Mohon tunggu...
Sony Hartono
Sony Hartono Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang Pria Yang Hobi Menulis

Kutulis apa yang membuncah di pikiranku

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Kita Tidak Perlu Redenominasi Rupiah!

24 Oktober 2018   00:34 Diperbarui: 24 Oktober 2018   00:53 1477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lho bukannya para petinggi Bank Indonesia yang menggembar-gemborkan manfaat dari redenominasi, emangnya ada yang salah?

Coba kita telisik lebih dalam, apa memang perlu redenominasi?

Banyak yang bilang jika nilai mata uang kita tidak berharga di hadapan mata uang negara lain. Apalagi sekarang kurs Rupiah terhadap Dollar AS sudah turun lebih dari 10% selama tahun 2018 ini menjadi dalam kisaran Rp15 ribu per dollar AS-nya, semakin terlihat 'tak berdaya'-nya mata uang kita.

Solusi yang diyakini sebagian pakar moneter untuk menaikkan 'derajat' ataupun 'harga diri' Rupiah adalah dengan melakukan redenominasi. Menurut mereka, Rupiah sudah terlalu banyak angka nol, perlu disederhanakan dengan menghilangkan sekitar 3 digit angka paling belakang, sehingga diharapkan nilai tukar mata uang kita tidak terlalu jauh berbeda dengan mata uang asing dan transaksi keuangan pun bisa lebih efisien. Dengan redenominasi diharapkan masyarakat kita juga semakin menghagai uang recehan.

Itulah yang mereka yakini terkait redenominasi rupiah. Tapi apakah sesederhana itu konsepnya, semudah itu implementasinya, dan semenarik itukah manfaatnya? Atau malah sebaliknya?

Redenominasi perlu persiapan yang sangat matang, perlu biaya yang tinggi untuk:

  • Sosialisasi yang masif kepada masyarakat agar tidak terjadi kebingungan dan keresahan
  • Mencetak uang baru untuk beredar bersama uang lama dalam masa transisi selama bertahun-tahun
  • Melakukan penarikan uang di seluruh Indonesia baik uang kertas ataupun logam

Berkaca dari kegagalan berbagai negara yang pernah melakukan redenominasi, perlu persiapan matang untuk mewujudkannya. Redenominasi bisa dilakukan pada saat keadaan politik dan ekonomi negara stabil dengan inflasi yang terkendali. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah juga sangat diperlukan, jangan sampai masyarakat tidak percaya terhadap program redenominasi, sehingga perlu sosialisasi yang masif.

Terkait redenominasi yang katanya bisa menaikkan harga diri Rupiah dalam hal ini juga harga diri bangsa ini, saya kok tidak setuju ya.... Hal itu cuma citra semu.

Harga diri bangsa yang sesungguhnya bisa dilihat dari PDB atau pertumbuhan ekonominya, pendapatan per kapita warga negaranya, ketahanan nasional negara, indeks persepsi korupsi, indeks pembangunan manusia, penguasaan Iptek, prestasi olahraga sampai dengan kehandalan diplomasi di kancah internasional.

Harga diri Rupiah juga bisa dilihat dari volatilitas nilai tukar rupiah terhadap mata uang utama dunia, bukan dinilai dari banyak sedikitnya digit angka per satuan dollar. Jika harga diri mata uang dinilai adalah banyak sedikitnya digit angka per satuan dollar Amerika, maka banyak negara-negara maju yang saat ini nilai tukar mata uangnya cukup rendah terhadap dollar akan lebih dulu menerapkan redenominasi.

Namun, apa yang terjadi? Negara seperti Korea Selatan yang perekonomiannya pun lebih baik daripada Indonesia, sampai saat ini tidak meredenominasi Won miliknya yang saat tulisan ini dibuat kursnya 1 US Dollar = 1.138 Won Korea Selatan.

Nilai tukar won saat ini termasuk di antara mata uang dengan nilai tukar yang cukup rendah terhadap dollar Amerika, tetapi hal itu tidak serta merta membuat harga diri Won atau harga diri Bangsa Korea Selatan terhadap mata uang asing atau bangsa lain menjadi rendah. Volatilitas nilai tukar won terhadap Dollar Amerika pun tidak sebesar Rupiah, sehingga lebih stabil.

Alasan lain untuk melakukan redenominasi yaitu agar masyarakat Indonesia semakin menghargai Rupiah, dalam hal ini khususnya terhadap uang receh. Saat ini kita sudah cukup susah menemukan uang receh dibawah pecahan Rp1000,-. Bahkan uang Rp1000 pun sudah semakin sulit ditemukan di masyarakat.

Coba seberapa banyak diantara kita ketika membayar makanan di warung dengan uang pecahan Rp100 ribu atau Rp50 ribu, pasti langsung ditanya oelh si penjual, "Mas, ada uang yang kecil saja?" dengan mimik wajah 'tanpa dosa' dan agak memelas. Ketika kita jawab "Tidak punya!", langsung lah mereka pontang-panting ke sana kemari untuk menukarkan uang kita ke satuan yang lebih kecil.

Sekarang juga jarang kita jumpai pedagang menaikkan harga barang dagangannya dalam kelipatan seratus rupiah, seringnya kita jumpai menaikkan langsung dengan kelipatan Rp500, bahkan Rp1000,-.

Kalau alasan redenominasi agar masyarakat lebih menghargai uang receh, maka ada cara lain yang lebih efektif dan lebih murah, yaitu dengan menggalakkan transaksi non tunai dengan kata lain membentuk cashless society. Cashless society bisa menghargai rupiah sampai ke satuan terkecilnya yaitu Rp1,-.

Dengan transaksi non tunai, penjual pun tidak akan kesulitan untuk mencari uang kembalian. Para penjual bisa lebih kompetitif dalam menetapkan harga sampai dengan pecahan satuan Rupiah. Ketika para penjual menaikkan harga, juga akan lebih proporsional dan fair, bukan yang seharusnya harganya naik menjadi Rp11.200,- karena pertimbangan kesulitan mencari uang receh seratusan atau dua ratusan rupiah, maka kenaikan harganya langsung dipatok menjadi Rp11.500,-.

Jadi secara tidak langsung cashless society bisa mereduksi potensi inflasi yang tidak seharusnya terjadi hanya gara-gara langkanya dan penghargaan yang rendah terhadap uang receh sehingga dilakukan pembulatan ke atas dalam menaikkan harga barang.

Redenominasi juga membawa potensi yang tidak dikendaki, salah satunya yaitu apakah setelah redenominasi, Rupiah akan menjadi lebih stabil, jangan-jangan malah semakin volatile daripada sebelumnya. Turki yang seringkali dijadikan benchmark keberhasilan program redenominasi, hari ini menjadi negara yang terdepresiasi paling dalam terhadap dollar amerika.

Sejak awal 2018, nilai Lira Turki sudah terdepresiasi lebih sekitar 50% terhadap dollar amerika. Belum lagi ditambah depresiasi tahun lalu yang juga cukup dalam. Tentunya banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya kondisi tersebut.

Kesimpulannya, wacana redenominasi sudah selayaknya tidak perlu didengungkan lagi, apalagi sampai mau diajukan pembahasannya ke DPR untuk membuat undang-undang redenominasi. Masyarakat kita sudah cukup pusing dengan berbagai macam permasalahannya, jangan lagi mereka harus bertambah bingung dan risau menghadapi redenominasi, biarkan mereka tenang.

Pemerintah perlu mengakselerasi terwujudnya cashless society yang terbukti sangat banyak manfaatnya, selain kita tentunya lebih bisa menghargai rupiah demi rupiah. Salah satu upaya pemerintah yang harus dilakukan adalah membangun infrastruktur telekomunikasi yang mumpuni sebagai tulang punggung cashless society.

Redenominasi No, Cashless Society Yesss!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun