Taman buaya ini milik perorangan. Pemilik awalnya sangat cinta pada buaya dan paham betul mengenai buaya. Jadi ketika buaya mati, kulit buaya akan diambil kemudian diproses menjadi tas misalnya. Namun beliau sudah meninggal dunia, dan diwariskan kepada anaknya. Namun karena tak ada yang bisa memproses kulit buaya tersebut, biasanya kulit dan tubuh buaya langsung dimakamkan.
Satu jam bersama Pak Warsidi membuat pengetahuan kami Kompasioner bertambah luas. Namun ketika seorang Kompasioner menanyakan tentang makanan para buaya. Kami sungguh terkesiap karena buaya tersebut hanya diberi makan seminggu dua kali, yaitu setiap hari Selasa dan Jumat. Itu pun kalau kebagian, sering kali buaya dipaksa puasa karena jumlah makanan tidak cukup untuk semua. Oleh karena itulah, buaya sering berkelahi untuk mendapatkan makanan. Idealnya satu ekor buaya membutuhkan sembilan ekor ayam.
Adapun uang untuk membeli makan diperoleh dari para pengunjung. Sayangnya sejak tahun 2000 jumlah pengunjung semakin menurun. Pandemi COVID-19 menyebabkan penurunanya semakin drastis. Saat ini ada saja warga yang berdonasi memberikan ayam tiren kepada buaya. Namun sayangnya, donasi pun belum mencukupi kebutuhan Taman Buaya.
Mungkin karena inilah Taman Buaya tidak tampak menarik sebagai kunjungan wisata. Sudut-sudutnya tampak kusam dan tak ada juga program promosi yang menarik para pengunjung untuk datang ke sini.
Minimnya Perhatian PemerintahÂ
Ada dua kesamaan dari Saung Rangon dan Taman Wisata. Keduanya menyimpan kekayaan budaya dan satwa Indonesia. Namun sayangnya, pengelolaannya masih kurang baik. Kedua wisata itu tidak begitu menarik bagi wisatawan.
Sebenarnya kita perlu mengapresiasi pemilik Taman Buaya yang sudah mau berupaya menangkar buaya, yang menurut Tempo populasinya sudah mulai menyusut akibat rusaknya habitat. Namun sayangnya, sampai saat ini, menurut Bapak Warsidi, belum ada dana bantuan yang diberikan oleh pemerintah. Seandainya pemerintah daerah bisa memperhatikan dan Taman Buaya bisa berbenah diri. Tentunya Taman buaya bisa menjadi salah satu kunjungan wisata. Apalagi dengan menjual atraksi buayanya yang ekstrem yang hanya dimainkan di hari-hari besar saja, seperti Lebaran, Natal, dan Tahun Baru.
Begitu juga dengan Saung Rangon, saat ini pengelola masih mengandalakan bantuan dari pengunjungnya. Semoga Cagar Budaya ini dapat segera menerima bantuan dari pemerintah setelah macet selama 30 tahun.
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H