Mohon tunggu...
Sonny Majid
Sonny Majid Mohon Tunggu... Tenaga Pengajar -

Dream Man-penikmat kopi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Melawan Politisasi Agama dengan Budaya

5 Oktober 2015   00:58 Diperbarui: 6 Oktober 2015   17:06 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="suku Dayak Wehea (mongabay) (foto: Aji Wihardandi)"][/caption]Tulisan ini sebenarnya merupakan kenangan ketika saya menginap di salah satu perkampungan dayak, di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Namun tidak ada salahnya, tulisan ini ditampilkan kembali untuk membuka cakrawala kita semua, bahwa kondisi bangsa hari ini selalu diwarnai dengan politisasi agama. Hanya satu cara untuk menghindari itu, adalah dengan mempertahankan budaya kita, budaya bangsa Indonesia yang begitu kaya. Dengan tetap menghormati para pihak yang membantu sehingga tulisan ini ada, sekaligus untaian salam dari kejauhan untuk sahabat ku Cris, yang tak pernah lelah.

Yen Yang Ping, adalah seorang laki-laki keturunan asli Suku Dayak Wehea. Ia memutuskan menjadi mualaf, pada 1989. Ketika bertemu denganya, saya menyapa Pak Yan. Dari pilihannya menjadi mualaf itu, dirinya diberi nama Syahibur Razak. Jika dirunut dari silsilah, Pak Yan masih keturunan raja. Dalam struktur sosial Dayak Wehea, dikenal 4 kasta. Hepui (raja-raja), Medang (turunan bangsawan), Pengin (orang biasa) dan Psap (tawanan).

Meskipun Pak Yan muslim, tetap saja, ketika dia menikah, harus mengikuti ritual adat. Dalam ritual adat (pernikahan), selalu ada sesajen yang disediakan. Sesajen itu berisikan tembakau, telur, beras, sirih, buah pala dan kemenyan.  Sesajen itu diletakkan di depan pasangan mempelai yang mengenakan pakaian adat Ebing. Ketika kemenyan sudah dibakar, kemudian kaki mempelai laki-laki diputar di atas asap, di dahulukan sebelah kanan selanjutnya kaki kiri. Upacara itu dipimpin oleh tetua adat, seorang perempuan yang dipercaya memiliki kesaktian tinggi.

Puncaknya, ritual ditutup dengan tarian Ngelian. Setelah semua proses dilalui, kedua mempelai memberikan kenang-kenangan kepada masing-masing orangtua yang prosesingnya disebut dengan Kemeheng. Bak gayung bersambut, orangtua yang menerima pemberian mengumbar nasehat kepada anak-anak mereka sebelum menjalani kehidupan berumah tangga. Komunikasi dua arah itu disebut Suen Keheah.

Nilai adat istiadat tidak hanya mewarnai kehidupan sosial masyarakat Dayak Wehea. Dalam urusan politik idem tito. Masih dikatakan Pak Yan yang juga Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) ini, setiap kepala desa yang dilantik, harus menjalani sumpah adat. Kendati, Pemda Kutai Timur tidak mengatur mekanisme itu. Kondisi ini dipertahankan. Bila ada kepala desa yang melanggar sumpah adat, dipercaya tujuh turunan keluarga kepala desa akan mengalami kesialan dalam hidupnya. “Ada beban sosial,” begitu kata Pak Yan.

Selain Islam, agama lain yang dianut Dayak Wehea yakni Protestan dan Katolik. Dari komposisinya, penganut Islam masuk kelompok minoritas. Hanya 10 persen dari 800 suku Dayak Wehea disana. Selebihnya di dominasi pemeluk agama Katolik. Masuknya Islam ke daerah tersebut, menurut dibawa oleh warga pendatang. Muara Wahau merupakan daerah tujuan transmigrasi yang ditetapkan pemerintah pada 1987. Banyaknya pendatang akhirnya mengubah struktur sosial Dayak Wehea. Karena dalam migrasi itu terjadilah pernikahan silang.

