Bagaimana perasaan Anda ketika sehelai kain songket untuk oleh-oleh Ibunda tercinta ternyata tidak asli alias palsu? Ini sepenggal kisah saya yang sedikit menyebalkan saat berkunjung ke Pulau Lombok bersama dengan Kompasioner dan Humas Kemenko Maritim dan Sumber Daya alam.
Jam menunjukkan pukul 10.00 ketika kami sampai di dusun Sasak Sade Rambitan. Kami pun langsung disambut oleh beberapa guide, putra asli suku Sasak. Setelah mengisi buku tamu, kami langsung diajak oleh seorang guide naik melihat langsung rumah suku Sasak. Dia juga bercerita bagaimana desanya masih sangat berpegang kuat dengan adat istiadat. Pria berkulit gelap yang menggunakan sarung tersebut juga menjelaskan tentang filosofi rumah adat mereka. Dia juga bercerita mengenai tradisi kawin culik di antara sesama misan alias sepupu. Pria itu juga menjelaskan kebiasaan mereka untuk mengepel lantai rumah dengan kotoran kerbau yang masih hangat.
Kami termangu-mangu dengan keunikan tradisi mereka. Nah setelah selesai visit ke seluruh kampung, sang guide menunjuk semacam tempat jualan berbagai jenis kerajinan suku Sasak yang berada tepat di depan salah satu rumah. Di sana ada berbagai jenis barang yang dijual, mulai dari kain songket, tenun ikat, kaos, bros, hingga perhiasan mutiara.
Kami para Kompasioner pun langsung mendekat, begitu pula dengan saya. Saya mulai melirik jejeran kain songket. Saya berencana membelikan Mama saya kain songket dari Lombok karena beliau gemar sekali menggunakan kebaya. “Dia pasti senang.” Kata saya dalam hati.
Namun sebelum membayar kain tersebut, saya bertanya kepada guide apakah benar kain songket ini asli home made, bukan buatan pabrik. Sang guide pun menjawab “Benar, suku Sasak mana mengenal pabrik, semua kain di sini dibuat sendiri oleh para perempuan di bagian atas desa.”
“Masa iya, kok harganya murah?” tanya saya dalam hati. Namun karena saya sangat mempercayai orang-orang suku Sasak yang menurut saya adalah suku yang jujur dan berkata apa adanya akhirnya saya membayar kain songket tersebut.
Sesampainya di dalam mobil saya menunjukkan kain songket tersebut kepada Humas Kemenko Maritim dan Sumber Daya, Ibu Ida dan Bapak Fauzan. Mereka tampak sungkan berkata jika saya saya sudah membeli songket palsu. Supir kami yang berdarah Bali yang tampak menggebu-gebu mengatakan bahwa benar, songket saya adalah songket palsu yang harganya hanya puluhan ribu saya.
Saya baru benar-benar yakin jika songket tersebut palsu ketika bertemu dengan penjual suvenir di hotel tempat menginap. Dengan entengnya dia menyodorkan kain songket yang hampir sama dengan milik saya. Dia hanya memberi harga 1/3 dari kain songket yang sudah saya beli. Itu pun masih bisa ditawar.
Mengunjungi Dharmasetya Lombok
Di pulau Lombok banyak sekali para pengrajin kain Songket. Salah satunya adalah Dharmasetya Lombok. Kami sampai di tempat tersebut di pagi hari. Bapak Ruf, guide Dharmasetya, langsung membawa kami ke semacam rumah panggung, di mana para perempuan sedang menenun kain songket dengan sangat teliti.
Menurut Bapak Ruf, para perempuan Lombok sejak dari kecil sudah harus belajar menemun kain songket. Dahulu mulai usia 7 tahun, anak perempuan sudah harus mulai belajar menenun. Namun saat ini di usia sekitar 15 tahunan anak perempuan baru mulai belajar karena mereka lebih konsentrasi dulu dengan kegiatan sekolahnya. Masih menurutnya, perempuan harus bisa menenun agar bisa atau boleh menikah. Itu hukumnya wajib di Lombok.
Kami para Kompasioner perempuan pun kemudian ditawari untuk belajar menenun. Kami pun duduk selonjor di depan meja tenun. Kemudian sebuah kayu diikatkan ke bagian belakang badan kami. Ternyata tak sulit menenun kain songket, yang penting sabar dan teliti karena satu lembar kain songket membutuhkan waktu sebulan bahkan bisa lebih, tergantung dari tingkat kesulitan pola dan warna yang dipilih penenun.
Kembali mengenai kain yang asli dan tidak, menurut Bapak Ruf, karena kain songket asli dibuat oleh tenaga manusia, bukan tenaga mesin, tenunan kain songket biasanya tidak sempurna, ada beberapa kesalahan yang biasanya terjadi. Masih menurut beliau, biasanya orang-orang Indonesia tidak menyukai hal-hal tersebut. Berbeda dengan wisatawan mancanegara yang menganggap hal tersebut sesuatu yang sungguh unik dan dicari oleh mereka. Nah, jika Anda membeli kain songket buatan pabrik, pastinya tidak akan pernah terjadi kesalahan-kesalahan tersebut karena mesin telah di-setting dengan tepat.
Itu salah satu ciri-ciri kain songket yang asli. Selain itu, hal terpenting agar memastikan kain songket yang Anda beli asli atau tidak, Anda harus pilah pilih tempat membelinya. Jika mau membeli kain songket yang asli, sebaiknya Anda membeli langsung di tempat pengrajinnya. Mereka tidak akan membohongi Anda dengan menjual kain songket yang palsu. Selain itu, mereka mempunyai banyak pilihan kain songket dengan pola dan warna yang cantik.
Dharmastya misalnya, selain mempunyai workshop pembuatan kain songket, juga memiliki toko yang menjual hasil karya mereka. Tempatnya luas dan nyaman. Di sini tidak hanya di jual kain songket, Dharmasetya juga menjual tenun ikat dan juga kain batik Sasambo Lombok. Selain kain-kainan, Dharmasetya juga memiliki ruang pamer berbagai hasil ukiran kayu yang merupakan hasil kerajinan kampung tetangga.
Tips terakhir perihal tempat membeli kain songket dapat juga Anda pakai saat ingin membeli suvenir lainnya. Karena menurut penjual suvenir di hotel kami, sebelum saya, ada seorang ibu yang juga merasa tertipu karena telah membeli gelang mutiara dengan harga yang cukup mahal. Padahal gelang yang sama dijual hanya setengah harga di tempat penjualan suvenir di hotel. Wahh, saya masih lebih beruntung karena harga songket hanya ratusan ribu saja. Ibu itu membeli gelang berlian yang harganya jutaan rupiah.
Bagi Anda yang ingin berkunjung ke Lombok, jangan takut. Anda cukup berhati-hati saja.
Ini Tugas Siapa?
Menurut Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya, Rizal Ramli, dalam pidatonya di Hari Pers Nasional di Hotel Lombok Raya (8/2/16), sektor pariwisata membutuhkan usaha yang mesti terintegrasi, dari hal besar hingga ke hal-hal kecil, mulai dari keamanan hingga keramahtamahan. Jika dalam suatu waktu dan tempat ada dua hal yang kurang mengenakkkan terjadi, hal-hal kecil tersebut bisa membuat para wisatawan kapok, bahkan berita tersebut dapat menimbulkan hal-hal yang negatif, seperti penurunan jumlah wisatawan yang akhirnya berakibat buruk pada kesejahteraan masyarakat setempat.
Jangan sampai nila setitik, hancur susu sebelanga. Sepertinya itu peribahasa yang tepat untuk menggambarkan situasi ini. Pertanyaannya, instansi manakah yang bertugas memberi penjelasan-penjelasan ke masyarakat sehingga hal-hal tersebut tidak lagi terjadi. Adakah di antara teman-teman yang mengetahui jawaban dari pertanyaan tersebut.
Karena sungguh disayangkan ketika Pemerintah sudah mempersiapkan strategi baru bagi pengembangan industri pariwisata di Indonesia, di lain pihak ada orang yang merusaknya akibat ketidakpahaman mereka dengan dampak kegiatan yang dilakukan. Mari kita bantu pariwisata Indonesia dengan cara menunjukkan keramahatamahan kita di hadapan wisatawan. Semoga industri pariwisata di Indonesia semakin berjaya demi kesejahteraan bersama.
*Foto Dokumen Pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H