Mohon tunggu...
Soni Arif Wicaksono
Soni Arif Wicaksono Mohon Tunggu... -

Hobi : menulis, menyukai film, musik dan olahraga..

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kisah Perjalanan U2: Dari Band Amatir ke Penggerak Evolusi Musik

28 Februari 2015   05:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:23 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1425051668399711356

[caption id="attachment_400040" align="aligncenter" width="300" caption="u2"][/caption]

Sebuah ledakan kosmos menyatukan partikel-partikel yang saling bersepihan. Lalu, keduanya menyatu dalam sebuah kilatan waktu yang saling bertautan. Beruntungnya, hal ini bukan hanya terdapat dalam kisah novel karya Dee bertajuk Supernova, yang difilmkan oleh Rizal Mantovani (2014) semata.

Karena semuanya bisa terjadi dimanapun dan kapanpun. Sebuah gerakan, apapun namanya, bisa tumbuh dalam anarkisme dan pertentangan melawan zaman yang berlangsung secara kontinyu.

Mungkin inilah yang coba dilakukan U2. U2 sebagai sebuah band yang menjual ratusan juta album di seluruh dunia dan mencatatkannya sebagai musisi sepanjang masa yang menerbitkan album dalam jumlah terbanyak. Seperti yang diulas tabloid kenamaan asal inggris yaitu Rolling Stone.

Bukan band yang berdiri dalam batas kemapanan melainkan menegakan kakinya dengan totalitas empat orang yang memiliki hasrat yang besar dalam dunia yang keras ini. Keempat orang yang terdiri dari Adam, Bono, Larry, dan Edge memulai debutnya di dapur rekaman di Dublin tanpa mengetahui cara bermain musik dengan cara yang benar.

“Music was more about energy and trying to say something and not necessarily about great musicianship.’’ ujar Bono.

Bahkan Bono menuturkan bahwa U2 sebagai tempat bermain empat anak muda tersebut sebelum mereka mahir. “A band before we could play”, ujar Bono dalam dalam beberapa wawancara.

Rupanya Paul McGuinnes, sang manager, tidak percuma mempertemukan U2 dengan label Island Record pada 1979. Pada 1983, U2 mengeluarkan album War yang diproduksi Steve Lillywhite, yang banyak menarik perhatian musisi.

JD Considine, kolumnis Rolling Stone, menggambarkan bahwa melalui War, U2 memulai perspektif baru dalam gaya bermusiknya yang impresif sebagai pendatang baru pada waktu itu, mereka bahkan mencoba bermain musik dalam persoalan isu sensitif seperti politik.

“Sundy Bloody Sunday” lagu pembuka dalam lagu War langsung menghentak dengan liriknya yang mengkritik tentara inggris yang membunuh 13 penduduk dalam sebuah aksi demonstrasi Hak Asasi Manusia (HAM) di London.

Bono berusaha menyindir perilaku brutal mereka dengan cara yang halus.

“I can’t believe the news today…”How long? How long must we sing this song?,”

Singkatnya, dia berusaha menampilkan “Sunday bloody Sunday” bukan sebuah lagu yang keras seperti The Clash yang mengkritik kebijakan imperalisme negara kolonial, atau Gang of Four yang mengkritik dialektika Marxist dalam sebuah lantai dansa.  Sehingga, U2 tampak tidak berusaha menjawab semua persoalan tetapi menyerahkan energinya kepada masyarakat untuk menciptakan kesadaran terhadap semua masalah sosial dan politik.

Setelah WAR, U2 merilis album Under A Blood Red Sky yang  berhasil memasuki tangga lagu Billboard Top 30. Lalu, kesuksesan pun terus berlanjut setelah Bono cs menelurkan album The Joshua Tree pada 1987.

Banyak penduduk AS yang terhipnotis dengan single dalam album tersebut seperti With Or Without You, I still Havent Found What I,m Looking For yang menduduki single di deretan lagu terbaik di AS.

Joshua Tree pun menjadi awal kisah sukses U2 dengan angka penjualan mencapai 20 juta kopi dan memenangi Grammy Award dengan album terbaik pada saat itu dan meraih The Best Rock Performance. Hal ini memecahkan rekor sebagai band pertama dimana satu band memenangi dua gelar dalam satu Grammy.

Tak pelak, Majalah Time pun langsung mengutuskan U2 dalam covernya pada 1987 dengan judul “Rock Hottest Ticket”. Mengikuti beberapa band ternama diluar AS seperti The Beatles, The Band dan The Who.

Lagi-lagi kesuksesan berlanjut ketika U2 meluncurkan album All That You Cant Leave Behind (ATYCLB) yang berhasil memenangi Grammy dengan dua lagu keren yaitu Beautiful Day dan Walk On pada 2002.

Walk On adalah lagu bermuatan politis yang diberikan untuk aktivis pro demokrasi Aung San Suu Kyi. Lewat lirik puitis bono berusaha menghibur Suu Kyi yang meninggalkan keluarganya akibat menjadi tahanan politik oleh Junta Militer Burma.

Lagu ini berusaha merayu Suu Kyi untuk menerima tawaran ke Inggris dari Nobel Perdamaian pada 1991. Sayang Bono tidak berhasil membujuk Suu Kyi yang memilih untuk mengorbankan kemerdekaannya daripada pergi ke inggris.

“Singing bird in an open cage who will only fly…for freedom.” Lirih Bono.

Ketika dirilis pada 2000, ATYCLB memenangkan 7 Grammy dan menjual jutaan kopi lagu dilseluruh dunia dan didengarkan kurang lebih sebanyak 3.2 juta penduduk.

Tidak cukup dengan kesuksesan, ketika berbicara tentang kemapanan sesungguhnya band ini tidak pernah lupa mengingat masa lalunya ketika mempelopori single “Invisible” pada February 2014.

“Lirik ini kita dapatkan ketika datang ke London dan berhenti di stasiun Euston, saat itu (1979), kami masih miskin,”kata Bono.

Tanpa melupakan misi sosial, U2 membagikan satu dollar AS dari setiap unduhan di itunes lagu Invisible untuk upaya pencegahan HIV AIDS dan berbagai penyakit seperti tuberkolosis dan Malaria. Adapaun selama 36 jam, penjualan single tersebut melalui itunes mencapai 3 juta dollar AS !.

Dibalik semua puja-puji, U2 bukanlah suci tanpa cela. Mungkin yang paling menohok adalah album mereka yang banyak dikritik setelah Zooropa (1993), yaitu The Song of Innocence (2014).

Dengan memberi kesempatan pengguna apple mengunduh gratis di itunes, Bono kerap diolok-olok karena merendahkan musik. Drummer Foo Fighters, Taylor Hawkins, bahkan menganggap musik U2 dalam album tersebut seperti kentut.

Meskipun terus dikritik ada dua pembuktian yang memutar balikan semua itu bahwa U2 mendapatkan 100 juta dollar AS dari Apple melalui kerjasama ini dan mendapatkan penghargaan album terbaik tahun ini versi Rolling Stone.

Mungkin The Song Of Innocence tidak sebaik Joshua Tree (1987) atau  All That You Cant Leave Behind (2000), sebagai sebuah karya seni musisi. Namun, album tersebut cukup menandai perubahan zaman di era digital yang kerap melawan kemapanan musisi yang  dirugikan dengan pembajakan gratis.

Lalu, disaat band gaek lain berada dalam kemapanan status dan tidak melihat perubahan zaman, Bono cs terus bergerak melawan nasib dan terus berevolusi. Karena dengan manajemen pemasaran album, U2 berusaha menyalip kenihilan dalam era digital meskipun agak dinilai komersil dan “murahan”.

Berbicara mengenai kenihilan mari kita dengar lirik lagu U2 dalam lagu berjudul “elevation” yang menjadi soundtrack beken dari film Tomb Raider (2001).

“I and I in the sky, You make me feel like I can fly, So high, elevation”

Yeah, U2 tetap terbang tinggi melampaui batas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun