Kenapa orang menikah? Jawabannya ada banyak, tidak sama antara satu orang dengan orang lainnya. Ada yang menikah karena alasan agama, karena alasan umur, kebutuhan, bahkan ada yang menikah karena terpaksa keadaan seperti married by accident yang sepertinya menjadi sebab pernikahan yang paling membuat orang-orang hendak menghina dan mencaci. Namun apa pun alasannya, atau bahkan tujuannya, kita semua sepakat bahwa pernikahan mengandung beragam "masalah" yang tidak akan pernah dihadapi oleh seseorang sebelum pernikahan.
Tidak ada pernikahan yang tidak punya masalah, sesuci apa pun alasan dan proses pernikahan itu sendiri. Pernikahan tetap mengandung masalah meski sepasang hati yang memutuskan untuk bersama telah memiliki segala macam pendidikan, pelatihan, nasihat, bahkan meski telah memiliki waktu bersama yang panjang.Â
Masalah tidak bisa dan tidak akan pernah bisa dihindari. Memutuskan menikah berarti juga telah bersiap untuk menghadapi segala macam masalah yang tidak diketahui wujudnya sampai benar-benar datang. Dua Hati Biru (2024) adalah film yang mewakili problematika rumah tangga orang Indonesia pada umumnya. (SPOILER ALERT!)
Bima dan Dara "terpaksa" menikah karena dosa masa lalu mereka. Ya sudahlah, apa lagi yang harus disesali? Penyesalan tidak akan mengembalikan waktu dan tangis tidak akan membawa keadaan kembali seperti dulu. Hanya hikmah yang bisa dipetik baik bagi Dara, Bima sekaligus keluarga besar mereka.Â
Tidak ada gunanya juga mengumbar dosa masa lalu diri sendiri dan orang lain, bukan? Bahkan tercatat hanya satu kali kejadian masa lalu mereka diungkit di dalam film Dua Hati Biru besutan Gina S. Noer ini, itu pun kepada seorang psikolog. Sebuah pesan tersirat bahwa yang perlu kita hadapi hanyalah kenyataan berupa masa depan, karena masa lalu akan berlalu.Â
Bagi Bima dan Dara, bahwa mereka sudah memutuskan untuk menikah maka mereka harus menjalani hubungan itu, dan itu juga berarti mereka berdua akan bertanggung jawab mengurus Adam, anak hasil hubungan mereka. Hanya masa depan yang selayaknya mereka lihat.
Pasca menikah, Bima dan Dara sempat terpisah karena Dara memutuskan tinggal di luar negeri untuk kuliah. Adam diasuh oleh Bima beserta orangtuanya dan orangtua Dara secara bergantian. Empat tahun berselang, Dara memutuskan kembali karena rasa tanggung jawabnya sebagai seorang istri dan seorang ibu.Â
Dia rela tinggal di kontrakan kecil untuk kemudian menjadi ibu rumah tangga. Namun, tidak lama berselang Dara terpaksa bekerja lagi karena Bima yang belum mampu mencukupi kebutuhan keluarga secara ekonomi karena pekerjaannya "hanya" pekerjaan yang berpenghasilan rendah. Dara menganggap Bima pemalas dan tidak mampu menemukan dan memanfaatkan potens diri. Sebuah dinamika pernikahan yang acapkali terjadi pada pasangan muda, ya?
Masalah pernikahan mereka bukan cuma soal ekonomi. Bima dan Dara juga bertengkar perkara pengasuhan anak. Dara menganggap Bima dan ibunya terlalu memanjakan Adam dan Bima menganggap Dara sok pintar dan egois karena Adam harus dididik berdasarkan caranya sendiri. Di sini, Bima merasa harga dirinya diinjak-injak. Ia hanya lulusan SMA dan lahir dari keluarga kelas menengah, sedangkan Dara adalah anak orang kaya dan sudah lulus kuliah di Korea Selatan. Ditambah lagi, penghasilan Dara sebagai pekerja profesional melebihi penghasilan Bima yang ironisnya malah kemudian menjadi pengangguran. Masalah seperti ini cukup familiar, ya?
Ada sebuah momen menarik dalam film Dua Hati Biru ketika Bima menjadi satu-satunya pria yang hadir di sebuah acara parenting. Sebuah scene yang berisi sindiran halus tetapi menohok, betapa banyak suami yang menganggap tugas mengurus anak hanyalah tugas istri. Istri dianggap lebih santai karena tinggal di rumah sedang suami harus banting tulang mencari nafkah, maka suami bisa main game saat pulang kerja dan tidak berusaha belajar keras soal parenting. This is a common issue in Indonesian family, right?