Mohon tunggu...
Sony Hartono
Sony Hartono Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang Pria Yang Hobi Menulis

Kutulis apa yang membuncah di pikiranku

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Jangan Sampai Indonesia Ketinggalan Gerbong Era Pajak Tarif Rendah

21 Oktober 2018   00:11 Diperbarui: 21 Oktober 2018   11:45 1223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (Foto: Shutterstock)

"Ayo Bayar Pajak, Demi Pembangunan Negeri"

Slogan itu mungkin akan terus menjadi sekedar slogan yang nyaring disuarakan oleh Direktorat Jenderal Pajak, tetapi dipandang sinis oleh masyarakat jika sistem perpajakan yang ada belum membuat nyaman masyarakat untuk berpartisipasi.

Nyaman di sini bukan berarti menjadi nikmat, senang banget jika membayar pajak, melainkan masyarakat menjadi sadar dengan sepenuh hati akan manfaat pajak, merasa tidak terbebani dengan pajak, sehingga timbul kepatuhan menjalankan kewajiban perpajakannya tanpa berupaya melakukan penghindaran pajak.

Segala sesuatu yang dipaksakan, apalagi dengan agresif sampai represif memang mampu merubah perilaku seseorang untuk mematuhi pihak yang memaksa. Namun, alangkah lebih afdol jika perilaku yang berubah itu berasal dari kesadaran diri sendiri atau perubahan mindset. Perubahan perilaku yang dipaksakan biasanya sifatnya tidak langgeng, tidak awet, hanya berefek jangka pendek. 

Berbeda halnya jika mindset yang berubah, maka perubahan perilaku akan lebih awet, dan tidak perlu pengawasan yang melelahkan untuk memastikan perubahan perilaku itu tetap pada jalurnya. 

Begitu pula dengan kewajiban perpajakan, jika kepatuhan wajib pajak hanya dikarenakan ketakutan akan aturan ataupun aparat pajak, jangan harap kepatuhan itu akan terus langgeng. 

Namun, jika perubahan perilaku wajib pajak menjadi lebih patuh pajak dikarenakan perubahan mindset-nya terkait perpajakan, maka sekalipun aparat pajak tidak memelototi wajib pajak dengan segenap tenaga, mereka akan menjalankan kewajiban perpajakannya dengan benar. Terus bagaimana dong membuat mindset wajib pajak berubah dari semula alergi dengan pajak berubah menjadi nyaman dengan pajak?

Perubahan mindset itu tentunya tidak bisa berlangsung dalam satu dua hari. Perlu proses panjang dan pengalaman-pengalaman positif yang membekas bagi wajib pajak, sehingga sedikit demi sedikit mengendap di alam bawah sadarnya, dan pada akhirnya mempunyai persepsi yang bagus terhadap pajak.

Banyak hal yang mempengaruhi perubahan mindset wajib pajak, salah satunya yang akan kita bahas yaitu pengalaman wajib pajak terhadap besaran tarif pajak yang berlaku di Indonesia, khususnya terkait pajak penghasilan.

Menarik rasanya kita menilik bagaimana pajak sangat berpengaruh terhadap peradaban manusia sejak zaman baheula. Bagaimana pungutan pajak yang tinggi mampu menjadi pemicu revolusi Perancis. Bagaimana pula besarnya pajak yang dipungut oleh kerajaan-kerajaan besar nusantara terhadap daerah-daerah kekuasaannya mampu memicu berbagai pemberontakan yang pada akhirnya terjadi disintegrasi. Mengapa bisa begitu, dan bagaimana agar tidak terjadi pada era modern ini?

Salah satu asas pemungutan pajak yang dikemukakan oleh W.J. Langen adalah Asas Beban Minimum (sekecil-kecilnya) yang dimaksudkan bahwa besarnya pungutan pajak tidak boleh memberatkan wajib pajak. 

Asas ini jelas menentang tarif pajak tinggi yang banyak berlaku saat ini. Mengapa sekecil-kecilnya? Ya, agar masyarakat tidak terlalu merasa terbebani oleh pajak, dan tentunya jika tidak merasa terbebani maka mereka akan melakukan kewajiban perpajakannya dengan penuh kesadaran. Namun, berapa sih besaran tarif pajak yang dianggap membebani itu, bukankah tidak ada patokannya? 

Memang tidak ada, tapi bisa dirasakan oleh masyarakat. Kalau di Perancis tarif PPh tertingginya saat ini sebesar 75%, itu termasuk tinggi atau tidak? Kalau di Rusia tarif PPh-nya saat ini flat 13%, itu termasuk tinggi atau tidak? 

Pasti hampir semua orang beranggapan bahwa tarif PPh di Perancis sangat tinggi, dan di Rusia cukup rendah, karena tentunya masyarakat menggunakan benchmark dengan tarif tertinggi PPh di negara-negara  lain yang rata-rata lebih rendah daripada Perancis dan lebih tinggi daripada Rusia.

Persepsi masyarakat terhadap pajak sendiri adalah unik. Selama ini banyak diberitakan bahwa masih banyak penduduk Indonesia yang tidak melakukan kewajiban perpajakannya dengan baik. 

Namun, sebagian besar masyarakat Indonesia jika ditanya apakah sudah melaksakan kewajiban perpajakannya? Pasti sebagian besar mengatakan sudah. Lho kok bisa berbeda. Hal ini dikarenakan masyarakat menganggap mereka sudah patuh pajak jika sudah membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dengan tepat waktu setiap tahunnya, membayar pajak kendaraan bermotor (PKB) tepat waktu. 

Masyarakat banyak yang belum paham bahwa penghasilan juga dikenakan pajak, dan tentunya berbeda dengan PBB dan PKB yang mereka bayarkan ke pemerintah daerah. 

Hal ini jelas menunjukkan bahwa kesadaran bahkan pengetahuan masyarakat terhadap kewajiban perpajakan khususnya pajak penghasilan (PPh) masih rendah, padahal PPh Orang Pribadi di Indonesia merupakan potensi yang luar biasa untuk ketahanan dan kontinyuitas penerimaan pajak.

Kalau kita ingat dengan Kurva Laffer yang menggambarkan hubungan antara besaran tarif pajak dan penerimaan pajak, bahwa semakin tinggi tarif pajak akan semakin besar pula penerimaan pajaknya, sampai titik tertentu penerimaan pajak akan semakin menurun seiring kenaikan tarifnya. 

Dalam hal ini berarti ada titik optimal dalam penentuan tarif pajak, karena kalau semakin tinggi melampaui titik optimal tentunya akan menjadi disinsentif kegiatan perekonomian yang pada akhirnya penerimaan pajak pun akan semakin turun.

Arthur Laffer, salah satu anggota tim ekonomi Presiden Ronald Reagen yang mempopulerkan Kurva Laffer, menyatakan bahwa tarif PPH orang pribadi di Amerika Serikat saat itu sangat tinggi, jauh di atas titik optimal, sehingga perlu diturunkan agar penerimaan pajak menjadi naik. 

Namun, setelah diaplikasikan dalam bentuk kebijakan pajak dengan tarif baru yang jauh lebih rendah, yang terjadi malah sebaliknya, penerimaan pajak penghasilan orang pribadi di Amerika turun drastis. 

Ternyata setelah diteliti lebih lanjut, penurunan penerimaan pajak yang cukup signifikan terjadi pada kalangan menengah ke bawah, uniknya kontribusi penerimaan pajak dari golongan kaya naik berkali-kali lipat meskipun tarifnya turun. 

Fenomena yang terjadi di Amerika pada dekade 80-an itu bisa kita ambil sebagai pelajaran, manakala tarif pajak terlalu tinggi maka penghindaran pajak yang dilakukan oleh orang-orang kaya akan cukup besar, tetapi jika tarif pajak diturunkan golongan orang-orang kaya itu malah membayar pajak lebih besar karena mengurangi aktivitas tax planning dalam rangka penghindaran pajaknya.

Kurva Laffer saat itu mungkin tidak cocok diterapkan di Amerika, yang pada saat itu kontribusi PPh orang pribadinya didominasi kalangan menengah ke bawah. Jadi kalau tarifnya turun, kalangan menengah bawah yang selama ini biasanya lebih patuh pajak daripada golongan orang kaya akan menyumbang penurunan pajak dalam jumlah yang lebih besar. 

Lain halnya dengan golongan kaya yang mungkin sangat diuntungkan dengan penurunan tarif pajak itu, sehingga jika selama ini mereka melakukan penghindaran pajak dengan biaya yang cukup besar, ketika ada penurunan tarif pajak mereka berusaha mematuhinya. 

Dengan begitu mereka tidak berupaya melakukan penghindaran pajak, karena tentunya mereka akan berhitung bagaimana cost and benefit-nya jika mematuhi tarif pajak yang baru atau melakukan penghindaran pajak. 

Kalau yang terjadi di Amerika Serikat wajib pajak orang kaya  memberikan kontribusi berkali lipat dibandingkan sebelum terjadi penurunan pajak, berarti upaya penghindaran pajak yang mereka jalankan selama ini membutuhkan biaya yang lebih besar daripada jika mematuhi aturan pajak baru dengan tarif rendah. Nah, jika kebijakan Ronald Reagan itu diterapkan di Indonesia saat ini, saya yakin hasilnya bisa cukup mencengangkan. 

Mengutip detik.com, menurut Arif Budimanta, Direktur Eksekutif Megawati Institute menyatakan bahwa 1% orang kaya di negeri ini menguasai 45% kekayaan nasional Indonesia. Luar Biasa......! Jika tarif PPh rendah diberlakukan maka kontribusi penerimaan pajak dari orang-orang kaya di negeri ini akan signifikan mengalami peningkatan. 

Melihat kekayaan nasional yang dikuasai segelintir orang kaya itu, iming-iming  tarif rendah tentu akan memikat mereka untuk patuh pajak dan tidak melakukan penghindaran pajak, dan kontribusinya tentu akan jauh lebih besar dibandingkan golongan menengah ke bawah di Indonesia. Pada akhirnya kontribusi PPh orang pribadi di Indonesia diharapkan bisa mengimbangi bahkan melebihi kontribusi PPh Badan.

Beberapa tahun terakhir ini berbagai negara di belahan dunia berlomba-lomba untuk menurunkan pajak penghasilan baik PPh orang pribadi ataupun badan. Hal tersebut dilakukan demi menarik investasi asing, memberikan insentif terhadap kegiatan perekonomian, ataupun memperkuat daya  beli masyarakat. Puncaknya adalah ketika Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump menurunkan secara signifikan.

Pajak Korporasi (badan) dari semula 35% menjadi 21%. Begitu pula dengan PPh orang pribadi diturunkan untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Apa yang kita lihat dari dampak kebijakan itu adalah Amerika Serikat saat ini dalam kondisi ekonomi yang sangat kuat dengan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa untuk negara sebesar Amerika yaitu 4,2% pada kuartal II 2018 ini.

Kebijakan Donald Trump tadi ternyata cukup efektif untuk membuat dunia berguncang, termasuk Indonesia. Banyak dana asing yang keluar dari Indonesia menuju Amerika Serikat karena iklim investasi dan insentif pajak yang sangat menarik di sana. Rupiah kita pun ikut terkena getahnya.

Infrastruktur sudah gencar dibangun, prosedur perizinan sudah disederhanakan, dan berbagai kemudahan berinvestasi sudah dijalankan, tetapi kok pertumbuhan ekonomi negara kita tetap stagnan, apa yang salah? Jawabannya bisa jadi karena tarif pajaknya yang kurang menarik bagi investor. 

Seperti kita ketahui tarif PPh Badan maupun Orang Pribadi di Indonesia belum berubah  sejak satu dasawarsa terakhir, padahal kondisi perekonomian global berubah dengan sangat cepat. 

Di era tarif pajak rendah yang sedang booming di berbagai belahan dunia, kita masih belum berani untuk menurunkan tarif PPh Badan ataupun Orang Pribadi. Wacana untuk menurunkan tarif PPh Badan dari 25% menjadi 17% masih terus bergulir sampai dengan sekarang, meskipun sudah diteriakkan Presiden sejak lebih dari dua tahun yang lalu. 

Namun, memang pemerintah terus mengkaji bagaimana dampaknya jika akan diturunkan mengingat, kontribusi PPh badan yang merupakan kontributor utama pajak penghasilan. PPh Orang pribadi meskipun masih relatif kecil kontribusinya terhadap penerimaan pajak penghasilan, perlu juga segera diturunkan terutama untuk menjaring potential loss yang akan terjadi jika orang-orang kaya melakukan penghindaran pajak. 

Harusnya pemerintah lebih berani dan lebih cepat dalam menurunkan tarif PPh Orang Pribadi karena kontribusinya yang tidak sebesar PPh Badan. Masak kita hanya berani menurunkan pajak UMKM yang notabene kontribusinya masih sangat kecil terhadap total penerimaan pajak.

Pemerintah perlu berani dan bertindak cepat dalam merespon tren global terkait tarif pajak rendah, karena sudah terbukti efektivitasnya di negara-negara yang menerapkannya. Jangan sampai kita terlalu berlarut larut dalam mengkajinya semata-mata dikarenakan ketakutan akan tidak tercapainya target jangka pendek dari penerimaan pajak. 

Apa kita hanya mau mlongo sambil gigit jari saja melihat negara-negara lain bahkan tetangga kita perekomiannya tumbuh drastis karena masifnya insentif pajak yang mereka terapkan, padahal kita sudah secara masif membangun infrastruktur dengan modal utang yang cukup besar. Jangan sampai karena kita terlalu percaya diri dengan tarif PPh Badan dan OP yang kita miliki saat ini, menjadikan kita ketinggalan gerbong dalam era globalisasi, yang salah satunya menuntut insentif pajak yang menarik.

Pajak bukan bentuk dari pemerasan, sudah sewajarnya jika tidak membebani masyarakat dengan tarif tinggi. Dengan tarif pajak rendah ditambah sistem yang adil dan partisipatif, niscaya pemerintah tidak perlu ngopyak-opyak masyarakat untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar. APBN Aman, Masyarakat Tenang.

Lebah menghisap madu dari sekuntum bunga tanpa menyakiti si bunga. Bunga pun terbantu penyerbukannya dengan datangnya sang lebah. Jadi, sudah saatnya pajak tidak membebani masyarakat. Pemerintah perlu dengan nyata dan konsisten menunjukkan manfaat pajak bagi para pembayar pajak. Ayo kita kembalikan lagi pajak ke falsafahnya.

Taxation without Representation is Robbery

Pemerintah dan DPR dalam membuat UU Pajak sudah seharusnya merepresentasikan kehendak rakyat. Kehendak rakyat yang mana keberadaan pajak mampu mewujudkan masyarakat adil, makmur, sentosa tanpa membuat masyarakat terbebani olehnya.

Referensi:

CITA: Perpajakan Adil dan Partisipatif Hindari Pengemplang. tanggal akses 20 Oktober 2018

Ekonomi Amerika Serikat Catat Kinerja Terbaik Setelah 4 Tahun. tanggal akses 20 Oktober 2018

1% Orang Terkaya RI Kuasai 45% Kekayaan Nasional.  tanggal akses 20 Oktober 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun