Mohon tunggu...
Sonia Rosselini
Sonia Rosselini Mohon Tunggu... -

Saya adalah mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat IPB. Saya tertarik pada isu-isu seputar ilmu pengetahuan umum maupun pertanian, pangan, dan gizi. Setelah kuliah beberapa semester di perguruan tinggi pertanian, barulah saya menyadari dengan sendrinya bahwa pertanian mutlak merupakan sektor dasar yang perlu diperhatikan dalam pembangunan seperti yang diutarakan oleh Proklamator negeri pada peletakan batu pertama di IPB.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ini Lo Konsepnya

27 Oktober 2013   18:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:58 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua orang membutuhkan pangan dan semua orang setuju bahwa kebutuhan akan pangan semakin meningkat sementara persediaannya terus menurun. Tidak perlu lagi menyuguhkan data-data mengenai hal ini karena sudah pasti kesimpulannya sama. Salah satu isu pokoknya, pertanian kita semakin tidak mampu untuk menyediakan asupan pangan rakyatnya. Lalu orang berbicara mengenai ketahanan pangan. Ketahanan pangan atau food security itu apakah sebenarnya dipahami bersama? Saya menyarankan tulisan ini agar dapat dibaca dan dimengerti karena suatu saat pembaca dapat menjadi salah satu stakeholder terkait yang tentunya akan merumuskan kebijakan, bukan? Jika tidak, setidaknya semakin bertambah orang-orang yang mengerti konsep dan hal penting terkait ketahanan pangan.

Tiga hal yang sering menjadi salah kaprah mengenai konsep ini. Pertama, masih banyak orang bahkan stakeholder terkait yang mengasumsikannya hanya dari aspek ketersediaan, atau malah lebih mengerucut pada aspek produksi. Padahal ketahanan pangan adalah suatu sistem, yang tentunya lebih komprehensif dari itu. Secara garis besar, terdapat tiga sektor pada sistem ketahanan pangan, yaitu input, output, dan outcome. Input ketahanan pangan tidak hanya pada sektor ketersediaan, namun juga distribusi dan konsumsi, bahkan lebih lanjut ke cadangan pangan. Output merupakan tujuan langsung dari sistem ketahanan pangan, yaitu status gizi. Manusia mengkonsumsi pangan untuk menjaga fungsi biologisnya bukan? You are what you eat. Gambaran dari apa yang dimakan oleh seseorang inilah yang disebut status gizi. Adapun outcome merupakan goal besar dari sistem ketahanan pangan yaitu pembangunan manusia. Tentunya sampai sini masih terlalu umum. Mari kita bahas satu per satu.

Sektor input ketersediaan dapat diperoleh baik dari produksi lokal maupun dari impor. Impor tidak hanya berbicara antar Negara. Dalam konteks ketahanan pangan, impor berada pada konteks antar daerah. Mengapa impor termasuk ke dalam bagian sistem ketahanan pangan? Yah, percayalah bahwa ketahanan pangan sama sekali tidak membicarakan darimana pangan itu berasal. Secara sederhana, ketahanan pangan berarti kondisi tercukupinya pangan yang bergizi dan aman untuk dapat menunjang produktivitas seseorang. Lalu, bagaimana dengan swasembada? Ini yang menjadi salah kaprah kedua. Ketahanan pangan diekuivalenkan dengan swasembada. Padahal swasembada berbicara lebih jauh yaitu dengan mempertimbangkan darimana suatu pangan berasal. Dikatakan swasembada jika pemenuhan pangan sebagian besar berasal dari produksi lokal. Ini sebenarnya disebut dengan kedaulatan pangan. Mirisnya, stakeholder dan bahkan kementrian terkait masih belum memahami ini.

Sektor input distribusi merupakan sektor yang tidak banyak dipahami bersama. Sektor ini mencakup informasi, stabilitas harga, serta sarana dan prasarana. Penting bukan? Tentunya sudah tahu jika jeruk Medan konon melewati medan yang tidak semulus bandara atau pelabuhan dimana jeruk Mandarin mendarat sehingga banyak yang sampai sudah tidak dalam kondisi segar lagi. Lalu, lonjakan harga pada saat-saat menjelang hari raya agama dan harga pangan yang turun saat panen raya. Ini tidak luput dari sistem ketahanan pangan lo! .

Sektor input konsumsi merupakan sektor yang dapat dikatakan terkait lebih erat dengan status gizi sebagai output sistem ketahanan pangan. Belakangan ini orang marak dengan isu diversifikasi alias penganekaragaman pangan. Bahkan sudah ada beberapa kebijakan terkait. Namun, apakah dasarnya? Ini yang menjadi poin ketiga. Pemerintah tidak memiliki dasar dan tujuan yang jelas dalam merumuskan langkah-langkah terkait ketahanan pangan. Apakah asal semakin banyak saja jenis pangan yang dimakan? Tentunya tidak. Lihatlah bahwa output dari sistem ketahanan pangan adalah status gizi. Semua kebijakan jelas harus didasari ini. Untuk mencapai status gizi optimal, kita tidak hanya meperhatikan kuantitas namun juga kualitas.

Semua pasti setuju kalau masing-masing zat gizi memiliki fungsi tertentu. Secara umum, kita mengenal pangan sumber tenaga (karbohidrat), sumber pembangun (protein), dan sumber pengatur (sayur dan buah). Jika kuantitas hanya memperhitungkan asupan energi kumulatif dan membandingkannya dengan standar yaitu Angka Kecukupan Energi (AKE) dimana rata-ratanya adalah 2000 Kal, kualitas mencerminkan pola konsumsi mengikuti kaidah gizi seimbang. Kita bisa saja dalam satu hari hanya mengkonsumsi nasi dan memenuhi kecukupan energi yang dianjurkan, tapi sayangnya kualitas makan kita hanya bernilai setengah atau 50%.

Setiap kelompok pangan memiliki porsi tertentu untuk mencapai kaidah gizi seimbang. Serealia harus menyumbang energi 50% (sekitar 300 gram/kap/hari), umbi-umbian 6% (sekitar 100 gram/kap/hari), minyak dan lemak 10% (sekitar 25 gram/kap/hari), biji dan buah berminyak 3% (sekitar 10 gram/kap/hari), gula 5% (sekitar 30 gram/kap/hari), pangan hewani 12% (sekitar 150 gram/kap/hari), kacang-kacangan 5% (sekitar 35 gram/kap/hari), sayur dan buah 6% (sekitar 250 gram/kap/hari), serta minuman dan bumbu 3% (sekitar 35 gram/kap/hari). Inilah yang disebut dengan Pola Pangan Harapan (PPH) atau Desirable Dietary Pattern. Agar dapat dijadikan ukuran, pola tersebut diterjemahkan dalam suatu skor yang berkisar antara 0-100. Sekarang bayangkan sebuah kebijakan One Day No Rice tapi misalnya malah mengganti semua pangan sumber karbohidrat dengan umbi-umbian! Kualitas pangannya malah akan menjadi buruk bukan?

Semua pasti setuju jika apa yang dimakan tentunya mempengaruhi status gizi seseorang. Dengan demikian, seharusnya sudah dipahami bersama kalau hal inilah yang seharusnya menjadi dasar. Jika status gizinya baik, maka akan menunjang produktivitas yaitu apa yang disebut dengan pembangunan manusia. Teori pembangunan terkini menyatakan bahwa pembangunan manusia terdiri dari aspek kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Pada ukuran baku Indeks Pembangunan Manusia, sektor kesehatan diukur melalui Angka Harapan Hidup (AHH), sektor ekonomi melalui Produk Domestik Bruto (PDRB)/purchasing power, serta pendidikan melalui Angka Melek Huruf (AMH) dan Lama Sekolah (LS).

Sekali lagi bahwa kita harus memiliki dasar yang jelas dalam perumusan kebijakan ketahanan pangan. Dengan dasar yang jelas, kita akan mampu menganalisis kebutuhan pangan wilayah dan dikonfirmasi dengan ketersediaannya secara tepat. Menganalisis pangan apa saja yang potensial dikembangkan dan diperjualbelikan dari suatu wilayah, menganalisis potensi usaha agribisnis, proyeksi ketersediaan pangan wilayah, dan masih banyak lagi. Suatu gambaran kasus, pemerintah daerah terus berupaya untuk meningkatkan produksi padi padahal ternyata produksi padi yang ada di wilayah tersebut telah sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduknya (tentu dasarnya kebutuhan gizi penduduk), di sisi lain ternyata produksi sektor peternakanlah yang masih minim untuk mencukupi kebutuhan penduduknya. Nah lo?

Pemerintah dan banyak pihak sedang mengkampanyekan diversifikasi pangan yang ternyata mengarah pada pengembangan berbagai produk pangan lokal. Tidak salah memang, namun inti dari keberagaman itu yang belum tersampaikan. Bagaimana keberagaman itu menggambarkan suatu porsi tertentu dari setiap kelompok pangan sebagai cerminan dari prinsip gizi seimbang. Ke depannya hal ini harus menjadi agenda. Pemerintah sudah menetapkan Permentan No 65 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan yang menjadi target capaian pada tahun 2015 (Millenium Development Goal’s-MDG’s). Aspek ketersediaan berupa energi 2200 Kal/kap/hari dan protein 57 gram/kap/hari ditargetkan tersedia minimal 90%, stabilitas harga dan pasokan pangan (gejolak harga <25% kondisi normal dan pasokan 5-40% kondisi normal) ditagetkan minimal mencapai 90%, serta skor PPH, AKE 2000 Kal, dan Angka Kecukupan Protein (AKP) 52 gram minimal tercapai sebesar 90%. Hasil perhitungan skor PPH pada tahun 2010 oleh saya sendiri menunjukkan angka 77.19. Tentunya langkah-langkah yang disusun haruslah semakin jelas dan menjadi visi bersama jika berniat untuk mencapai target MDG’s 2015.

Dalam mencapai sebuah target yang jelas, haruslah ada sinergi antar stakeholder, terumata pemerintah. Pemerintah memiliki badan-badan yang berfokus pada aspek ketersediaan, distribusi, dan konsumsi, namun selama ini mereka dapat dikatakan fokus terhadap visi masing-masing. Aspek ketersediaan berfokus terhadap peningkatan suatu komoditas misalnya namun tidak memperhitungkan kebutuhan riil pada aspek konsumsi seperti pada kasus yang telah diutarakan. Bahkan dalam satu aspek pun, lembaga-lembaga yang ada belum tentu memiliki tujuan yang sinkron satu sama lain.

Semua yang saya utarakan mungkin teoritis yang tidak tercantum jelas sumber teorinya. Saya hanya menyusun berdasarkan pemahaman saya setelah mendapatkan kuliah Penilaian Status Gizi pada semester 5 dan Perencanaan Pangan dan Gizi pada semester 7. Perkenalkan, saya Sonia Rosselini, mahasiswa semester 9 Departemen Gizi Masyarakat IPB JJ .

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun