Saya baru saja membalas pesan. Saya bertemu dengan orang tersebut pertama kali pada seminar "Alhamdulillah Anakku Autis" yang isinya sangat mengecewakan saya pada April lalu di Hotel Emeral Garden. Saya berjumpa dengan seorang ibu yang kebingungan. Karenanya ia daratkan berbagai pertanyaan ke inbox saya. Sayang, tidak banyak yang bisa saya bantu.
Hanya untuk sekadar share. Sebagai seorang ibu. Bahkan yang untuk ibu pertama kalinya punya anak, pastilah antara ibu dan anak memiliki kedekatan hubungan yang sangat intim dan spesial hanya di antara mereka. Namun untuk beberapa kasus seperti pada anak autistik, pola keintiman itu akan terasa berbeda. Bahkan pada autistik dengan tingkat keberfungsian tinggi seperti Asperger Syndrom. Saya merasakan itu... Ibu tersebut juga merasakannya, tapi dia bingung mau konseling ke mana.
Terus terang, saya juga tidak tahu bagaimana sistem kesehatan di Indonesia menangani kasus seperti ini. Syukur, ketika perasaan khawatir tentang anak sulung saya luar biasa hebat, saya sedang tinggal di Jerman. Waktu itu, Wali berusia 2,5 tahun, sedang adiknya berusia sekitar 6 bulan. Setelah konsul ke dokter anak, akhirnya saya direkomendasi ke psikiater anak di Frankfurt.
Lalu secara intensif dilakukan pemeriksaan secara berkala, mulai dari pemeriksaan mata, pendengaran, mulut (kerongkongan), perilaku dan lainnya. Setelah itu baru didapat diagnosa. Setelah ada diagnosa, maka dilakukanlah berbagai terapi termasuk terapi motorik, terapi Applied Behavior Analysis (ABA) dan terapi bicara. Semua biaya ditanggung asuransi kesehatan dengan sistem pembayaran melalui pajak pendapatan yang kita setor setiap bulan di sana.
Saya hanya bermodal kemauan keras dan tanpa kenal letih memenuhi jadwal terapi anak saya. Karena waktu itu, Wali memasuki usia sekolah dasar, maka pihak TK yang bertanggung jawab untuk mempersiapkan muridnya memasuki gerbang usia sekolah meminta saya untuk mengajukan proposal kepada pemerintah tempat saya tinggal, supaya Wali didatangkan seorang pendamping khusus (psikiater) ke kelasnya.
Setelah saya ajukan, pemerintah bersedia mengucurkan dana sekitar 80 puluh ribu Euro untuk pendampingan terhadap Wali selama ia di TK sampai memasuki sekolah dasar. Ketika memasuki usia sekolah, melalui rapat panjang antara saya, pemerintah dan pihak sekolah dasar umum maupun sekolah khusus, akhirnya diputuskan Wali mampu memasuki sekolah dasar umum. Tetapi program pendampingan terhadapnya di kelas, tetap dilanjutkan.Â
Hal yang sangat mengejutkan dari Wali, kemampuannya melampui harapan banyak pihak. Meski tidak ada sistem rangking, penilaian terhadapnya sangat bagus. Sayangnya, saya memutuskan untuk kembali ke Indonesia karena ego pribadi setelah bertemu dengan seseorang. Ketika di Indonesia, anak saya itu masuk ke sekolah umum. Alhamdulillah dia rangking 2 begitu pertama kali pindah. Keanehannya dianggap para guru karena belum bisa berinteraksi dengan kondisi yang berbeda dari Jerman.Â
Masih menurut dugaan para guru, kediamannya dan pengisolasian dirinya disebabkan karena masalah Bahasa Indonesia yang secara verbal belum ia kuasai dengan baik. Ketika untuk ketiga kalinya ia saya pindahkan ke sekolah lain (karena kami pindah rumah meski masih di sekitar Medan), prestasinya di sekolah juga sama sekali tidak menurun.
Oleh para guru, dia hanya dianggap sedikit berbeda dengan anak lain karena latar belakang pernah tinggal di Jerman. Saya hanya mengaminkan saja.... Sebenarnya ada keinginan untuk melakukan konseling terhadap dirinya di Medan, tetapi semuanya butuh angka-angka fantastis untuk ukuran kantong saya saat ini. Akhirnya saya mengabaikan itu.Â
Saya mendidiknya sendiri saja secara lebih ketat di rumah sepulang ia sekolah. Sampai saat ini, pola komunikasinya masih janggal. Kalau dipanggil tidak pernah menjawab apalagi datang. Harus didatangi. Ekolalia meski tidak parah tapi masih kentara. Kalau ditanya, "Wali mau makan?", maka dia selalu menjawab dengan pertanyaan, "Mau makan?" Sama seperti seorang ibu yang banyak mengajukan pertanyaannya ke saya.
Saya juga sama bingungnya. Harus berkonsultasi ke mana? Ketika bertemu dengan ibu tadi di seminar yang ternyata hanya lebih kepada penjualan produk sebuah MLM, saya tahu dia memperhatikan saya dan Wali yang duduk manis di samping saya sambil tidak berhenti menggambar. Lalu dia menghampiri dan bertanya, "Maaf ya, Buk.. Anak ibu autis? Tapi kok bisa betah duduk?" Perempuan muda itu cantik, tapi terlihat raut wajah yang sangat lelah. Saya juga memperhatikan seorang anak perempuan usia lima tahun yang digendong suaminya terus saja menggoyang-goyangkan tubuhnya sambil menatap jari-jari yang ia mainkan tanpa jeda.
Dia curhat.... Sampai saat ini putrinya belum bisa berbicara. Bahkan semasa bayi ia tak pernah mengoceh (bable). Yang paling membuatnya stres kalau anak itu tantrum (mengamuk) hingga menyakiti dirinya sendiri sampai membentur-benturkan kepala ke dinding terkadang hanya karena mainan yang ia susun berjejer-jejer dari ruang tamu hingga dapur, dirapikan. Kami terus saling berbagi cerita masing-masing...sementara pembicara di depan sibuk mengenalkan produknya.
Di akhir pertemuan kami waktu itu, saya menyelipkan kata-kata bijak yang pernah saya baca dari buku "Orangtuanya Manusia" dan membekas di hati saya, "Percayalah, setiap anak yang lahir dari rahim kita, bagaimanapun kondisinya, dia adalah masterpiece karya agung Tuhan. Allah tidak pernah membuat produk-produk gagal. Hanya kesabaran orang tua yang diuji."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H