"Hati-hati pak. Dinda ada maunya tuuuh. Dia centil itu pak. Dinda kemayu. Pedekate dan sok akrab ke bapak tuh biar nilai Inggrisnya bagus." Ada-ada saja cletukan dari sebagian mahasiswa, pastinya yang cowok.
"Okey... okey... saya akan buat satu puisi spesial  untuk Dinda, tetapi janji bahwa kalian tidak akan menebar gosip yang menyulitkan saya. Ini murni puisi atas permintaan Adinda," akhirnya aku bersedia akan membuatkan puisi tentang Adinda, dengan kesepakatan yang disetujui mereka.
"Terima kasih, pak," mendadak Adinda maju menyalami aku dan menarik tangan kananku lalu dia sentuhkan punggung telapak tanganku ke pipi kanannya. Â Aku terkejut dan perlahan sedikit menarik tanganku. Meski aku kali ini senang dengan apa yang dilakukan Adinda tetapi sebenarnya aku kurang setuju dengan kebiasaan seperti itu.
"Huuuu...huuuu...!" lagi-lagi para mahasiswa berteriak-teriak. Kali ini untuk meledek Adinda.
"Sudah... sudah...! Mari kita mulai perkuliahan kita," aku mencoba meredakan kegaduhan agar tidak mengganggu kegiatan perkuliahan lain yang berlangsung di ruang sebelah.
Perkuliahan siang itu berlangsung seperti biasanya namun aku sendiri jadi tidak fokus karena sudah langsung muncul imajinasi tentang Adinda yang akan kutuangkan dalam puisi. Aku ingin segera pulang dan membuat puisi cinta tentang dia.
===
Menjelang senja aku sudah di rumah. Seperti biasa ganti baju, hanya memakai celana kolor dan singlet, aku langsung aktifkan PC bututku. Tanpa menyiakan waktu, imajinasi yang sudah terkumpul di kepala langsung aku rangkai menjadi sebuah puisi.
Madah Cinta Untuk Adinda
kutuliskan syair lugas ini untuk adinda
tatkala diri terkungkung rindu nan meraja
bayang mungil parasmu selalu menggoda
menelikung lamunan dalam gundah gulana
sapa ramahmu membius bisikan nurani
sadarku akan bentang tinggi pemisah diri
andai kumampu menembus sekat kodrati
mungkinkah kusentuh tuk menggapai naluri