Mohon tunggu...
Ari Sony
Ari Sony Mohon Tunggu... Administrasi - Bung Arson, Pengamat dan Pemerhati Olahraga Khususnya Sepakbola

Olahraga adalah nadi yang harus selalu digerakkan, dan ketika menulis topik lainnya harus sesuai dengan sudut pandang sendiri dan pemikiran yang matang

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Inilah Penyebab Sepakbola ASEAN Masih Tertinggal di Level Asia

4 Februari 2022   13:50 Diperbarui: 4 Februari 2022   19:27 1781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster promosi Piala AFF 2020. (Foto: sindonews)

Vietnam baru saja mencetak sejarah baru bagi persepakbolaan ASEAN, setelah berhasil mengalahkan China dengan skor 3-1 di babak ketiga penyisihan grup B Kualifikasi Piala Dunia 2022 Zona Asia. Keberhasilan Vietnam menang di babak ketiga ini, ternyata menciptakan rekor baru bagi persepakbolaan ASEAN. Vietnam tercatat sebagai negara pertama di Kawasan Asia Tenggara yang meraih hasil kemenangan di babak ketiga atau putaran terakhir Kualifikasi Piala Dunia.

Dalam tujuh laga sebelumnya Vietnam menjadi bulan-bulanan penghuni grup lainnya, seperti Arab Saudi, Jepang, Australia, Oman dan China. Baru di pertandingan kedelapan Vietnam berhasil memetik kemenangan untuk pertama kalinya.

Kemenangan pertama dan berhasil menciptakan rekor baru, membuat pelatih Vietnam, Park Hang-seo, dan pecinta sepakbola Vietnam merasa bangga. Kemenangan ini untuk sementara mengamankan kursi pelatih Park Hang-seo yang sebelumnya dikabarkan oleh media Vietnam, Soha.vn., terancam akan dipecat.

Pencapaian luar biasa dari Vietnam ini, juga melampaui prestasi dari sesama negara ASEAN, yaitu Thailand. Tim Gajah Perang lebih dulu mencoba dalam dua edisi putaran terakhir Kualifikasi Piala Dunia, pada edisi tahun 2002 dan 2018.

Dalam 18 pertandingan di dua putaran terakhir tersebut, Thailand gagal meraih kemenangan. Pencapaian Timnas Thailand hanya meraih hasil 6 kali seri dan menelan 12 kali kekalahan.

Dengan melihat perjuangan Vietnam dan Thailand dalam meraih kemenangan di babak ketiga atau putaran terakhir Kualifikasi Piala Dunia, hal ini menunjukkan bahwa sepakbola ASEAN masih tertinggal di kawasan Asia. Dominasi negara-negara kuat dari Kawasan Asia Timur dan Kawasan Asia Barat, membuat tim ASEAN bagaikan tim Kurcaci.

Butuh 8 pertandingan bagi Vietnam untuk meraih kemenangan pertama dan menciptakan sejarah baru bagi Persepakbolaan ASEAN, sementara Thailand dari 18 kali percobaan semuanya berakhir dengan kegagalan.

Sementara di kejuaraan lainnya yaitu Piala Asia, pada edisi putaran final Piala Asia 2011 dan 2015 tak ada satupun wakil dari ASEAN yang lolos ke putaran final. Baru di edisi Piala Asia 2019 Uni Emirat Arab, ketika jumlah peserta ditambah dari 16 ke 24, ada 3 wakil ASEAN yang berpartisipasi, yaitu Vietnam, Thailand dan Filipina.

Prestasi terbaik dicatatkan oleh Vietnam dengan berhasil melaju hingga babak perempatfinal setelah dikalahkan Jepang dengan skor 0-1. Sementara Thailand hanya melaju hingga babak 16 besar setelah dihentikan langkahnya oleh China. Sedangkan Filipina tersingkir di fase grup, karena kalah bersaing dengan Korea Selatan, China dan Kirgistan.

Negara ASEAN seperti kesulitan bersaing di level timnas senior ketika sudah berbicara Piala Asia dan Kualifikasi Piala Dunia. Hal ini berimbas pada Ranking FIFA, rilis per 23 Desember 2021 tak ada satupun negara ASEAN yang menembus 10 besar di tingkat Asia. Vietnam yang saat ini menjadi yang terkuat di level Asia Tenggara hanya ada di peringkat ke-17 di tingkat Asia.

Bahkan Australia sejak bergabung ke Konfederasi sepakbola Asia, lebih memilih berpartisipasi dalam kejuaraan Piala Asia Timur daripada Piala AFF. Australia menganggap Piala AFF tidak memberikan dampak signifikan bagi prestasi Australia.

Apa sebenarnya penyebab negara di Kawasan ASEAN kalah bersaing di level asia?

1. Ego Kawasan

Federasi sepakbola ASEAN (AFF) sebenarnya sudah memfasilitasi negara-negara ASEAN untuk lebih berkembang. Sejak diadakan Piala Tiger 1996 (kini Piala AFF), kompetisi ini juga sudah berlangsung secara rutin tiap dua tahun sekali. Diharapkan dari turnamen ini menghasilkan persaingan kompetisi, yang muaranya agar tim ASEAN bisa bersaing di level Asia.

Namun pada kenyataanya tim ASEAN tetap kesulitan bersaing di level Asia. Sejak tahun 1996 hingga saat ini, Negara ASEAN belum ada yang menembus babak semifinal Piala Asia atau melaju ke Piala Dunia. Untuk sekedar memanaskan persaingan pun masih jauh dari harapan. Kegagalan ini bisa jadi masih disebabkan karena adanya Ego Kawasan.

Tim ASEAN terlalu sibuk dengan persaingan di dalam tetapi tidak pernah melihat ke luar. Ketika ada negara ASEAN yang maju atau juara merasa iri dan sakit hati. Ketika ada negara ASEAN yang gagal berprestasi sama-sama kompak kasih tepuk tangan (merasa senang ketika melihat temannya susah).

Fanatisme sempit dan berlebihan menyebabkan Tim ASEAN besar di wilayahnya sendiri tetapi jadi mengecil ketika sudah dihadapkan pada negara kuat dari Asia Barat dan Asia Timur.

Contoh kecil, ketika Timnas Indonesia akan melakukan naturalisasi pada empat pemain eropa, Sandy Walsh, Jordi Amat, Mees Hilger, dan Ragnar Oratmangoen. Media di Asia Tenggara membuat statement atau berita yang sepertinya tidak suka dengan cara yang dilakukan oleh Indonesia.

Sama halnya, ketika Timnas Indonesia berhasil naik ke pot 3 dengan mengalahkan Timor Leste, salah satu media Vietnam juga seperti memberikan sindiran. Bahwa Indonesia berhasil naik ke Pot 3 karena memilih lawan terlemah di Piala AFF.

Sudah saatnya pihak federasi setiap negara dan media, sama-sama bersatu dan berpikir ke depan untuk kemajuan sepakbola ASEAN, tujuan akhirnya bukan hanya bersaing di level Piala AFF dan Sea Games tetapi juga bisa berbicara banyak bersaing di level Asia.

Contohlah Manajer Thailand Madam Pang, yang memberikan pujian kepada Vietnam, ketika mereka berhasil mengalahkan China. Saling melempar pujian dan membuat program Kerjasama, merupakan hal yang harus dikerjakan mulai dari sekarang dan harus dibangun bersama.

2. Mutu Kompetisi Liga Masih Rendah dan Kurangnya Pembinaan Usia Dini

Saat ini mutu dan kualitas kompetisi Liga di ASEAN masih tertinggal dari Jepang, Korea Selatan dan Liga di negara Arab lainnya. Hal ini berimbas pada kualitas pemain yang masuk ke Timnas, juga kalah bersaing ketika berhadapan dengan negara kuat di Asia Timur dan Asia Barat.

Selain itu kurangnya perhatian dari Federasi dan pihak klub dalam pembinaan pemain usia dini yang mengakibatkan kurangnya stok pemain berkualitas di negara ASEAN.

Supaya ada perbaikan dari segi mutu dan kualitas kompetisi Liga di negara ASEAN, harus melakukan perubahan dan perbaikan kompetisi. Baik dari sisi jadwal, regulasi, wasit, pemain asing dan kebijakan lainnya demi meningkatnya mutu kompetisi liga tersebut. Dengan kualitas Liga yang bagus akan menghasilkan pemain yang berkualitas untuk prestasi Timnas. Saat ini kompetisi Liga ASEAN yang dianggap paling bagus adalah Thailand dan Vietnam.

Kompetisi Liga ASEAN harus bisa mendekati levelnya seperti mutu dan kualitas Liga di Korea, Jepang, China maupun Liga-liga di Kawasan negara Arab.

Selain kompetisi Liga, perlu adanya perbaikan pembinaan usia dini. Klub dapat hidup dan berkembang apabila mempunyai suplai pemain junior. Setiap klub diwajibkan untuk melakukan pembinaan usia dini sejak umur u-9 hingga u-23.

Sehingga beban pembinaan usia dini jangan hanya diserahkan kepada setiap SSB, tetapi klub juga harus bertanggung jawab untuk mengelola pemain sejak usia dini. Dengan banyaknya pembinaan usia dini, maka akan semakin melimpah bakat pemain muda, sehingga memudahkan klub dan pelatih untuk menyeleksinya.

3. Infrastruktur Latihan dan Kualitas Pelatih Yang Masih Minim

Saat ini kondisi di negara ASEAN, fasilitas infrastruktur latihan yang modern tak banyak ditemukan. Padahal hal ini sangat penting dalam menunjang pemain dan pelatih dalam meningkatkan kemampuan saat latihan. Disisi lain, kualitas pelatih Top di ASEAN juga sangat minim. Terbukti saat ini Timnas Indonesia, Thailand, Vietnam dan yang terbaru Malaysia dilatih oleh pelatih asing.

Negara kuat Jepang dan Korea Selatan telah menunjukkan bagaimana cara mereka untuk maju. Jepang dan Korea Selatan telah membenahi infrastruktur bertahun-tahun silam. Bahkan negara-negara di Kawasan Arab, telah meniru langkah yang dilakukan oleh Jepang dan Korea Selatan.

Saat ini Infrastruktur di Arab Saudi, Qatar, UEA lebih modern. Sehingga tak salah jika suatu saat nanti, banyak negara-negara di Kawasan Arab lebih berprestasi. Negara ASEAN harus banyak melakukan ini, memberikan fasilitas infrastruktur untuk kemajuan pemain.

Untuk perbaikan kulaitas pelatih, setiap federasi harus lebih sering melakukan Coaching klinik dengan menghadirkan narasumber pelatih top, untuk diserap ilmunya oleh pelatih lokal. Federasi juga harus lebih sering menggelar kursus kepelatihan agar sertifikasi pelatih di setiap klub, minimal berstandar Lisensi A AFC.

4. Gaji Pemain di Klub Asia Tenggara Sangat Tinggi

Gaji pemain dengan kemampuan di atas rata-rata saat ini menerima gaji yang sangat "wah" di kompetisi liga domestik Asia Tenggara. Hal ini telah memicu masalah ditubuh Timnas Malaysia pada Piala AFF 2020 kemarin. Dalam investigasi yang dilakukan oleh federasi Sepekbola Malayasia (FAM), ada salah satu akar masalah, pemain tidak kompak dan tidak ada keharmonisan tim, karena ada Gap di internal pemain Malaysia, dimana para pemain Johor Darul Takzim menerima gaji lebih tinggi dibandingkan pemain dari klub lainnya. Sehingga membuat minder pemain klub lainnya untuk membaur dengan para pemain yang memiliki gaji tinggi.

Asnawi Mangkualam juga pernah mengungkapkan, bahwa ketika ia menerima tawaran dari Ansan Greeners gajinya sangat kecil jika dibandingkan dengan yang diterimanya di PSM Makassar. Namun, demi meningkatkan mental dan kualitas bermain ia memutuskan untuk berkarier di Liga Korea Selatan.

Apakah kondisi ini yang menyebabkan seorang pemain dari Negara ASEAN tidak memiliki rasa lapar, tidak merasa bangga dan tidak ada keinginan kuat untuk memakai seragam timnas? Semoga hal ini tidak pernah terlintas dalam benak pemain Timnas kita

5. Sedikit Pemain ASEAN yang berani bermain di Luar Negeri

Saat ini sedikit sekali pemain tim ASEAN yang berkarir di luar negeri, bandingkan dengan Jepang, Korea Selatan dan Australia hampir semua pemain inti dari tim mereka berkarier di luar negeri.

Salah satu contoh nyata, ketika Chanathip Songkrasin yang dikenal sebagai Lionel Messi-nya Thailand, bermain di Consadole Sapporo salah satu anggota J-League. Songkrasin mampu tampil sebagai pembeda dipartai krusial babak semifinal dan final Piala AFF 2020 kemarin.

Sehingga para pemain ASEAN harus berani bermain di luar negeri untuk meningkatkan kualitas Timnas di negaranya.

6. Masih Marak Terjadi Match Fixing

Asia tenggara merupakan lahan empuk kasus Match fixing, kasus terbaru adanya 45 pemain Laos yang terkena skorsing seumur hidup dari FIFA karena terlibat kasus match fixing. Maraknya kasus ini, membuat persaingan kompetisi di ASEAN tidak sehat.

Tim yang menerima suap tidak akan memberikan perlawanan berarti kepada tim lawan, karena telah menerima uang suap. Sehingga tidak akan meningkatkan mutu kualitas sepakbola ASEAN.

Itulah beberapa penyebab yang mengakibatkan sepakbola ASEAN kalah bersaing di level Asia. Semoga ke depan ada perbaikan dari federasi, sehingga tim ASEAN dapat bersaing di level Piala Asia dan Kualifikasi Piala Dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun