Mohon tunggu...
Sonny Majid
Sonny Majid Mohon Tunggu... Tenaga Pengajar -

Dream Man-penikmat kopi

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Cina-Amerika Rujuk, Indonesia Kian Terjepit

20 Juli 2016   12:59 Diperbarui: 20 Juli 2016   17:49 2065
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KAGET, ketika membaca berita dari kontan.co.id, pekan lalu. Badan Direksi Bank Dunia dan Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) telah menyetujui pendanaan hingga 433 juta Dollar AS. Dana itu masing-masing 216,5 juta Dollar AS digunakan untuk perbaikan sarana infrastruktur pemukiman kumuh di Indonesia, yang terakomodir melalui Program Nasional Kota Tanpa Kumuh (Kotaku).

Kata Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia, Rodrigo Chaves, di Indonesia masih ada sekitar 29 juta penduduk hidup di pemukiman kumuh, 11 juta di antaranya diakui dia belum mampu mengakses ke sanitasi dan 9 juta penduduk tidak punya air bersih.

Sekadar diketahui, AIIB – Asian Infrastructure Invesment Bank (AIIB), merupakan konglomerasi keuangan dunia untuk mengimbangi Bank Dunia dan IMF. Konglomerasi ini digagas oleh Tiongkok dengan modal pendirian mencapai 100 miliar Dollar AS, dan kabarnya, setidaknya sudah 35 negara bergabung.

Tapi apakah benar demikian? Apakah benar AIIB untuk mengimbangi kekuatan “kapitalisme institusional” yang lebih dulu lahir seperti Bank Dunia, IMF, WTO dll? Ekstrim saya mengatakan tidak. Saya berasumsi, AIIB merupakan instrumen baru yang digagas oleh “kekuatan global” sebagaimana dulu “kekuatan global” menciptakan ideologi “kapitalisme Vs Komunisme.”

Sekarang “IMF-Bank Dunia Vs AIIB,” ujungnya tetap sama, menguasai negara-negara yang diistilahkan “Millenium Ketiga,” atau dalam istilah ekonomi disebut dengan titik “ekuiblirium - keseimbangan.” Dalam konteks geoekonomi, “keseimbangan adalah memainkan peran penguasaan ekonomi atas negara millenium ketiga.”

Ketika kapitalisme mendapat citra buruk di mata negara-negara “millenium ketiga” maka dibuatkanlah instrumen (ideologi ekonomi) baru, bernama komunisme, yang menawarkan konsep pemerataan ekonomi, bukan “pertumbuhan ekonomi yang meneteskan kemakmuran” yang citranya kadung buruk karena kelakukan negara-negara yang berpaham “kapitalisme,” yang memakai skema agresi militer.

Meski belakangan kapitalisme bereinkarnasi menjadi neo kapitalisme, neo liberalisme, globalisasi, bahkan saya memprediksi 10 tahun ke depan reinkarnasi “neo globalisasi.”

Kendati ini baru sebatas asumsi, saya juga menemukan tulisan menarik yang diulas oleh Desmond Satria Andrian, Edukator Museum KAA Bandung. Dalam narasinya, ia mengurai siapa itu kapitalisme kroni?

Ia berangkat dari penjelasan mengenai pola hubungan negara-negara Selatan dan Utara melalui eksplanasi “Pembangunan Keterbelakangan” dari Andre Gunder Frank melalui bukunya Capitalism and Underdevelopmen in Latin America yang diterbitkan kali pertama pada 1967. Di tahun sama pemerintah Indonesia (Orde Baru) menerbitkan UU No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing di Indonesia.

Frank sendiri, mengembangkan pendapat Raul Prebisch tentang negara-negara pusat dan pinggiran menjadi negara-negara metropolis dan negara satelit. Dalam gagasannya, Raul Prebisch lebih membicarakan aspek ekonomi dari persoalan negara-negara pusat dan pinggiran yang dilihatnya dari ketimpangan nilai tukar, Frank malah lebih pada ke aspek politik dari hubungan negara-negara metropolis dan negara satelit tadi. Hubungan itu tak lain hubungan politis dan ekonomi, antara modal asing dengan klas-klas yang berkuasa di negara satelit.

Masih mengutip artikel Desmond Satria Andrian, kembali ia membeberkan bahwa dalam rangka mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, kaum borjuasi di negara-negara metropolis bekerjasama dengan pejabat pemerintah di negara-negara satelit dan kaum borjuasi yang dominan di negara satelit.

Tuan tanah dan kaum pedagang merupakan contoh kelas borjuasi di negara-negara satelit. Sebagai akibat kerjasama antar-modal asing dan pemerintah setempat, maka muncullah kebijakan-kebijakan pemerintah yang menguntungkan modal asing dan borjuasi lokal. Kegiatan ekonomi praktis merupakan kegiatan ekonomi modal asing yang lokasinya di negara satelit.

Dengan demikian pada teori Frank, ada 3 komponen utama yang dipakai: modal asing, pemerintah lokal di negara satelit dan kaum borjuis. Sehingga ciri dari perkembangan kapitalisme satelit menurut Frank antara lain: kehidupan ekonomi yang tergantung, terjadinya kerjasama modal asing dengan klas-klas yang berkuasa di negara satelit, yaitu pejabat pemerintah, klas tuan tanah dan klas pedagang, dan terakhir masih terjadinya ketimpangan antara yang kaya (subjek eksploitasi) dan yang miskin (objek eksploitasi) di negara-negara satelit.

Beberapa kebijakan baru tentang terjepitnya Indonesia atas “damainya Cina dan Amerika” bisa kita lihat pemerintah yang membuka ruang atas: warga asing dari 169 negara bebas visa masuk ke Indonesia, warga asing boleh miliki proyek properti di Indonesia, pihak asing boleh menguasai 100% industri gula dan karet di Indonesia, termasuk 100% saham restoran dan perusahaan jalan, asing boleh menguasai 85% saham modal ventura, asing boleh menguasai 100% saham di pembangkit listrik, asing boleh menguasai 100% usaha bioskop di Indonesia dll.

Melihat skema ekonomi Cina sebenarnya tidak begitu komunis-sosialis. Dia menerapkan “one country two system” ketika ekspansi ekonomi keluar, Cina menerapkan teori kapitalisme, akan tetapi untuk menekan ke dalam, negeri tirai bambu tersebut pakai teori sosialisme-komunisme. Yang jika saya diskusikan dengan rekan-rekan sejawat, ketika ekpan keluar, Cina memakai “politik panda” ke dalam pakai “politik naga.”

Jadi wajar ketika saya berasumsi, Cina adalah “instrumen baru kekuatan global terselubung,” yang sebenarnya rujuk dengan klan Eropa.

Dulu Indonesia sebenarnya ingin menciptakan jalan tengah. Ketika era terjadi blok Barat dan Timur, Indonesia melalui Soekarno menggagas gerakan Non Blok, termasuk jalan tengah ideologi ekonomi kapitalisme-sosialisme (komunisme), yaitu ekonomi Pancasila.

Tinggal kita tunggu saja, apakah “rujuk” tersebut berlangsung panjang atau pendek. Jika pendek maka bisa saja Cina “di Sovietkan.” Jika panjang, ya itu tadi mencapai titik ekuiblirium kombinasi skema ekonomi.” ***

(sumber gambar: Globalresearch.ca)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun