[caption id="attachment_376812" align="aligncenter" width="300" caption="Replika Tempat Penyimpanan Emas di Museum BI (dok. pribadi)"]
BI baru-baru ini mengeluarkan aturan yang mewajibkan nasabah dengan pendapatan kurang dari Rp10 juta, maksimal hanya boleh mempunyai kartu kredit dari 2 penerbit (bank maupun non bank). Ketentuan itu jelas bagus untuk mengurangi risiko bank yang bersangkutan terhadap kredit macet dari penggunaan kartu kredit nasabahnya. Memangnya selama ini banyak kredit macet dari penggunaan kartu kredit ya? Kredit macet dalam penggunaan kartu kredit memang masih dalam batas yang wajar, tapi sebuah kebijakan yang preventif semacam ini tentunya patut diapresiasi. Coba kalau ketentuan ini baru dibuat ketika banyak kredit macet dari sektor kartu kredit merajalela dan masif karena peningkatan suku bunga kredit yang signifikan namun tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan yang sepadan, ditambah lagi perilaku masyarakat pengguna kartu kredit yang tetap konsumtif bahkan gaya hidupnya sudah terlanjur naik kelas, pasti akan mengganggu likuiditas bank yang bersangkutan dan bisa merambat kemana-mana. Jika likuiditas perbankan menipis, bisa jadi masyarakat khawatir akan keberadaan uangnya di bank dan jika kekhawatiran itu semakin menjadi-jadi, apalagi zaman media sosial seperti sekarang ini, kolapsnya suatu bank bisa memicu rush besar-besaran pada bank-bank lain dengan sangat cepat apalagi ditambah dengan 'bumbu-bumbu' yang menambah heboh dan kekhawatiran massal di media sosial. Kondisi seperti itu membuat para nasabah sulit berpikir secara jernih, lupa kalau ada LPS yang menjamin simpanan di setiap bank sampai nominal 2 milyar rupiah. Tapi kalau yang uangnya lebih dari 2 milyar??? Rush pun tak mustahil kembali muncul dari tidur panjangnya 16 tahun yang lalu.
[caption id="attachment_376813" align="aligncenter" width="300" caption="Pintu Besi di Museum Bank Indonesia (dok. pribadi)"]
Eh, ngomong panjang lebar tentang stabilitas sistem keuangan mulai dari krisis tahun 1998 sampai dengan sekarang , apa sih pentingnya buat kita?
Jelas penting lah, kita sebagai masyarakat awam, meskipun tidak turut serta dalam menentukan kebijakan moneter maupun perbankan seperti halnya Bank Indonesia, paling tidak dengan mengetahui pentingnya stabilitas sistem keuangan negara kita dapat:
Pertama, ketika tahu bahwa naik turunnya nilai tukar rupiah sangat berpengaruh terhadap sistem kestabilan sistem keuangan dan perekonomian kita, maka sudah semestinya kita tidak ikut-ikutan spekulasi dollar, ataupun mata uang asing lainnya. Bayangkan jika kita berspekulasi US$ 1000 saja dan ada 1 juta orang di Indonesia seperti kita, maka akan ada US$ 1.000.000.000 atau setara sekitar Rp12 Triliun yang berpotensi untuk mengguncang nilai tukar Rupiah. Belum ditambah spekulan asing ataupun domestik kelas kakap yang bisa berspekulasi sampai Milyaran US$. Masak kita tidak ingat lagunya Tina Toon saat krisis moneter tahun 1998 dulu "aku cinta rupiah, meski dollar di mana-mana.....", meskipun cuma lagu anak-anak tapi maknanya sangat dalam bahwa sebagai nasionalis selayaknya kita lebih mencintai Rupiah daripada mata uang asing lainnya.
[caption id="attachment_376814" align="aligncenter" width="300" caption="uang Rupiah Pada Zaman Orde Lama Koleksi Museum BI (dok.pribadi)"]
Kedua, ketika kita tahu bahwa dengan negatifnya neraca perdagangan kita, secara sadar ataupun tidak sadar kita lebih banyak mengkonsumsi barang impor yang membuat permintaan dollar terus meningkat sehingga nilai Rupiah terhadap Dollar AS rentan terdepresiasi. Sebagai warga negara yang baik, sudah selayaknya kita lebih mencintai produk dalam negeri, ataupun sebagai anak muda tidak mudah sering gonta-ganti dengan gadget-gadget keluaran terbaru yang sebagian besar adalah barang impor. Apa kita tega membiarkan BI menguras cadangan devisanya untuk menstabilkan nilai tukar Rupiah di pasaran dikarenakan permintaan dollar yang tinggi untuk membayar barang-barang impor konsumtif yang tidak produktif.
Ketiga, ketika kita tahu kalau banyak orang yang belum punya rumah karena harga rumah yang naik cepat, kalaupun kita kelebihan rezeki, kita sudah semestinya tidak ikut-ikutan berspekulasi membeli rumah dengan harapan harganya akan naik cepat dan bisa kita jual kembali dengan gain yang tinggi alias tidak untuk dihuni. Tidak merasa bersalahkah kita, karena aksi kita sebagai spekulan rumah, banyak orang yang hanya mampu bermimpi untuk mempunyai rumah?
Keempat,ketika kita tahu bahwa BI mengeluarkan kebijakan maksimal kepemilikan kartu kredit yaitu agar risiko bank terhadap kredit macet dari kartu kredit berkurang maka sudah semestinya kita bijak dalam menggunakan kartu kredit. Jika ada tagihan biasakan bayar tepat waktu. Kita harus bisa membedakan antara kebutuhan dengan keinginan, tidak mudah kalap berbelanja melihat promo kartu kredit di mal-mal. Mulai dari kita, keluarga, teman dan kolega, jika semua bijak dan disiplin dalam menggunakannya maka potensi gagal bayar pun akan semakin kecil, perbankan pun akan menjadi sehat.
Kelima, ketika kita tahu bahwa rush akan membawa kejatuhan perbankan dan berdampak negatif terhadap kestabilan sistem keuangan, sudah semestinya kita memberikan andil untuk tidak ikut-ikutan panik hanya karena kabar rush di media massa ataupun di media sosial. Kita harus yakin, uang kita aman dijamin LPS dan tidak ada alasan untuk menarik uang kita semua dari bank, bisa-bisa di rumah malah digondol maling, bisa nangis tujuh hari tujuh malam tuh...
[caption id="attachment_376818" align="aligncenter" width="300" caption="Uang Kertas 100 Rupiah Pada Zaman Jepang Koleksi Museum BI (dok.pribadi)"]
Masyarakat memang lebih sering mengingat kasus-kasus yang melibatkan Petinggi Bank Indonesia mulai dari kasus BLBI, suap pemilihan Dewan Gubernur, sampai yang terakhir adalah kasus Century. Masyarakat sering lupa akan jasa Bank Indonesia sebagai Garda Terdepan Penjaga Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia yang mana seringkali sulit dipahami perannya oleh masyarakat awam. Masyarakat sering menghujat kebijakan BI yang tidak populis semacam menaikkan BI rate, aturan LTV, ataupun membatasi kepemilikan kartu kredit. Namun percayalah, semua itu dilakukan demi kokoh dan stabilnya sistem keuangan di negeri tercinta ini.
Referensi :
Badan Pusat Statistik. Data Inflasi dan IHK. http://www.bps.go.id/aboutus.php?inflasi=1 . Diakses pada tanggal 20 November 2014
Bank Indonesia. BI Rate. http://www.bi.go.id/id/moneter/bi-rate/data/Default.aspx . Diakses pada tanggal 20 November 2014
Bank Indonesia. Krisis Ekonomi Global dan Dampaknya terhadap Perekonomian Indonesia . http://www.bi.go.id/id/publikasi/kebijakan-moneter/outlook-ekonomi/Documents/4fd34648c8724da7b93e4f8021850012Bab3KrisisEkonomiGlobaldanDampaknyaterhadapPerekon.pdf . Diakses pada tanggal 20 November 2014
Bank Indonesia. Pentingnya Stabilitas Sistem Keuangan. http://www.bi.go.id/id/perbankan/ssk/ikhtisar/pentingnya/Contents/Default.aspx  . Diakses pada tanggal 20 November 2014
Bank Indonesia. Tahun 1990-2003 - Bank Indonesia. www.bi.go.id/seki/tabel/TABEL1_25.xls Diakses pada tanggal 20 November 2014
Lembaga Penjamin Simpanan. Simpanan Yang dijamin. http://www.lps.go.id/web/guest/simpanan-yang-dijamin;jsessionid=73309220A4268B929805D41FF0A2DC78 diakses pada tanggal 20 November 2014
Reformed Center for Religion and Society. Krisis Global dan Etika Global. http ://www.reformed-crs.org/ind/articles/krisis_global_dan_etika_global.html . Diakses pada tanggal 20 November 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H