Menurut penjelasan Kepala Adat Dayak Wehea Desa Nehas Liah Bing, Ledjie Taq, Islam pertama masuk di kawasan pesisir. Dibawa oleh para keturunan Kesultanan Kutai, di antaranya Datuk Ri Bandang. Semenjak itulah Suku Kutai serius menjadi komunitas lokal yang gencar menyebarkan Islam. Agama Islam sendiri masuk ke Kerajaan Kutai di awal abad 16 sampai abad 17. Saat itu pada masa pemerintahan Sultan Aji Pangeran Sinum Panji Mendapat, sekitar tahun 1635. Masuknya Islam hingga mempengaruhi produk hukum Kesultanan Kutai. Dibuktikan dengan dibuatnya “Panji Selaten” dan “Undang-Undang Beraja Nanti”. Keduanya banyak merujuk kepada hukum Islam.

Sementara itu, agama Kristen disebarkan oleh penginjil asal Jerman dan Swiss. Organisasi yang mengutus para penginjil asal Jerman adalah Rheinische Mission Gessellschaft zu Barmen pada 1863-1925. Barulah dilanjutkan oleh organisasi Evangelische Gessellschaft zu Basel asal Swiss. Peran dua lembaga inilah yang banyak memengaruhi Suku Dayak, termasuk Dayak Wehea hingga menganut Kristen dan Katolik.

Sedangkan masuknya agama Kristen Protestan menurut Ledjie Taq, pada tahun 1957 dibawa oleh Pendeta Boew. Namun karena pengikutnya sedikit, hanya 12 orang, perkembang agama Protestan tidak signifikan. Sebaliknya justru agama Katolik berkembang pesat yang masuk tahun 1967 dibawa oleh seorang pastor bernama Frans Huvang, seorang pastor lokal keturunan asli Dayak Mahakam. “Dayak Wehea lebih banyak menerima Katolik. Karena masih menghormati nilai-nilai budaya yang sudah ada ketika dalam proses penyebarannya,” kata Ledjie Taq.

Lelaki kelahiran 1948 penganut Katolik ini menuturkan, kendati keyakinan Dayak Wehea beralih dari sebelumnya Animisme, tapi banyak nilai-nilai hukum adat sangat kental dan ketat mengatur relasi antar-sesama. Meski berbeda dalam keyakinan, nilai-nilai adat itulah yang menjadi perekat agar bisa hidup berdampingan.

Relasi sosial itu terlihat pada saat di kampung tersebut ada warga yang meninggal. Dengan kesadaran yang tinggi, mereka saling membantu untuk meringankan penderitaan keluarga yang ditinggalkan, dengan memberi santunan berupa beras. Sama halnya dengan pesta pernikahan. Biasanya, babi disajikan sebagai menu makanan. Untuk menghormati komunitas Muslim, keluarga yang menggelar pernikahan tadi, menyediakan pula ayam potong. “Konflik pun kita selesaikan dengan cara adat,” jelasnya.

Hal itu juga dibenarkan Pastor Remiygius Ukat yang selama ini mendampingi Dayak Wehea untuk memberikan pemahaman ajaran Katolik. “Mekanisme adat itu untuk menghindari politisasi agama,” katanya. Akar budaya dengan pondasi harmoni dan kepedulian terhadap lingkungan menjadi keyakinan adat Dayak Wehea.

Nilai-nilai harmoni inilah yang memudahkan warga pendatang masuk dan berinteraksi. Akibatnya, nilai-nilai itu mengalir sampai ke kehidupan sosial antara Dayak Wehea dengan pendatang. Budaya yang dilestarikan dimanfaatkan sebagai alat koreksi terhadap sesuatu yang salah. Nilai-nilai ini juga dimanfaatkan sebagai pintu masuk untuk mengajarkan agama. “Ini menjadi tanggung jawab bersama. Meski dibebankan kepada ketua adat,” tutur Remiygius.

Upaya menjaga nilai-nilai budaya seharusnya juga menjadi tanggung jawab pemerintah. Ibarat segi tiga emas, kekuatan pemerintah, agama, dan adat harus dipadukan sebagai landasan ikatan sosial dalam menjalankan kehidupan. Wadah forum lintas agama diharapkan mampu melibatkan unsur tokoh adat. Ini penting, karena selama ini, forum lintas agama hanya menyentuh elit, tidak sampai di akar rumput. “Kerangkanya harus jelas. Agar tidak membunuh identitas budaya masyarakat lokal.” ***

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun