Perkembangan internet di Indonesia sudah muncul di tahun 2000-an, masyarakat mulai menggunakan internet untuk kebutuhan sehari-hari, namun tak jarang beberapa oknum menggunakan internet dengan maksud dan tujuan yang justru merugikan orang lain.
Seiring berjalannya waktu berbagai macam bentuk kejahatan online pun terjadi di Indonesia seperti penyadapan informasi pribadi atau yang dikenal dengan hacking. Kemudian kasus kejahatan lain seperti penghinaan dan pencemaran nama baik ini membuat pemerintah akhirnya membuat regulasi yang berfokus pada aktivitas masyarakat di dunia maya yaitu UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Namun ternyata sejak regulasi tersebut dibuat menimbulkan banyak kritikan dari masyarakat karena justru kasus kejahatan online di Indonesia semakin meningkat. Terutama ada beberapa pasal yang menurut masyarakat dianggap multitafsir, sehingga dijadikan alat oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan pribadi yang justru merugikan pihak lain.
Untuk itu UU ITE mengalami revisi di tahun 2016 yang disahkan oleh Presiden Joko Widodo. Harapannya dengan revisi ini dapat memberikan rasa jera dan melindungi masyarakat dari kejahatan online.
Menurut Kajian dari Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI Vol. XII No. 16/II/Puslit/Agustus/2020, ada 271 kasus yang telah di laporkan ke polisi usah disahkannya UU No. 19 Tahun 2016. Masih dengan pasal multitafsir sebagai penyebab utama meningkatnya laporan terkait kasus tersebut.
Beberapa Pasal yang paling sering dilaporkan adalah pasal 27, 28, dan 29. Pasal-pasal tersebut dianggap memiliki kerancuan dalam rumusannya sehingga berpotensi mengekang kebebasan berekspresi masyarakat dan dimanfaatkan untuk balas dendam oleh pihak-pihak tertentu. Hal ini justru menyimpang dari tujuan utama adanya UU ITE.
Ternyata Hasil Revisi UU ITE itu pun tidak banyak merubah pasal-pasal yang masih bersifat multitafsir. Alhasil, masih banyak kasus-kasus serupa yang dilaporkan ke pihak kepolisian.
Menanggapi adanya, isu UU ITE ini beberapa masyarakat pun tak kunjung berhenti menyuarakan aspirasi mereka terkait penghapusan pada beberapa pasal multitafsir atau yang biasa disebut pasal karet tersebut. Karena masyarakat menganggap kehadiran UU ITE ini justru tidak memberikan keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Dalam hal ini, dikatakan bahwa implementasi UU ITE tidak berjalan dengan baik sepanjang rumusan di dalamnya masih dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu, yang justru tidak memberikan rasa adil bagi masyarakat Indonesia.
Harapannya, pemerintah lebih mengkritisi lebih mendalam tentang implementasi UU ITE di Indonesia sejak awal dibuat hingga saat ini dan semoga aspirasi masyarakat terkait penghapusan UU ITE pada pasal-pasal multitafsir tersebut mendapat perhatian dan solusi terbaik dari pemerintah. Apakah nantinya akan dihapuskan, atau direvisi lebih detail agar tidak menimbulkan kerancuan dan memberikan rasa adil bagi masyarakat Indonesia.
Peran kita sebagai mahasiswa tentang adanya fenomena ini bahwa kita hanya perlu mulai dari diri sendiri untuk lebih berhati-hati dengan adanya kejahatan online dan berhati-hati dalam beraktivitas di dunia maya. Serta dengan adanya aspirasi masyarakat tentang pasal-pasal multitafsir tersebut, sebaiknya dilakukan revisi dengan lebih merujuk pada hal yang semestinya agar tidak terjadi penyimpangan penerapan dari UU ITE itu sendiri.