Mohon tunggu...
SoftwareSeni Indonesia
SoftwareSeni Indonesia Mohon Tunggu... Programmer - Software House

A fast-growing Software House company with 100+ clients around the world.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Murah vs Mahal, Kamu yang Mana?

22 Agustus 2019   13:25 Diperbarui: 22 Agustus 2019   13:50 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berhenti menilai suatu benda dari harganya!

Kamu pernah melihat suatu benda menarik, tetapi setelah melihat label harga, tiba-tiba citra benda tersebut memudar? Atau kamu pernah melihat suatu benda yang sejatinya kurang menarik, tetapi setelah melihat label harga, tiba-tiba benda tersebut terlihat indah?

Kamu tipe yang mana? Melihat benda menarik, lalu label harga, atau melihat label harga menarik, baru melihat benda?

Sebenarnya kenapa sih kita itu tidak boleh menilai baik buruknya benda dari harganya?

Mungkin untuk menilai benda yang terlihat / tangible cukup mudah ya untuk melakukan justifikasi terhadap harga suatu benda. Tetapi, bagaimana benda yang tidak terlihat & tidak bisa kamu sentuh (bukan benda dari alam ghoib ya!)? Misalnya aplikasi, website, sistem informasi, instagram, WA, Facebook, atau bahkan cita-cita kamu?

Masih bisa kamu nilai dengan label harga?

Banyak orang kaya yang beneran kaya menggunakan istilah "aquire" pada setiap benda yang mereka beli. Coba tanya kenapa? Itu karena ketika mereka melakukan penukaran uang dengan benda yang mereka aquire, mereka melihat dari segi "value" yang ditawarkan benda tersebut.

Ketika orang kaya yang betulan kaya membeli mobil mewah, Bentley misalnya. Mereka tidak melihat bentley hanya dari mobil fisiknya saja. Tetapi, komunitas, after service, kenyamanan serta fitur keamanan serta nilai tambah lainnya yang menjadi pertimbangan saat melakukan "aquire" mobil ini.

Sama halnya dengan website, software maupun mobile apps.

Jika Perusahaan Facebook di jual, kamu berani membeli dengan harga berapa? Atau mungkin jika bahkan untuk menggunakan Facebook harus membayar biaya bulanan, kamu rela membayar berapa?

Pertanyaannya, apa dasar dari "angka yang rela kamu bayarkan" dari kasus di atas tadi?

Apakah karena kebutuhan? Kamu masih bisa hidup tanpa social media.

Apakah karena hal yang tidak bisa kamu jelaskan? Dari segi emosional, kamu mampu, dan mau membayar sejumlah harga untuk bisa menikmati Facebook hingga instagram, karena kamu merasa Facebook dan Instagram memiliki nilai yang lebih dari uang yang kamu bayarkan.

Benar demikian?

Yuk bawa cerita ini cangkupan yang lebih luas. Bisnis misalnya. Sebagai pemilik perusahaan atau decision maker, dewasa ini website, software, dan aplikasi sudah menjadi kebutuhan yang bisa dianggap sebagai investasi bagi perusahaan. Karena, dengan hadirnya industri 4.0, para pemilik bisnis "dipaksa" untuk melakukan transformasi digital bisnis mereka.

Akibatnya, banyak pemilik bisnis yang gagap dan menganggap paksaan transformasi digital sebagai "syarat" saja. Akibatnya, banyak pemilik bisnis memilih untuk melakukan justifikasi harga kepada vendor-vendor yang akan menciptakan website, software, atau bahkan mobile app. Jelas, yang paling tidak membebankan dari segi budget lah yang akan dipilih.

Tetapi, jika pemilik bisnis melakukan pengamatan lebih jauh, sebelum melakukan justifikasi harga, tentu harus menilai kira-kira apa yang akan perusahaan dapatkan jika membayar dengan nominal angka tertentu.

Apakah keamanan data akan terjamin?
Apakah ada garansi maintenance produk?
Apakah produk benar-benar bisa digunakan?
Apakah ada biaya-biaya tersebunyi lainnya?
Apakah akan meningkatkan daya saing bisnis?

Jika kamu sebagai pelaku bisnis. Apa yang akan kamu lakukan?

Apakah kamu akan memilih vendor yang paling meringkankan anggaran perusahaan? Atau memilih vendor yang memberikan nilai lebih paling banyak bagi perusahaan?

Coba deh, sekarang berhenti menjustifikasi dari harga. Mulailah berpikir seperti orang kaya yang beneran kaya.

"Aquire"

Ya, yang kamu beli itu bukan benda mati tanpa nilai. Yang kamu beli adalah benda yang memiliki cerita, nilai, dan manfaat yang jauh lebih menguntungkan mu dan lebih dari sekadar label harga.

Ada orang bilang, jangan mengikuti pola hidup orang kaya, tetapi ikutilah pola pikir orang kaya.

Mungkin sulit, apalagi buat kamu yang sensitifitas terhadap harga cukup tinggi. Coba mulai nilai benda disekitarmu lebih dari sekadar benda mati.

Semua, ada nilainya. Dan harga, hanya sebagai nilai tukar. Tinggi rendahnya utilitas dari sebuat benda, ada ditangan kamu.

Mobil, Smartphone, hingga website dan mobile apps, tidak dibuat hanya berdasar "berapa harga yang akan dipatok untuk benda tersebut". Tetapi, berapa nilai lebih yang bisa ditawarkan benda-benda tersebut dengan harga sebagai nilai tukar benda.

Yuk mulai ubah pola pikir!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun