[caption caption="Hidran di depan rumah-rumah Pulau Tayan (Dok. Pribadi)"]
Tak terasa keringat bercucuran membasahi kaos ngejreng kami, akhirnya sampailah di titik awal pendaratan kami di Pulau Tayan. Temanku langsung saja menelpon Pak Ros minta dijemput sambil keliling Pulau. Oiya sebelumnya saat baru mendarat di Pulau Tayan, temanku sempat bertanya ke Pak Ros, si pengemudi kelotok yang mengantar kami ke Pulau Tayan, berapa ongkos untuk keliling Pulau Tayan dengan Kelotok. Beliau menyebut Rp 50.000,- kami pun tidak menawarnya dan akan menghubunginya jika jadi mau keliling Pulau.
Tak sampai 5 menit setelah ditelpon, Pak Ros pun sudah menepikan kelotoknya di Dermaga Pasar Tayan. Tak mau buang-buang waktu, kami langsung saja naik ke kelotok. Aku duduk di bagian depan, sedangkan Bang Yudha duduk di bagian tengah. Lumayan kencang laju kelotok membelah air Kapuas menembus kabut asap yang menurutku suasananya sungguh eksotis siang itu. Semilir angin kencang tak menyurutkanku untuk mengabadikan momen yang entah kapan terulang lagi dengan kamera yang kugenggam erat, takut terlempar jika kelotok menghentak keras terkena gelombang air.
[caption caption="Dermaga Pulau Tayan (Dok. Pribadi)"]
Kami lewat di bawah bentang jembatan Tayan yang pendek, nggak sampai 10 menit kemudian kami pun sampai ke bentang Panjang Jembatan Tayan, yang ternyata sungguh besar dan panjang jembatannya dengan lengkung baja setengah lingkaran yang mirip jembatan di Sidney Harbour. Kelotok pun melaju pelan-pelan agar kami bisa puas berfoto ria dengan background jembatan Tayan yang merupakan titik terakhir penghubung Jalan Trans Kalimantan. Puas mengabadikan Jembatan Tayan dan mengagumi konstruksinya, kami pun melanjutkan perjalanan kami menuju hamparan Pasir Pulau Tayan yang disebut Pantai Tayan oleh masyarakat sekitar. Akhirnya kami bisa menjejakkan kaki ke Pantai Tayan yang sebelumnya hanya bisa kami lihat dari Gazebo depan Keraton Tayan.
[caption caption="Bentang Panjang Jembatan Tayan (Dok. Pribadi)"]
[caption caption="Jembatan Tayan dari dekat masih dalam progress pembangunan (Dok. Pribadi)"]
Sepatu kets terpaksa kami lepas, dan menjejaklah kaki telanjang kami ke Pantai Tayan. “Oh… ternyata benar-benar pasir, bukan lumpur, beneran kayak di pantai!” seruku saat itu. Cuma bedanya di situ airnya tidak asin dan tidak berombak, ya namanya aja Pulau di tengah sungai, yang sebenarnya adalah delta yang terjadi dari endapan lumpur dan pasir yang dibawa aliran Sungai Kapuas membentuk Pulau Tayan. Di tengah-tengah hamparan pasir itu terdapat beberapa rangka gubuk kayu yang menurut Pak Ros jika hari Minggu akan bermetamorfosa menjadi warung-warung makanan karena banyaknya pengunjung di Pantai Tayan.
Menurut Pak Ros, dulu pasir di sekitar Pulau Tayan pernah ditambang dan dikeruk oleh kapal besar, namun kemudian diprotes oleh masyarakat setempat, karena dikhawatirkan akan menggerus Pulau Tayan, akhirnya sekarang tidak nampak satupun aktivitas penambangan pasir di sekitar Pulau Tayan.
[caption caption="Pantai Tayan di tengah-tengah Sungai Kapuas (Dok. Pribadi)"]
Hanya sekitar 10 menit kami menikmati suasana di Pantai Tayan, dan kami pun melanjutkan untuk kembali ke dermaga awal di Desa Kawat. Karena saat itu sudah memasuki waktu sholat dzuhur, kami pun menuju masjid terdekat. Usai sholat, kami pun mencari warung makan di dekat pertigaan ke arah Dermaga Penyeberangan Feri. Kami pun berhenti di Warung Soto Khas Semarang, yang memang penjualnya orang Jawa, tapi bukan dari Semarang melainkan dari Demak. Porsi soto ayamnya cukup besar dan jelas akan mengenyangkan, untungnya rasanya cukup mantap. Puas mengisi perut, kami pun memutuskan untuk langsung pulang menuju Pontianak. Perjalanan ditempuh kira-kira selama dua jam, kami sampai di titik start awal di Pontianak sekitar pukul 15.30 tanpa berhenti sedikitpun, pantatku sampai panas dan kebas. Tapi hati sangat puaass...