Mohon tunggu...
Sony Hartono
Sony Hartono Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang Pria Yang Hobi Menulis

Kutulis apa yang membuncah di pikiranku

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Pohon sebagai Pengurang Pajak

29 Oktober 2018   00:36 Diperbarui: 30 Oktober 2018   14:31 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pohon Baobab yang mampu hidup ribuan tahun (Dmitry_Saparov/Thinkstock)

Tentu saja judul di atas hanya sebatas fiksi untuk saat ini. Namun, bukan berarti tidak bisa menjadi kenyataan. Coba kita bayangkan seandainya pohon benar-benar sebagai pengurang pajak. Wow, pasti masyarakat akan berlomba-lomba untuk menanamnya!

Kedengarannya konyol, nggak masuk akal, dan pasti banyak yang memandang sinis. Nanti kalau semua orang menanam pohon, bisa-bisa mereka nggak bayar pajak sama sekali dong karena kebanyakan menanam pohon?

Ya nggak serta merta begitu lah. Kalau memang ide ini diadopsi tentunya ada batasan-batasannya, pohon yang bagaimana yang bisa jadi pengurang pajak, sejauhmana kepemilikan akan pohon bisa menjadi pengurang pajak, pajak apa saja yang bisa dikurangi, perlu diformulasikan dengan tepat.

Coba kita buat gambaran besar formulasinya, misalkan:

Pohon yang bisa digunakan sebagai pengurang pajak adalah tanaman yang benar-benar mempunyai kriteria sebagai pohon, bukan perdu, semak, bahkan hortikultura. Mungkin pengecualian bisa untuk tanaman bambu, meskipun bambu tidak termasuk dalam kriteria pohon, tetapi bambu sudah terbukti efektif untuk urusan konservasi tanah, air, maupun udara.

Berapa umur sebuah pohon untuk bisa menjadi pengurang pajak tentunya harus disesuaikan dengan karakteristik masing-masing pohon. Soalnya ada pohon yang termasuk fast growing species semacam trembesi, mahoni atau malah slow growing species semacam tanjung, sonokeling, dll. 

Meskipun umurnya sama, morfologisnya bisa jauh berbeda.  Setiap jenis pohon juga mempunyai kemampuan yang berbeda-beda terkait kemampuannya dalam mengkonservasi tanah, air, ataupun udara.

Jadi masing-masing jenis pohon juga perlu dibedakan terkait berapa nominal pengurang pajaknya. Misalkan satu pohon mahoni umur 5 tahun bisa mengurangi pendapatan kena pajak sebesar Rp5 juta, sedangkan satu pohon rambutan dengan umur 5 tahun bisa mengurangi pendapatan kena pajak sebesar Rp4 juta.

Berapa kepemilikan maksimal pohon oleh setiap wajib pajak yang bisa digunakan untuk mengurangi pajak. Kalau tidak dibatasi bisa-bisa konglomerat pemilik hutan produksi bisa bebas pajak sama sekali dong, haha..... Atau mungkin bukan pohonnya yang dibatasi melainkan jumlah maksimal nominal pengurang pajaknya.

Perlu dipikirkan juga terkait legal hukum kepemilikan pohon yang selama ini belum jelas. Perlu suatu lembaga yang menangani registrasi penanaman pohon, sehingga bisa dijadikan dasar institusi pajak untuk menelusuri kepemilikannya secara jelas. 

Masyarakat pun tidak akan mudah untuk mengaku-ngaku terhadap pohon milik orang lain. Selayaknya nomor HP yang sekarang ini wajib diregistrasikan untuk mempermudah pihak yang berwenang dalam melacak tindakan penipuan ataupun hoaks.

Perlu diformulasikan besaran angka nominal pengurang pajak yang menarik, agar masyarakat berpartisipasi aktif dan merasa tune in dengan kebijakan ini. Di satu sisi memberikan insentif yang menarik kepada pemilik pohon, di sisi lain juga perlu mempertimbangkan penerimaan pajak yang berkelanjutan. Pada akhirnya tujuan kebijakan ini dari sisi penerimaan negara dan konservasi lingkungan secara simultan bisa terpenuhi.

Ketika seseorang telah menanam sebuah pohon, maka dia telah  memunculkan eksternalitas positif, dalam artian secara tidak langsung dia turut menciptakan lingkungan yang lebih sehat bagi orang lain. 

Keberadaan pohon bisa menyerap/menyimpan air tanah sehingga tidak mudah banjir ketika hujan, dan tidak lekas kekeringan ketika kemarau. Keberadaan pohon juga memberikan oksigen yang sangat vital bagi manusia. Keberadaannya juga mampu menciptakan iklim mikro yang lebih sejuk sehingga lingkungan menjadi lebih nyaman.

Dengan berbagai kelebihan pohon itu, sudah selayaknya pemerintah memberikan insentif kepada pemiliknya. Kalau eksternalitas negatif seperti keberadaan kendaraan bermotor yang menyebabkan polusi dan kemacetan dikenakan pajak progresif terhadap kepemilikannya, masak yang pemilik pohon nggak diberi insentif pengurang pajak sih?

Nanti bisa turun dong penerimaan pajak kita kalau kebijakan pohon sebagai pengurang pajak ini diterapkan? Kalaupun turun, kita kembali lagi ke asas pemungutan pajak yaitu asas kesejahteraan. 

Dana yang dikumpulkan melalui pajak seharusnya dikembalikan lagi kepada masyarakat dalam bentuk program-program yang berpihak pada peningkatan kesejahteraan rakyat, seperti halnya pembangunan infrastruktur kesehatan, subsidi layanan kesehatan, peningkatan gizi masyarakat, pembangunan sarana air bersih, dll.

Logikanya ketika di lingkungan kita lebih banyak terdapat pohon, maka udara menjadi lebih bersih, cadangan air tanah melimpah, tanah tidak mudah tererosi, lingkungan menjadi lebih sejuk, yang muara akhirnya kesehatan masyarakat akan lebih baik. 

Yang mungkin tadinya dialokasikan dana pemerintah untuk layanan kesehatan Rp10 Triliun, dengan semakin sehatnya masyarakat mungkin berkurang menjadi hanya sebesar Rp5 triliun. 

Dana yang tadinya dikeluarkan pemerintah untuk konservasi air tanah misalkan Rp1 triliun, bisa berkurang jadi Rp500 milyar karena cadangan air tanah yang melimpah dan potensi banjir bisa berkurang signifikan. 

Jadi, nggak masalah kalaupun pajak turun karena keberadaan pohon. Namun, saya kok malah berpikir sebaliknya. Bisa jadi penerimaan pajak malah bertambah dengan keberadaan pohon sebagai pengurang pajak. 

Lho kok bisa? Ya bisa lah, karena dengan masyarakat yang lebih sehat, lingkungan yang terkonservasi secara baik dan nyaman, akan merangsang masyarakat menjadi lebih produktif. 

Pada akhirnya, semakin produktif masyarakatnya dalam hal ini aktivitas perekonomiannya, semakin besar pula potensi pajak yang dihasilkan. Jadi, aparat pajak tidak perlu alergi dengan wacana ini. Mungkin ini cara yang cukup efektif untuk membuat masyarakat kita nyaman dengan pajak.

Tidak hanya terhadap pohon yang bisa digunakan sebagai pengurang pajak. Hal lain seperti halnya kepemilikan sumur resapan tentunya sangat layak juga sebagai pengurang pajak. 

Di satu sisi pemerintah tidak perlu memaksa masyarakat untuk membuat sumur resapan dalam rangka pencegahan banjir dan konservasi air tanah, di sisi lain masyarakat biasanya akan sukarela dan senang hati membangun sumur resapan karena iming-iming insentif pajak. Mindset pemerintah harus berubah, tidak hanya membuat kebijakan ekstensifikasi pajak yang masif, melainkan harus membuat kebijakaan insentif pajak yang inovatif.

Percuma penerimaan pajak tinggi jika masyarakatnya merasa terbebani dan biaya sosial yang ditanggung pemerintah semakin tinggi dari tahun ke tahun. Biaya untuk penanganan banjir, biaya untuk mengatasi polusi, biaya kesehatan masyarakat yang terus membengkak dari tahun ke tahun sampai-sampai membuat BPJS 'berguncang' hebat akhir-akhir ini. 

Ini sama halnya dengan sebuah keluarga, dimana sang ayah punya penghasilan puluhan juta rupiah, tapi anak dan istrinya sering sakit-sakitan, sehingga sering keluar masuk rumah sakit dan perlu biaya tinggi untuk pengobatannya, dan pasti mereka sekeluarga tidak bahagia.

Berbeda dengan keluarga lainnya, dimana sang Ayah penghasilannya cuma Rp7 juta, tapi karena anak dan istrinya sehat semua, mereka hidup bahagia, sehingga tidak jarang gaji bulanannya masih tersisa dan bisa diinvestasikan. Pemerintah mau pilih yang mana?

Sistem pajak yang fleksibel dan inovatif mampu membuat masyarakat nyaman dengan pajak. Pada akhirnya penerimaan negara dari pajak pun akan terus meningkat dan berkelanjutan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun