpajakannya tanpa paksaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun