Indonesia Corruption Watch (ICW) mengaku kecewa dengan hasil seleksi Pansel KPK. Tiga Dari delapan nama yang dipilih Pansel untuk diserahkan kepada Presiden Joko Widodo dinilai tidak layak diajukan ke DPR sebagai capim KPK (detik.com, 2 September 2015). ICW identik dengan kritik. Krtik terhadap apapun. Kebijakan yang dianggap sarat dengan kepentingan, kritik terhadap calon Pejabat Negara, kritik terhadap penggunaan anggaran yang boros dan sebagainya.
ICW merupakan lembaga yang mempunyai komitment untuk memberantas korupsi melalui usaha-usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat/berpartisipasi aktif melakukan perlawanan terhadap praktik korupsi. ICW lahir di Jakarta pada tahun 1988 di tengah gerakan reformasi yang saat itu dikomandoi oleh Prof. Amin Rais. Teten Masduki, pengacara Todung Mulya dan ekonom Faisal Basri adalah tokoh awal yang memimpin ICW. Mereka mendorong ICW untuk aktif mengumpulkan data-data korupsi para pejabat tinggi negara, dan kalau perlu mengumumkannya kepada publik dan melakukan gugatan terhadap pejabat yang ditemukan korup.
Banyak sekali usaha dan kontribusi yang dilakukan oleh ICW untuk mencegah merajalelanya korupsi yang terjadi. ICW mendorong dan membangun kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengawasan, melakukan advokasi kebijakan progam baik di tingkat Pusat maupun tingkat daerah, mendorong adanya reformasi birokrasi, membangun sistim pencegahan korupsi, melakukan pemantauan dalam penggunaan anggaran, melakukan pengawasan terhadap perijinan dan pengelolaan sumber daya alam dan banyak hal lainnya.Tujuannya adalah melakukan minimalisasi terhadap perilaku dan upaya penyelenggara pemerintah untuk melakukan tindakan korupsi yang menyengsarakan rakyat banyak.
Apa yang dilakukan oleh ICW di atas perlu mendapat dukungan dari kita semua. Untuk bisa melakukan berbagai upaya tersebut diperluakan sumber daya yang memadai. Tidak hanya sumber daya manusianya, akan tetapi juga sumber daya keuangan. Sayangnya, tingkat mobilisasi sumber daya keuangan yang dilakukan ICW sangat terbatas. Dari Annual Repot ICW tahun 2014, penerimaan keuangan mencapai sekitar 22 milyar sementara pengeluaran sebesar hampir 17 miliar. Angka tersebut bisa dibilang kecil dibandingkan dengan seluruh wilayah Indonesia yang harus diberdayaka dan dimonitoring.
Sayangnya, upaya yang dilakukan oleh ICW tersebut tidak muncul dan tidak terdengar di permukaan. Sebaliknya upaya yang agresif melalui debat dan kritik yang tajam yang lebih banyak muncul ke permukaan. Yang terakhir adalah kritik ICW terhadap Pansel KPK yang meloloskan tiga dari delapan orang untuk diserahkan kepada Presiden. Tidakah ada orang ICW yang berkompeten untuk duduk dalam Pansel KPK sehingga setelah melalui serangkaian proses yang panjang dan melelahkan, rekomendasi naman-nama yang muncul sudah bersih dan merupakan orang-orang terbaik?
ICW adalah organisasi di mana orang-orangnya belajar untuk menjadi Kritikus. Tidak jarang kita melihat seorang Kritisi ICW (Kritisi adalah kata benda orang bentuk tunggal, bukan kata kerja (mengkritik) yang biasa dipakai oleh orang-orang) dengan lantang menelanjangi kebijakan penggunaan anggaran ataupun Pejabat yang dianggap bersalah oleh ICW. Meskipun data yang dipakai mungkin tidak akurat. Ingat perdebatan ICW dengan Ahok soal anggaran di DKI Jakarta.
Tidak pernah rasanya mendengar ICW tidak mengkritik. Apalagi dalam moment-moment pengangkatan Pejabat Negara. Apakah ICW benar-benar bersih dan bebas dari potensi untuk melakukan kesalahan yang sama? Tidak pernah ada yang tahu karena tidak ada lembaga yang mengawasi ICW kecuali dirinya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H