Mohon tunggu...
Sukiman kastowo
Sukiman kastowo Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Binnealle: Mengenang Catrostopic Catasviore, Asteric di Layar 2009

12 Desember 2016   20:14 Diperbarui: 12 Desember 2016   20:31 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Karya yang diciptakan Angki Purbandono adalah imaji digital yang diciptakan dengan teknik scan. Teknik ini sudah ia kembangkan selama lebih dari 3 tahun belakangan. Gagasan utamanya, bersumber dari identitas kesenimannya sebagai seorang fotografer, ia ingin mempertanyakan kembali relasi antara diri(nya) dengan kamera, antara mata dengan lensa, antara otak dengan alat. Teknologi digital telah membawa banyak perubahan penting dalam perkembangan fotografi, terutama mengenai pembahasan yang beredar di seputar keaslian citra gambar, karena komputer bisa menyempurnakan semua imaji yang dihasilkan oleh seorang fotografer. Gambar juga dapat diciptakan dari banyak sumber, melalui berbagai program yang disediakan oleh komputer. 

Dari situ, secara kritis Angki mengajukan pertanyaan, apakah kemudian identitas fotografer selalu merujuk pada kamera sebagai alat? Jika seorang seniman meninggalkan kameranya, apakah ia tetap dirujuk sebagai fotografer? Melalui teknik pemindaian ini, Angki tidak lagi memerlukan kamera. Subjek benda dipindah langsung di atas mesin, lalu arsip digitalnya inilah yang posisinya disamakan dengan hasil jepretan kamera digital. Di luar situasi bahwa seni bisa menjadi apa saja, melampaui definisi dan kategori, apa yang dilakukan Angki menjadi penting untuk dicatat dalam konteks perkembangan fotografi di Indonesia. 

Menariknya, menelusuri relasi antara fotografi dan lukisan, karya-karya Angki menunjukkan bagaimana imaji digital dihasilkan layaknya sebuah lukisan. Ia mengambil objek sehari-hari yang telah disusun dan dipermainkan sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah kolase objek dengan makna dan komposisi baru. Sementara ia sendiri tidak mengolah hasil scan itu secara digital. Warna-warna dibiarkan sebagaimana aslinya. Sebagian besar subjek yang dipakai Angki adalah benda sehari-hari yang akrab dengan manusia, mulai makanan, buah-buahan hingga mainan. Dalam seri buah-buahan, misalnya, sebagaimana para pelukis surealis, Angki menjadikan buah itu seolah-olah sebagai lanskap bagi objek yang lain. 

Untuk pameran ini, Angki membuat seri kaleng Coca Cola. Objek ini merupakan benda temuan yang biasanya ia bawa dari perjalanan ke beberapa tempat, misalnya dari Indonesia, Korea, atau Malaysia. Ia melihat bahwa ada varian visual yang menarik untuk didokumentasikan dari kaleng coca cola. Secara umum, ketiga imaji yang ditampilkan dalam lukisan nyaris sama, tetapi sebagaimana ditemukan dalam lukisan, dengan sudut gambar yang berbeda, juga dengan rekaan tekstur atau komposisi, maka citra visual sebuah objek menjadi berbeda pula. Diambil langsung dari objek trimatra, penonton dapat melihat jelas (bahkan menjadi sangat ekstrem dengan pembesaran yang dilakukan), tiap lekukan yang membentuk tekstur dari masing-masing kaleng. 

Sementara Lovis Ostenrik, berbeda dengan Angki tertarik untuk menjadikan tubuh manusia sebagai subjek gagasannya. Selama setahun belakangan, ia menggeluti proyek citra tubuh para penari dengan gerakan melompat, yang ia beri judul sebagai proyek “momentum”. Dalam seri ini, Lovis ingin menampilkan tubuh manusia yang sedang bergerak sebagai manifestasi dari gravitasi alam. Tubuh adalah simbol fisik dari eksistensi manusia sebelum akhirnya ia diberi makna-makna lain baik dalam perspektif sosial, politik, ekonomi maupun seni. Karena itulah, Lovis menampilkan tubuh-tubuh manusia dalam keadaan yang paling polos, telanjang. Ia juga memberikan penekanan khusus pada efek bayangan, yang menjadi subjek sekunder yang penting dalam karya Lovis.

Semalam aku nonton "perahu kertas". dan baru aku sadari, ternyata masih ada kebijaksanaan dalam cinta. sayang, tak semua realita segampang laju perahu kertas kugi dan sapuan kuas kinan.
baru aku sadari bahwa dengan mencatat, mengolah diri dengan kesenian, renda kebijaksanaan sedang ku rajut seperti kesetiaan pak wayan. bahwa pada akhirnya tubuh hanya material padat, dan cinta bisa njelma kesebuah bentuk baru yang bernama keikhlasan//sondongmajeruk.cblogsot.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun