Mohon tunggu...
Sonofmountmalang Sebuah Novel
Sonofmountmalang Sebuah Novel Mohon Tunggu... karyawan swasta -

coffeine is my shepherd!

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Gagarutan di Papandayan

31 Oktober 2012   10:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:09 1405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemandangan menuju Pos Pendakian

Yes! Akhirnya saya sampai ke Garut. Ternyata jarak Jakarta - Garut itu tidak sejauh yang saya bayangkan. Jaraknya masih bersahabat meskipun membuat pantat panas. Saya berangkat jam lima subuh kurang dari Jakarta. Sampai ke kota Garut itu sekitar jam 9 pagi. Sedikit terhambat di Nagrek. Tanjakan gila. Banyak truk dan bis merangkak, bahkan mogok pas tanjakan. Sudah terbayanglah kalau mogok pas tanjakan. Ya, namanya bukan jalan-jalan kalau maunya serba lancar.

Skip cerita di perjalanan menuju Garut dulu ya. Saya akan mengulas sekilas pandang tentang Garut pada umumnya, dan Gunung Papandayan akan saya fokuskan di belakangnya. Gaya yah!

Garut sebenarnya memiliki banyak sekali wisata alam, sekaligus pemandangan yang mendebarkan. Tidak salah juga sih ada yang menyebut Garut sebagai Swiss Van Java. Saya setuju sekali itu. Gundukan bukit-bukit dan barisan gunung-gunung nyaris mengepung kota Garut dari segala penjuru. Bayangkan jika semuanya itu dikelola layaknya Swiss, pastilah Garut akan menjadi tujuan wisata Indonesia, selain Bali, Lombok dan kota wisata lainnya.

Tetapi, sebutan Garut sebagai Swiss Van Java itu, menurut saya, hanyalah sebutan. Tidak didukung oleh keinginan segenap warga dan pemerintahan Garut untuk menjadikan kotanya sebagai KOTA WISATA. Sepertinya mereka belum siap atau belum terkondisikan kotanya menjadi tujuan para turis lokal mau pun mancanegara. Mengapa saya bisa berpikiran seperti itu? Sederhana saja, pertama dari penginapan, di Garut itu penginapannya masih susah dan cenderung hanya berkumpul di satu titik. Misalnya, penginapan berkumpul hanya di Cipanas. Padahal Garut itu tidak hanya Cipanas. Di Cipanas pun pasti selalu penuh, dan bahkan saya ditawari hotel jam-jam’an oleh joki-joki hotel. Duh! Rasanya kaya di Puncak ya. Perilaku joki ini membuat risih pengunjung, dan lagipula di Cipanas itu tidak ada apa-apanya. Hanya permandian air panas. Begitu juga hotelnya, menyediakan permandian air panas alami dari Gunung Guntur. Sementara wisata Gunung Guntur-nya sendiri tidak dimaksimalkan. Malah cenderung dibikin gundul, tidak terawat dan kerowakan dimana-mana karena aktifitas penambangan pasir. Di sisi lain, Gunung Guntur itu bisa dibilang gerbang awalnya pemandangan kota Garut, meskipun sebelum Gunung Guntur, kita sudah disambut oleh barisan perbukitan yang memiliki potensi besar sebagai kota wisata dengan label ECOWISATA, AGROWISATA, ALAMWISATA dan sebutan-sebutan lainnya.

Nah, karena belum siap itulah berujung pada tidak jelasnya papan penunjuk wisata di beberapa lokasi wisata. Clueless jadinya sebagai pendatang yang ingin menjelajahi segala jenis wisata di Garut. Tapi cukup sampai di sini saja ya pandangan pikiran saya soal Garut.

Sekarang, saya akan mengulas salah satu tempat wisata yang harusnya menjadi tujuan wisata turis lokal mau pun mancanegara, dan bisa menghidupkan masyarakat sekitarnya.

Gunung Papandayan. Yes! Saya akan mengupas wisata yang satu ini sampai hal remeh temeh. Yang tidak suka membaca, lihat foto saja yah:p!

Perjalanan

Untuk sampai ke Gunung Papandayan dari pusat kota, saya cukup menggunakan google map. Berangkat dari Hotel Alamanda di Jalan Otista sekitar pukul lima pagi. Dengan harapan, saya bisa mengejar sunrise dari puncak Papandayan. Rupanya, saya berangkat terlalu siang. Mungkin harusnya berangkat jam empat. Tapi, soal sunrise, lupakan saja ya. Itu sudah telat. Untuk mendapatkan sunrise sempurna harus dalam kondisi cuaca cerah dan baiknya musim kemarau. Kebetulan cuaca Garut sedang galau. Sedikit mendung, sedikit hujan, sedikit gerimis, kemudian cerah, hujan lagi dan terus begitu seperti ABG yang sedang bingung, mau jatuh cinta atau patah hati.

Bahkan selama dalam perjalanan dari penginapan menuju Papandayan itu diselingi gerimis, gelap berkabut, mendung dan kemudian cerah. Sebenarnya sangat menyenangkan jalan-jalan melewati jalanan meliuk-liuk nanjak turun, di sisi kiri kanan berbaris sawah segala usia, bukit-bukit dan gunung. Saking asiknya, jalanan menuju Gunung Papandayan pun terlewati sekitar 15 menitan. Kenapa juga bisa terlewat? Nah ini dia nih salah satu kelemahannya. Sebenarnya saya sudah melihat plang bertuliskan “SELAMAT DATANG DI AGROPOLITAN” kalau tidak salah. Kan sebaiknya “SELAMAT DATANG DI GUNUNG PAPANDAYAN” Jadi, kalau kalian mau ke Papandayan, patokannya ada tulisan itulah. Jangan berharap ada plang “Gunung Papandayan”

Dan satu hal, jangan percaya orang Sunda di daerah soal jarak. Untuk mereka, jarak tempuh dua jam berpuluh-puluh KM itu dekat. Saya sudah tertipu berkali-kali. Saat saya tanya petugas hotel dan beberapa orang soal jarak menuju Papandayan, mereka rata-rata menjawab dekat. Palingan lima kilo meter. Padahal itu masih jauh dan jauh. So, jangan percaya ya. Percayalah mbah Google Map!

Dari titik plang itu, menuju lapangan parkir di pos pertama, saya harus tancap gas melewati tanjakan. Awalnya jalanan sangat bagus. Aspalnya masih mulus. Sayangnya, banyak sekali sampah, sisa sayuran, tanah dan bekas luapan selokan di jalanan. Coba kalau mereka buat selokan yang bagus dan dalam. Sampah yang terbawa arus selokah atau pun hujan tidak akan tumpah ruah ke jalanan. Herannya, mereka betah dengan jalanan seperti itu. Sekali lagi, mereka belum siap sepertinya.

Eh, jangan senang dulu. Jalanan bagus hanya sampai perbatasan desa. Selanjutnya, mobil akan bekerja keras melalui jalanan berbatu, berlobang dan licin. Menyet

ir pun harus lebih sigap, waspada dan tetap menyelaraskan kerja kaki dengan tangan. Kopling, gas, rem dan gigi terus bekerja. Jangan lupa ya buka jendela. Udara segar, bebauan rumput, hutan dan suara pesisir hutan akan memanjakan perjalanan nanjak tanpa ujung. Semakin ke atas, jalanannya semakin menanjak dan batu-batu serta lobang-lobang makin sulit diprediksi. Tapi tenang , jalanan jelek itu masih bisa dilalui dengan Alphard sekali pun.

[caption id="attachment_214064" align="aligncenter" width="300" caption="Sebentar lagi mau sampai ke Pos Pendakian"]

1351679847659021300
1351679847659021300
[/caption]

Setelah berjibaku dengan jalanan, akhirnya mobil sampai juga ke pos pendakian. Saya membayar karcis untuk dua orang sebesar 12 ribu. Pos pendakian pertama ini merupakan lapangan luas untuk parkir mobil dan istirahat sambil ngopi-ngopi sebelum melanjutkan pendakian menuju kawah dan tempat kemping.

Pos Pendakian / Lapangan Parkir

[caption id="attachment_214056" align="alignnone" width="672" caption="Pemandangan dari Pos Pendakian"]

13516791001442351141
13516791001442351141
[/caption]

Ada apa saja di sini? Akan saya ulas satu per satu. Di sini ada beberapa warung. Mereka menyediakan kopi, teh, indomie dan gorengan. Ini makanan dan minuman yang sangat pas di cuaca berkabut dan dingin. Selanjutnya ada ruang informasi. Ini salah satu ruang yang sama sekali tidak dirawat atau dibuat lebih layak. Ini ruang informasi ala kadarnya. Saya tidak foto karena tidak menarik. Padahal kalau mereka buat lebih bersih ruangannya dan lebih menarik, orang pasti tertarik juga untuk membaca lebih teliti. Sayang sekali ya.

Selanjutnya ada toilet. Saya tadinya mau buang air besar dan sudah di ujung tanduk. Ketika masuk ke toilet, astaga…! Itu toilet isinya kotoran manusia. Kenapa? Jawabannya sederhana, tidak ada air! Dan toiletnya juga tidak dikondisikan lebih menusiawi. Coba mereka bangun toilet bersih plus airnya juga mengalir, saya berani bayar 5000 pun! Dan saya yakin, orang-orang juga tidak masalah bayar 2000 sekali kencing atau BAB. Itu bisa dijadikan salah satu pemasukan pengelola.Ini ironis sekali. Dari Gunung Papandayan itu mengalir air bersih. Kenapa toilet saja bisa tidak ada air? Kan ini ironi yang sangat memperihatinkan. Kritis banget sih nih tulisannya. Hahahah! Habisnya, gara-gara toilet penuh tai, BAB yang tadinya tinggal procot pun tiba-tiba hilang begitu saja. Saya tidak jadi ke toilet.

Pertanyaannya, kenapa bisa begitu? Saya tahu jawabannya. Di pos pendakian ini ternyata banyak juga yang kemping. Mungkin yang kemping-kemping inilah empunya jejorok-jejorok. Mungkin lho menurut mereka itu tidak jorok. Lha? Kan yang datang ke Gunung Papandayan itu nggak cuma kekempingan jorok, ada juga kan wisatawan Korea, Jepang, Amerika, Jerman dan Malaysia pada saat itu. Kebayang kan impresi pertama terhadap fasilitas wisata di Garut? Bayangkan juga yang akan mereka ceritakan kepada rekan-rekannya yang berminat ke Garut. Tuh, akhirnya hanya gara-gara satu masalah, semua jadi kena. Sayang sekali, bukan?

Semoga saja pengelola ala kadarnya yang mengurusi Gunung Papandayan bisa lebih “AWARE WISATA.” Toh, hasilnya juga buat mereka-mereka juga lho.

Treking

[caption id="attachment_214058" align="aligncenter" width="300" caption="Trek menuju Pondok Selada"]

1351679372200737257
1351679372200737257
[/caption]

[caption id="attachment_214059" align="aligncenter" width="300" caption="Pemotor ajaib!"]

13516796151597990167
13516796151597990167
[/caption] [caption id="attachment_214060" align="aligncenter" width="300" caption="Sisa letusan 2002"]
1351679688549976955
1351679688549976955
[/caption]

Di beberapa blog saya baca tentang trek menuju Papandayan. Rata-rata dari mereka bilang, treknya berupa menaiki ratusan anak tangga. Saya jujur saja ya. Tidak ada anak tangga. Trek berupa jalanan biasa saja. Berbatu-batu tapi masih layak dilalui dengan berjalan kaki santai. Seorang anak kecil usia 7 tahun pun bisa melaluinya. Ibu-ibu petani sambil menggendong anaknya bisa melaluinya. Seorang bapak memanggul karung depan belakang pun bisa melaluinya. Siapa saja bisa melalui trek ini. Meskipun bukan tangga, trek jalanan di Papandayan masih manusiawi. Untuk ukuran orang-orang kota, jalanan ini enak kok. Jangan manja deh ya.Kalau capai tinggal berhenti, duduk sambil menikmati pemandangan kawah di kanan kiri dan udara dingin menyegarkan.

Menurut Mang Ucup sang pemandu, untuk bisa mencapai Pondok Selada itu dibutuhkan waktu kurang lebih dua jam berjalan kaki. Untuk ukuran dia yang setiap hari bolak balik Pos Pendakian – Pondok Selada, itu sudah biasa. Untuk ukuran orang-orang Jakarta yang gaya hidupnya di atas mobil, makan KFC, perokok dan manja, mungkin waktu tempuh akan lebih dari dua jam. Tak apalah. Saya juga banyak berhentinya. Sedikit-sedikit duduk di atas batu. Cape mak! Itu sebabnya saya tidak melanjutkan sampai ke Pondok Selada. Waktu saya hanya sebentar. Masih banyak lokasi wisata yang akan saya tuju. Jadinya saya hanya sampai ke kawah baru, hasil letusan 2002 dan beberapa kawah kecil.

[caption id="attachment_214062" align="aligncenter" width="300" caption="Pemandangan di sekitar kawah Papandayan"]

1351679733295056087
1351679733295056087
[/caption]

Sepanjang perjalanan menuju naik dan turun, Mang Ucup terus bercerita. Bagaimana indahnya sunrise di pagi hari dari Pondok Selada. Pemandangan laut di sangat jauh sana jika cuaca cerah sekali. Pemandangan jutaan bintang, dia menyebutnya milky way, pada malam hari. Itu baru pemandangan dari Pondok Selada. Pondok Selada ini titik kemping. Mang Ucup bercerita lagi, dari Pondok Selada ini ada titik yang lebih tinggi lagi. Namanya Tegal Alun. Di sinilah Bunga Abadi, Edelweis tumbuh dengan cantiknya. Di titik ini orang tidak boleh kemping. Untuk mencapainya, dibutuhkan sekitar sejam berjalan kaki. Itu menurut Mang Ucup. Sejam ya? Hmmm…! Tapi dia bilang akan terbalaslah dengan pemandangannya. Eh, jangan senang dulu. Tegal Alun ini bukan titik paling tinggi. Mang Ucup menunjuk puncak gunung di depan saya, itulah titik yang paling tinggi lagi. Tidak heran ada ungkapan di atas gunung masih ada gunung. Ohhh…! Ya ya! Saya pun melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba suara gemuruh kawah dipecahkan oleh suara raungan motor dari atas gunung. Saya heran, itu suara motor dari mana? Ternyata, kata Mang Ucup, itu motor-motor para petani. Mereka naik turun gunung menggunakan motor. Ciyuusss!? Miapahh!?? Mi awohh! Enelan?! Iya! Dan yak! Itu motor gila. Motor-motor ini naik melewati jalanan berbatu, membawa barang, membonceng orang dan sampai membawa hasil pertanian. Amazing! Keahlian para penunggang motor ini saya acungi 40 puluh jempol. Sekali lagi, pemerintahan setempat tidak memperhatikan kebutuhan masyarakatnya. Mereka harus bersusah payah membawa hasil pertanian dari Gunung Papandayan menuju ke kaki gunung. Ini salah satu bukti, pemerintahan menutup mata. Bayangkan saja, berapa banyak waktu yang bisa dihemat petani untuk mengangkut hasil pertaniannya, jika saja jalanan yang ditempuh lebih baik. Sekali lagi, namanya juga pemerintahan Indonesia, mana peduli mereka dengan hal-hal seperti ini. Mereka terlalu sibuk dengan korupsi.

Saya bisa membayangkan seandainya wisata Gunung Papandayan diolah secara profesional. Dibuatkan jalan yang nyaman, toilet yang bersih, warung makan ditata dengan baik. Begitu juga dengan lokasi kemping. Dibangun MCK bersih, untuk mandi. Percaya deh, orang yang ingin kemping itu tidak hanya pencinta alam, yang memang BAB-nya di balik semak, di sungai atau menggali tanah. Banyak juga masyarakat kota yang ingin menikmati suasana kemping dengan fasilitas bersahabat. Mereka rela kok membayar lebih untuk sesuatu yang lebih. Kenapa tidak? Selama tidak merusak lingkungan. Justru, kata Mang Ucup, anak-anak ABG – kuliahan yang kurang aware terhadap lingkungan. Mereka susah dikasih tahu, susah dibilangi dan cenderung sesuka hati. Sementara masyarakat kota lebih aware. Mereka sebisa mungkin membawa sampah kembali ke Pos Pendakian. Tidak meninggalkannya di Pondok Selada.

[caption id="attachment_214063" align="aligncenter" width="300" caption="Sungai susu"]

13516797841338648427
13516797841338648427
[/caption]

Mendengarkan keluhan hati Mang Ucup yang hanya tamatan SMA dan cinta mati pada alam, membuat saya berpikir untuk membuat “Campaign tentang Papandayan.” Para guide ini, mereka sangat peduli lingkungan, namun saya percaya, uang mereka tidak cukup untuk menciptakan fasilitas yang lebih baik. Mereka butuh campur tangan pemerintahan dan pengelola hutan di Gunung Papandayan. Mereka tidak digaji, mereka sukarela. Bayarannya hanya dari hasil meng-guide turis dan menyewakan alat kemping. Itu saja. Jadinya nilai jualnya pun apa adanya. Akhirnya, turis yang datang pun apa adanya. Dampaknya, kehidupan masyarakat sekitar ya apa adanya juga. Sayang sekali ya.

[caption id="attachment_214066" align="aligncenter" width="300" caption="Gerbang menuju pendakian ke puncak Papandayan"]

13516800591482937967
13516800591482937967
[/caption]

Semoga dengan tulisan ini, ada pihak dari dinas pariwisata Garut yang membaca dan berpikir lebih keras plus melakukan aksi, supaya Garut sebagai kota tujuan wisata turis lokal mau pun internasional bisa terwujud. Dan, selanjutnya, orang tidak hanya melulu ke Bandung, Lembang, Puncak, Bromo dan seterusnya. Garut memiliki potensi ECOWISATA yang menjajikan, jika diolah dengan baik. Jadi, janganlah berani mengklaim sebagai “Swiss Van Java” jika kondisi nyatanya masih jauh dari yang pernah dibayangkan orang.

Selamat berwisata! Tunggu tulisan wisata Garut lainnya:d.

“sonofmountmalang”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun