Tulisan ini saya susun ketika saya megikuti sebuah kompetisi paper mengenai ekonomi. Pada waktu itu, saya sulit menyelaraskan ide saya dengan sub tema karena notabene tema yang ada lebih menawarkan hal-hal terkait dengan kebijakan makroekonomi, kesenjangan sosial, tantangan politik, dan hubungan internasional. Dengan sedikit memaksakan, saya berharap ide saya bisa sejalan dengan topik pertama atau ketiga. Persaingan yang sangat ketat membuat keinginan saya untuk lolos kompetisi tidak dapat tercapai. Namun, hasil analisis saya ini saya rasa tidak sia-sia karena dapat digunakan untuk pembelajaran kita semua. Lets check it out!
Baik masalah ketahanan pangan maupun gizi merupakan tantangan bagi politik Indonesia. Ketahanan pangan yang memiliki output pada peningkatan status gizi dan outcome pada pembangunan manusia adalah lebih dari sekedar aspek ketersediaan, namun juga distribusi dan konsumsi. Skor Pola Pangan Harapan (PPH) merupakan ukuran kualitas (keberagaman) konsumsi pangan masyarakat semestinya memiliki hubungan terhadap output maupun outcome ketahanan pangan, namun selama ini belum terdapat studi yang mengkaji mengenai hal ini. Saya mencoba menganalisis hubungan antara skor PPH dengan status gizi dan pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan data 33 provinsi di Indonesia dan Indonesia secara keseluruhan. Data yang saya gunakan merupakan data sekunder yang berasal dari Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) (2010) dan Survey Sosio-ekonomi (SUSENAS) (2010). Status gizi terdiri dari status gizi pada balita, anak-anak, dan dewasa adapun ukuran pertumbuhan ekonomi adalah Produk Domestik Regonal Bruto/ Produk Domestik Bruto (PDRB/PDB) per kapita per hari. Saya melakukan analisis dengan menggunakan analisis hubungan dan regresi.
Berdasarkan analisis hubungan, diketahui bahwa peningkatan skor PPH berhubungan secara nyata (p<0.05) dengan penurunan prevalensi balita gizi buruk, peningkatan prevalensi status gizi normal berdasarkan tinggi badan menurut umur pada dewasa, dan penurunan prevalensi status gizi kurang pada dewasa dan sangat berhubungan secara nyata (p<0.01) dengan penurunan prevalensi balita sangat pendek. Penurunan skor PPH satu unit akan meningkatkan prevalensi balita gizi buruk sebesar 24.9% dimana prevalensi balita gizi buruk sebesar 0.5% saja sudah mencerminkan sebuah masalah gizi masyarakat. Prevalensi balita gizi buruk di Indonesia sebesar 4.9% akan semakin menjadi serius jika terdapat penurunan skor PPH.
Penurunan prevalensi status gizi kurang pada dewasa dan peningkatan skor PPH secara nyata berhubungan dengan peningkatan PDRB/PDB per kapita per hari. Penurunan prevalensi status gizi kurang pada dewasa sebesar 1% dan peningkatan skor PPH sebesar 1 unit akan menignkatkan PDB/PDRB sebesar 17.8% dari PDB. Dengan demikian, jika target PDB Indonesia pada tahun 2020 adalah sebesar 10.000 US$ per tahun, maka dapat dipenuhi dengan skor PPH sebesar 100. Hal ini sejalan dengan target Standar Pelayanan Minimal (SPM) pemerintah Bidang Ketahanan Pangan untuk skor PPH pada tahun 2015 sebesar 90. Jika dikaitkan lagi dengan target pencapaian prevalensi balita gizi kurang dan buruk Millenium Development Goals (MDG’s) sebesar 15.5% pada tahun 2015, maka dapat dicapai dengan skor PPH sebesar 89 (sangat mendekati target SPM bukan?) dan berimplikasi pada nilai PDB sebesar 115.1% dari PDB pada tahun 2010. PDB sebesar 234.74% dari tahun 2010 atau sebesar 65% dari target tahun 2020 akan dicapai jika kedua target (prevalensi balita gizi kurang dan buruk sebesar 15.5% serta skor PPH sebesar 90) tercapai.
Analisis ini merupakan studi sederhana yang dapat menggambarkan bahwa kualitas konsumsi pangan ternyata memiliki pengaruh yang nyata terhadap status gizi dan pertumbuhan ekonomi. Ke depannya, akan lebih baik jika dilakukan studi time series yang dapat menggambarkan tren ketiga variabel tersebut. Semoga tulisan ini bermanfaat dan bisa dipahami. Silakan komentarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H