Nilai tukar won saat ini termasuk di antara mata uang dengan nilai tukar yang cukup rendah terhadap dollar Amerika, tetapi hal itu tidak serta merta membuat harga diri Won atau harga diri Bangsa Korea Selatan terhadap mata uang asing atau bangsa lain menjadi rendah. Volatilitas nilai tukar won terhadap Dollar Amerika pun tidak sebesar Rupiah, sehingga lebih stabil.
Alasan lain untuk melakukan redenominasi yaitu agar masyarakat Indonesia semakin menghargai Rupiah, dalam hal ini khususnya terhadap uang receh. Saat ini kita sudah cukup susah menemukan uang receh dibawah pecahan Rp1000,-. Bahkan uang Rp1000 pun sudah semakin sulit ditemukan di masyarakat.
Coba seberapa banyak diantara kita ketika membayar makanan di warung dengan uang pecahan Rp100 ribu atau Rp50 ribu, pasti langsung ditanya oelh si penjual, "Mas, ada uang yang kecil saja?" dengan mimik wajah 'tanpa dosa' dan agak memelas. Ketika kita jawab "Tidak punya!", langsung lah mereka pontang-panting ke sana kemari untuk menukarkan uang kita ke satuan yang lebih kecil.
Sekarang juga jarang kita jumpai pedagang menaikkan harga barang dagangannya dalam kelipatan seratus rupiah, seringnya kita jumpai menaikkan langsung dengan kelipatan Rp500, bahkan Rp1000,-.
Kalau alasan redenominasi agar masyarakat lebih menghargai uang receh, maka ada cara lain yang lebih efektif dan lebih murah, yaitu dengan menggalakkan transaksi non tunai dengan kata lain membentuk cashless society. Cashless society bisa menghargai rupiah sampai ke satuan terkecilnya yaitu Rp1,-.
Dengan transaksi non tunai, penjual pun tidak akan kesulitan untuk mencari uang kembalian. Para penjual bisa lebih kompetitif dalam menetapkan harga sampai dengan pecahan satuan Rupiah. Ketika para penjual menaikkan harga, juga akan lebih proporsional dan fair, bukan yang seharusnya harganya naik menjadi Rp11.200,- karena pertimbangan kesulitan mencari uang receh seratusan atau dua ratusan rupiah, maka kenaikan harganya langsung dipatok menjadi Rp11.500,-.
Jadi secara tidak langsung cashless society bisa mereduksi potensi inflasi yang tidak seharusnya terjadi hanya gara-gara langkanya dan penghargaan yang rendah terhadap uang receh sehingga dilakukan pembulatan ke atas dalam menaikkan harga barang.
Redenominasi juga membawa potensi yang tidak dikendaki, salah satunya yaitu apakah setelah redenominasi, Rupiah akan menjadi lebih stabil, jangan-jangan malah semakin volatile daripada sebelumnya. Turki yang seringkali dijadikan benchmark keberhasilan program redenominasi, hari ini menjadi negara yang terdepresiasi paling dalam terhadap dollar amerika.
Sejak awal 2018, nilai Lira Turki sudah terdepresiasi lebih sekitar 50% terhadap dollar amerika. Belum lagi ditambah depresiasi tahun lalu yang juga cukup dalam. Tentunya banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya kondisi tersebut.
Kesimpulannya, wacana redenominasi sudah selayaknya tidak perlu didengungkan lagi, apalagi sampai mau diajukan pembahasannya ke DPR untuk membuat undang-undang redenominasi. Masyarakat kita sudah cukup pusing dengan berbagai macam permasalahannya, jangan lagi mereka harus bertambah bingung dan risau menghadapi redenominasi, biarkan mereka tenang.
Pemerintah perlu mengakselerasi terwujudnya cashless society yang terbukti sangat banyak manfaatnya, selain kita tentunya lebih bisa menghargai rupiah demi rupiah. Salah satu upaya pemerintah yang harus dilakukan adalah membangun infrastruktur telekomunikasi yang mumpuni sebagai tulang punggung cashless society.