Hari Ke-2 : Osaka – Nara – Kyoto
Minggu pagi yang cerah di Osaka, kami mengunjungi Osaka Castle (Osakajo) sebagai destinasi pertama kami. Sebenarnya Osakajo ini ada dalam itinerary saya tahun lalu, tapi karena masalah cuaca, jadwal perjalanan saya jadi berantakan, sehingga saya terpaksa melewatkan perjalanan ke Osakajo ini. Dari stasiun kami berjalan kaki menuju Osakajo dan sempat mampir sebentar ke mini market express local untuk membeli roti sebagai menu sarapan kami.
Osaka Castle (dokumentasi pribadi)
Hari itu pengunjung Osakajo cukup ramai, antrian pembelian tiket masuknya cukup panjang. Karena di dalam Osakajo ini tidak boleh mengambil foto, sementara kami harus membayar tiket masuk sebesar ¥800 jadi kami memutuskan untuk tidak masuk ke dalam kastil itu, kami hanya menikmati suasana di sekitarnya dan berfoto di sana.
berfoto di depan Osaka Castle
Dari Osakajo kami bergerak ke daerah Sumiyoshi. Di sini ada sebuah kuil Shinto yang menurut saya memiliki bentuk berbeda dengan kuil kebanyakan yang saya lihat di Jepang. Untuk masuk ke kuil ini tidak perlu membayar apa pun. Kami cukup beruntung ketika tiba di Sumiyoshi-taisha ini ada pernikahan Shinto yang sedang berlangsung. Jadi kami bisa melihat prosesi pernikahan ala Shinto. Selain itu di sana juga sedang diadakan lomba panahan yang pesertanya siswa sekolah menengah yang sangat menarik perhatian saya karena saya belum pernah melihat lomba panahan secara langsung. Para siswa yang menjadi peserta itu semuanya menggunakan pakaian a la Jepang.
Foto keluarga pengantin Shinto (dokumentasi pribadi)
Mendekati tengah hari kami beranjak ke Namba lagi dan singgah di Dotonbori. Tempat ini memang tak pernah sepi sepertinya. Apalagi di liburan
golden week seperti itu, banyak wisatawan lokal Jepang dan dari berbagai negara memadati area ini. Siang itu  kami berniat mencari restoran untuk makan siang. Awalnya kami menyusuri Hazenji-Yokocho
alley, ternyata jalan kecil itu banyak terdapat restoran kecil khas Jepang yang menu utamanya adalah
steak. Namun harganya di atas budget kami, jadi kami hanya sekedar lewat dan kembali ke jalan utama Dotonbori untuk mencari restoran yang harganya bersahabat dan menunya sesuai dengan lidah. Kami harus cukup bersabar siang itu, karena hampir semua tempat makan ramai oleh pengunjung yang ingin makan siang. Sehingga akhirnya kami memilih sebuah restoran ramen yang barisan antriannya tidak terlalu panjang.
Sumiyoshi-taisha shrine (dokumentasi pribadi)
Setelah makan kami menyusuri Dotonbori hingga pukul 1 siang. Menurut jadwal yang kami susun, harusnya setelah dari Dotonbori kami ke Nara untuk mengunjungi Todaiji
temple. Tapi karena kami merasa kaki sudah cukup lelah, akhirnya kami memutuskan untuk melewatkannya, dari Osaka kami hanya melewati Nara dan langsung ke Kyoto.
Dotonbori di Osaka (dokumentasi pribadi)
Dan sore itu tibalah kami di Kyoto. Ah, saya suka sekali dengan suasana kota ini, dan saya jatuh cinta kembali dengan kota itu, persis seperti yang saya rasakan ketika tiba di Kyoto tahun lalu. Hari itu saya merasa Kyoto ramai sekali oleh wisatawan, lebih ramai dari yang saya lihat tahun lalu. Kami berhenti di stasiun Gion-Shijo dan langsung menuju apartemen yang jaraknya sekitar 10 menit berjalan kaki dari stasiun (rekomendasinya
di sini).
Untuk makan malam, kami membeli nasi instan di mini market ekspress lokal, yang kemudian kami hangatkan dengan microwave,yang sudah tersedia di apartemen, dan kami santap dengan rendang kering yang kami bawa dari Indonesia. Dan malam itu kami habiskan dengan beristirahat saja di apartemen karena saya terkena demam dan Marven terkena radang tenggorokan, jadi kami perlu menjaga stamina agar tetap kuat hingga perjalanan di Jepang ini selesai.
Hari Ke-3: Kyoto
Pagi hari saya membuka jendela kamar apartemen, saya melihat cuaca cerah sekali, walaupun anginnya terasa sangat dingin. Belajar dari pengalam hari sebelumnya, saya harus banyak sekali minum air, karena cuacanya cerah tapi anginnya dingin dan kering, sehingga tenggorakan cepat terasa kering. Tapi meminum air dingin di tengah cuaca bersuhu cukup rendah rupanya membuat tenggorokan saya yang memang sudah sakit menjadi semakin menderita, jadi saya sedikit sekali minum, sehingga saya demam di malam hari.
Sedikit informasi penting, (saya tidak mengerti kenapa) air minum di Jepang itu disajikan dingin. Jika kita membeli air minum dalam kemasan di vending machine (harganya sekitar ¥110 untuk kemasan 500 mL) memang airnya dingin, karena disimpan dalam lemari pendingin, tapi air minum yang disediakan di restoran secara gratis adalah air dengan es, jika ingin air hangat, maka kita harus memesan teh atau ocha yang tidak gratis. Dan air yang keluar dari keran air minum di tempat umum pun dingin. Jadi sebaiknya ketika kembali ke penginapan, siapkanlah air hangat sebagai bekal sepanjang perjalanan.
Walaupun suhu badan saya masih tinggi pagi itu, saya tetap berangkat bersama 2 teman saya untuk berjalan-jalan di Kyoto. Hanya hari itu ransel kami bertiga penuh oleh botol minum berisi air hangat. Dan setelah sarapan (nasi instan dan ikan teri sambal kering dari Indonesia) saya makan vitamin C dan obat penurun demam.
Lihat Travel Story Selengkapnya