Mohon tunggu...
Soni Harsono
Soni Harsono Mohon Tunggu... -

i like writte.. i hope will be a writter at someday....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bisu

19 November 2011   07:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:28 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bisu

Oleh: Soni Harsono

Riko, Pandangannya samar-samar, dia mengucek-ngucek kedua matanya sampai beberapa kali. Lalu dalam keadaan setengah sadar, Sesekali dia menampar pipinya sendiri pelan. Tampak beberapa orang yang berlalu lalang tepat di depannya sore itu, tapi tak ada seorang pun yang terdengar bersuara, ini cukup mengherankan baginya. Seorang ibu tampak sedang memarahi anaknya dengan menjewer telinganya dan mengarahkan telunjuknya tepat di wajah anaknya, beberapa pedagang asongan terus menawarkan dagangannya tanpa bersuara, hanya kedua tangannya dan senyuman yang mewakili, Sampai beberapa bis lewat ke halte, kondekturnya pun hanya melambai-lambaikan tangan sebagai isyarat untuk berhenti, kemudian mendekati dan mengajak beberapa orang untuk naik ke dalam bis tersebut.

Riko beranjak dari tempat duduknya, dia penasaran dengan keanehan ini. Berjalan mendekati beberapa orang tanpa mengeluarkan kata-kata, dia hanya memperhatikan mereka dari dekat, dan memang mereka tidak ada yang berkata seorang pun, hanya isyarat-isyarat yang dia tangkap. Sampai akhirnya dia kembali ke tempat duduknya semula..

Riko terus menerus memperhatikan setiap kendaraan yang lewat dan keadaan sekitar halte memang cukup asing, sambil Menunggu kendaraan umum yang akan ditumpanginya. Sampai......

(ha') rasanya kata itu sulit terlontar dari mulutnya, sangat sulit terucapkan ketika dia di kagetkan oleh seseorang yang menepuk pundaknya. Dia pun menoleh...

"Oh, putri" ucapnya dalam hati.

Dan ketika dia hendak menyapa, mulutnya kaku bukan main, mulutnya terkunci rapa, seolah beku, tak bisa digerakkan sama sekali, tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Beberapa kali dia berusaha untuk berkata, tapi tidak bisa, kata-katanya terismpan rapi. Dalam kekakuannya, dia melihat Putri begitu tenang seperti sudah terbiasa melihat kekakuan yang sedang dia alami saat ini.

Putri kemudian duduk di sampingnya tanpa bersuara, dan tak lama kemudian dia mendekapkan kepalanya di pundak Riko. sementara Riko tetap bingung dengan mulutnya. Ingin rasanya dia berteriak. Ada apa ini? Kenapa semua orang bisu? Ada apa? Hanya berbagai macam pertanyaan yang muncul dari dalam hatinya dan tak mampu keluar dari mulutnya..

Putri menunjuk dada Riko dan kemudian menunjuk dadanya, lalu melengkungkan telunjuknya menjadi berbentuk hati..

"Aku Cinta Kamu"

Dia tahu maksudnya, tapi kenapa dia tidak berkata? Ingin rasanya dia membalasnya dengan kata-kata yang lebih mesra kepada pacarnya itu, tapi tetap tidak bisa. Dia hanya mengusap lembut rambutnya. Kebersamaannya dengan Putri membuat hati Riko tepana, karena meski semuanya bisu dia tetap bisa merasakan getaran-getaran cinta antara dia dan Putri melalui bahasa tubuhnya, dan dia pun tahu bahwa bahasa tubuh adalah bahasa yang paling jujur. Seketika dia berpikir, mungkin di akhir zaman nanti keadaannya jauh lebih dari yang sedang dia alami saat ini, mulut terkunci dan semua anggota tubuh akan berbicara. Ini hanyalah hal kecil, pikirnya. Mungkinkah waktu itu telah dekat? Dan...

Kemudian Putri beranjak berdiri dari tempat duduknya, menarik tubuh Riko untuk berdiri. Kini mereka saling berhadapan. Riko tampak bingung dan berusaha memahami maksud putri, dia masih tidak terbiasa hidup dengan harus berbahasa isyarat seperti ini, tapi apalah? Semua orang bisu, semua telah terjadi dan mereka tampak tidak peduli dengan orang-orang yang ada di sekitarnya.

Putri kemudian mengangkat tangan Riko dan memandangnya secara mendalam. Melalui tatapan kedua bola matanya yang bening, Riko mungkin dapat memahami maksud Putri, 'Meski pun mulut kita tidak bisa berucap, berada dalam kebisuan, tapi hati dan jiwa kita tetap saling merasakan apa yang akan terlontar'.

Riko Begitu percaya diri menafsirkan tatapan mata Putri. Tapi dari sudut yang berbeda, sekilas terlihat wajah murung dan menunjukan kesedihan. Dan kemudian dia menunduk meneteskan air mata.

"ada apa?"

Bahasa tubuhnya kini tak bisa Dia pahami lagi, dia mengangkat wajah Putri dan kembali mereka saling bertatapan. Riko memeluk erat tubuh Putri agar bisa merasakan dan memahami apa yang sedang dia alami. Tapi tiba-tiba Putri berontak dan berusaha melepaskan tubuhnya.

Kemudian Putri memperlihatkan sebuah cincin berinisial 'A' dengan ekspresi wajahnya yang tegas meyakinkan. Riko bingung dengan Prilaku putri, hanya gerakan tangan yang mampu mewakili percakapan mereka sore itu.

Putri kembali duduk dan mengeluarkan selembar kertas kecil dari dalam tasnya. Dia tampak menuliskan sesuatu..

"Kekasihku, aku tak ingin meninggalkanmu,

aku sungguh mencintaimu"

Dia menyerahkan kertas itu kepada Riko. Tanpa mengeluarkan tulisan pun Riko sudah paham perasaan Putri terhadapnya. Dia tampak serius membacanya, tapi kali dia sama sekali tidak mengerti apa maksudnya? melihat raut wajahnya. Putri kembali menyerahkan selembar kertas,

"aku telah bertunangan dengan lelaki pilihan kedua orang tuaku. Ahmad"

Dan air mata pun jatuh tak terbendung, Putri menunduk, tak kuasa menatap Riko. Sementara Riko mulutnya ingin sekali berkata, tapi tak mampu. Hanya wajah masam yang dia tunjukkan pada Putri. Ingin rasanya dia berteriak agar semua orang yang ada di halte mengetahui isi hatinya yang telah hancur saat itu. Tiba-tiba Langit menjadi gelap, seolah mengetahui apa yang sedang dia Rasakan.

Dan kini gelap langit itu begitu nyata, perlahan Putri menghilang dari pandangan matanya seolah terbawa oleh angin, dia kini sendiri dalam kegelapan, berusaha untuk berontak......

"Astagfirullah...."

Suara itu terdengar sampai tiga kali. Perlahan-lahan Matanya mulai terbuka, dan memperhatikan keadaan sekelilingnya, hanya dinding tembok kamar bercat putih yang mengelilinginya, jam di dinding menunjukkan pukul 03.00 dini hari dan sesekali dia mengarahkan pandangannya ke sebuah poster Albert Einstin yang sedang tersenyum tak jauh dari tempatnya berbaring, seolah dia mengetahui apa yang baru saja dialaminya...

"Hanya Mimpi"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun