Padi di hamparan tanah hijau dan di bawah langit biru Ciptagelar. Beras adalah nyawa dari masyarakat Ciptagelar.
Di depan saya, terdapat dua buah bakul nasi yang besar, satu bakul berisi nasi putih dan satu bakul berisi nasi merah yang disajikan bersama dengan kesederhanaan menu sup ayam, ikan wader, dan sambal hijau segar. Malam itu adalah malam terakhir saya di Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Sukabumi, Jawa Barat. Saya merasakan ketenangan dan perenungan yang dalam saat mengambil nasi merah itu. Tampak sederhana dan biasa, namun aktifitas makan malam itu sungguhlah berkesan. Nasi ataupun beras adalah nyawa dari masyarakat Ciptagelar. Beras adalah hal yang sakral, perlu dihormati dengan dikembangkbiakkan sebaik-baiknya, digunakan secara bijaksana, dan yang paling unik adalah tidak boleh dikomersialkan. Ya, beras di Ciptagelar baik dalam bentuk gabah, nasi, bubur, maupun olahan kue pantang hukumnya untuk diperjual belikan. Beras adalah nyawa bersama untuk kehidupan bersama. Namun siapa sangka, dengan prinsip budaya kebersamaan masyarakat dalam bertani dan berbagi beras justru menumbuhkan daya yang luar biasa. Denyut kehidupan nadi masyarakat yang setia dalam menjaga tradisi ratusan tahun ini menghantarkan kepada daya tarik budaya yang mempesona, mengundang orang dari penjuru negeri untuk datang. Apa yang terjadi setelah itu? Perputaran ekonomi masyarakat tentunya mampu tumbuh seiring hadirnya para "tamu" yang hadir menyapa untuk mengenal lebih dalam kebudayaan Ciptagelar.
Masyarakat Ciptagelar tumbuh bersama leuit-leuit yang ada mengelilingi rumah-rumah mereka. Leuit adalah gudang penyimpanan beras yang bisa disebut sebagai tempat yang sakral bagi mereka. Beras disimpan dengan baik untuk dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan melimpahnya jumlah beras yang ada serta dengan adanya budaya larangan memperjualbelikan beras, tak heran membuat persediaan beras di leuit melimpah. Jadi jangan heran, mungkin beras yang dimakan tamu di hari ini adalah beras yang sudah berusia sepuluh tahun lebih. Meskipun warnanya tampak bersahaja, tidak putih mengkilap seperti yang biasa dilihat di pusat perbelanjaan modern, beras Ciptagelar memiliki rasa yang nikmat alami dan menyehatkan karena dikembangkan tanpa pupuk kimia dan ditumbuk pula secara tradisional tampa mesin.
Apresiasi yang tinggi terhadap beras ini, semakin tampak dengan perayaan pesta panen yang digelar setiap tahunnya. Tarian, nyanyian, dan tentunya doa menyambut serta mengiringi pesta panen padi tersebut. Keunikan perayaan yang murni tradisional tanpa sentuhan artifisial. Semuanya berjalan dengan alami dan justru semakin memancarkan aura pesona Ciptagelar yang penuh kesederhanaan yang sesungguhnya. Sedikit demi sedikit, masyarakat luar datang untuk belajar mengenal Ciptagelar. Dengan hangat para tamu disambut di Imah Gede, rumah terbesar di Ciptagelar sebagai ruang bersosialiasi utama disana. Merekapun boleh menginap disana maupun tinggal di rumah-rumah masyarakat Ciptagelar lainnya. Penginapanpun tidak ada tarif yang secara khusus distandardkan, para pengunjung disambut layaknya keluarga dengan penuh nuansa keakraban. Namun itu benih keajaiaban yang ditumbuhkan oleh masyarakat Ciptagelar, masyarakat yang datang tentunya dengan sukarela memberikan apresiasi ucapan terima kasih dengan materi sesuai dengan kemampuan mereka seusai mereka menginap. Para tamu yang bisa disebut dipersilahkan menikmati nasi "sepuasnya" tanpa perlu membayar sepeserpun, tentunya akan dengan penuh kesadaran membayar menu makanan yang lain. Itulah tanda kehidupan ekonomi mulai tumbuh.
Seiring dengan semakin banyaknya masyarakat dari luar yang ingin bersilaturahmi dengan warga Ciptagelar, kreatifitas penduduk lokalpun semakin tumbuh. Mereka mengembangkan beraneka kerajinan tangan tradisional yang bisa dijual sebagai oleh-oleh bagi para pengunjung. Diantaranya adalah gelang akar maupun aksesoris rumah tangga dari anyaman bambu. Para pemuda pun berkesempatan berpatisipasi menjadi pemandu wisata maupun menjadi driver mobil off road untuk membawa pengunjung dari Sukabumi menuju Ciptagelar. Ya, untuk menuju Ciptagelar yang berada di puncak Gunung Halimun memang penuh perjuangan. Jalan cadas, berliku, dan menanjak memang hanya bisa ditempuh dengan orang dengan keahlian mengendarai yang mumpuni.
Tak hanya itu, kreatifitaspun semakin timbul dengan membuat kopi kemasan dan gula aren yang diproduksi oleh masyarakat Ciptagelar sendiri. Tanpa diduga, kopi dan gula aren ini juga sering diburu untuk oleh-oleh bagi para pengunjung yang hadir. Kaum pria biasa menggunakan kain iket kepala dari bahan batik, ternyata budaya tersebut memikat para pengunjung untuk berbusana layaknya masyarakat asli Ciptagelar dengan membeli dan memakai iket kepala tersebut. Tanpa diduga, dari kepedulian mempertahankan budaya tradisional yang untuk menjaga kesakralan padi bisa tumbuh sebagai warga yang berdaya dari kegiatan-kegiatan yang mengiringinya. Dengan kesahajaan pemimpin adat mereka, Abah Ugi, masyarakat terus tumbuh dengan menjaga secara kuat kebudayaan asli mereka namun tidak menutup diri dari belajar ilmu-ilmu yang baru.
Belajar Ciptagelar adalah belajar karakter. Tidak bisa dipungkiri, suatu bangsa dengan karakter yang kuat akan lebih mudah berdaya dalam mengembangkan diri tanpa terombang-ambing karena tidak memiliki identitas diri. Masyarakat Ciptagelar membuktikan bahwa dengan karakter dan budaya mereka yang terjaga kuat, mereka mampu tumbuh berkembang dengan baik tak hanya secara pengembangan diri namun hingga pengembangan ekonomi. Karakter dan ikatan budaya membawa ruh kearifan lokal yang menjadi modal mereka bertahan dari hal-hal negatif yang mampu merusak masa depan disana. Bukan hanya luar biasa, mengagumkan, ataupun indah, tapi juga menenangkan batin. Bersama budaya, masyarakat Ciptagelar mampu berdaya dalam suka duka yang dijalani bersama dari dulu, kini, dan sampai nanti.
all photos by : Sonny HS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H