Mohon tunggu...
Soni Indrayana
Soni Indrayana Mohon Tunggu... Freelancer - Novelis dan penulis buku "Kitab Kontemplasi"

Penulis yang suka menulis semua genre.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Dua Garis Biru", Dua Garis Sejajar yang Tak Akan Pernah Bertemu

23 Juli 2019   18:23 Diperbarui: 23 Juli 2019   18:29 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Awalnya saya tertarik melihat poster film Dua Garis Biru ini, namun tiba-tiba selera nonton saya menghilang sesaat setelah membaca sinopsis dan melihat trailer dari film yang disutradai Gita S. Noer ini. Sebagaimana banyaknya orang yang langsung berprasangka buruk dengan menganggap film ini pro pacaran dan perzinaan, saya pun memberikan penilaian yang terlalu dini bahkan sebelum film yang dibintangi Zara JKT48 ini resmi ditayangkan di bioskop Indonesia. "Gak akan saya nonton film seperti ini," kata hati saya waktu itu.

Tapi seiring berjalannya waktu, semua penilaian yang terlalu dini itupun menjadi purba sangka yang punah. Setelah hampir dua pekan tayang, saya memutuskan untuk menonton film yang katanya berisi tentang edukasi seks bagi para remaja (walau lebih luas daripada itu). Saya ingin membuktikan sendiri, apakah benar film ini tidak mendidik dan minim pesan moral sebagaimana banyak ditulis di media sosial, walaupun yang menulis di media sosial itu belum tentu sudah menonton filmnya.

Tabayyun yang saya lakukan terhadap film ini mengajarkan saya bahwa suatu film tidak dapat dihakimi hanya melalui trailer dan sinopsis saja, kita benar-benar harus menontonnya sampai habis dan memahami betul adegan demi adegan yang dimainkan para pemeran serta setting yang ada. Beberapa waktu lalu ada petisi yang beredar agar film ini tidak diloloskan, petisi ini disertai penelitian yang mengatakan bahwa film dapat memengaruhi perilaku seseorang, termasuk seks bebas. 

Petisi tersebut bisa saya katakan prematur, karena adegan perzinaan yang ada dalam film ini kurang lebih hanya 10 menit pertama. 100 menit setelahnya adalah tentang masalah, musibah dan kekacauan serta problem solving yang tak dapat benar-benar membuat masalah solved. Seolah berpesan kalau nikmatnya berzina itu hanya sesaat, sedangkan rasa malu dan masalah yang mendera dapat bertahan lama bahkan seumur hidup.

Pada momen Dara diketahui hamil oleh sekolah dan keluarga, adegan tersebut terjadi di dalam sebuah ruangan UKS sekolah yang terdapat poster alat reproduksi, tertempel jelas di dinding. Seolah inilah bentuk sindiran film kepada kita, khususnya sekolah, bahwa perzinaan adalah dosa besar dan kerap jadi simbol memalukan, tapi kejadiannya tetap ada dan semakin meningkat. 

Pengetahuan tentang perzinaan seringkali hanya menjadi ilmu, tanpa benar-benar menjadi alat untuk mencegah perzinaan itu sendiri. Padahal, ketika ada dua orang berzina, itu bukan hanya tentang mereka berdua, tapi juga tentang kita yang ada di lingkungan mereka. 

Pesan ini juga diperkuat dari dialog antara Bima dan Ibunya, yang berkata kepada Bima, "Andai kita selalu bicara seperti ini ya." Tersirat bahwa ibu dan anak ini jarang menjalin komunikasi yang hangat, padahal edukasi seksual terbaik yang diterima seorang anak laki-laki adalah dari ibunya.

Edukasi seksual nyatanya adalah hal yang penting sedari kecil, edukasi seksual bukan tentang bagaimana berhubungan seksual saja, tapi juga tentang bagaimana berperilaku dengan lawan jenis. Pesan ini disampaikan di awal film sesaat sebelum Dara dan Bima melakukan tindakan di luar batas itu. Bima dengan mudahnya masuk ke rumah Dara, bahkan sampai ke kamarnya tanpa ada satupun anggota keluarga bahkan hati dara sendiri yang dapat mencegah mereka. Bukankah jika Dara mengetahui konsekuensi dari sebuah hubungan seksual, kejadian hamil di luar nikah bisa diminimalisir?

Ada satu momen menarik saat Dara, Bima dan teman-temannya sedang makan kerang. Saat itu Dara memisahkan kerang-kerang yang akan dia makan. Ketika Bima berkata bahwa kerang yang terbuka dan tertutup sama saja, saat itu Dara berkata bahwa kerang yang masih tertutup tanda bahwa ia masih segar, sedangkan kerang yang sudah terbuka berarti sudah tidak sehat dan tidak segar. Soshite, bukankah perempuan juga demikian?

Bila kita menonton film ini dari awal sampai akhir, sebenarnya banyak sekali edukasi yang bisa diambil, terlebih jika remaja yang menonton film ini didampingi oleh guru atau orangtua mereka. Kesalahan bisa menimpa siapa saja, tapi sebersalah apapun selalu ada jalan untuk berbuat benar sekalipun kesalahan itu tetap tak terlupakan. 

Kemudian, anak-anak kita adalah tanggung jawab kita. Adalah tugas seorang ibu mengajarkan kepada anak laki-lakinya tentang bagaimana menghargai wanita, dan seorang ayah hendaknya dapat menjadi laki-laki yang melindungi harta paling berharga dari seorang perempuan.

Melahirkan hanya sekali, tapi menjadi ibu adalah selamanya. Dalam film ini juga terpampang jelas bahwa konsekuensi berhubungan seksual (baik yang halal maupun yang haram) adalah hadirnya seorang anak yang otomatis membuat sepasang kekasih "sah" menjadi ayah dan ibu. 

Tanggung jawab besar kemudian datang mengenalkan diri, menyertai setiap langkah bahkan sampai ke akhirat. Dukungan orangtua adalah energi eskternal utama seorang anak, yang dapat memengaruhi kekuatan diri si anak. Anak yang merasa dicintai oleh orangtuanya, akan tumbuh menjadi pribadi yang penuh kasih sayang, dan inilah yang ada dalam diri Dara dan Bima.

Akhir film ini sebenarnya menyampaikan dengan halus, bahwa tak ada cinta sejati yang diawali dengan perzinaan. Tak ada pernikahan yang bahagia bila diawali dengan zina, dan perzinaan hanya akan mendatangkan kesusahan yang menerpa bagai ombak: tidak henti-hentinya. Malah, akhir film ini hanya penegasan akan pengalaman traumatis yang akan menimpa para pelaku zina. Jika kita menganggap film ini adalah film seks bebas, maka kita salah karena tak ada adegan seks dalam film ini bahkan adegan ciuman pun tidak ada satupun.

Indonesia adalah negara yang dihiasi nilai-nilai moral yang dibangun dari enam agama yang diakui, namun apakah nilai-nilai agama itu sudah bisa diterapkan dan kita gunakan bersama untuk mencegah perzinaan? Ataukah nilai-nilai agama yang ada menjadi seperti saksi bisu yang menatap dalam diam kepada wajah-wajah yang menangis penuh malu dan sesal, sebagaimana poster organ reproduksi di ruang UKS tempat Dara dan Bima menanggung malu dan sesal karena perbuatan mereka?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun