Mohon tunggu...
Somya Cantika Suri
Somya Cantika Suri Mohon Tunggu... -

Penyuka buku, musik, dan ketenangan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sa Pu Cita-Cita (Saya Punya Cita-Cita)

13 Oktober 2015   15:12 Diperbarui: 13 Oktober 2015   15:18 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Yoel berlari-lari menuju pulang. Kakinya terasa begitu kuat. Puluhan kilo beban yang tadi pagi ia pikul tak lagi terasa letihnya. Ia berlari seperti rusa jantan. “Aku harus cepat-cepat bertemu Franky!”

Sa tak bisa lagi Yoel! Apa ko rang dengar? SA TAK BISA KE JAYAPURA!” bentak Franky. Dunia terasa berhenti berputar. Yoel tak percaya yang baru saja ia dengar. “Apa alasan kau berhenti? Kau tahu? Kita sudah begitu dekat Frank! KO RANG SUDAH GILA! KAU TAHU? TUHAN MEMBANTU KITA FRANK! PELNI ITU BUKTINYA! ” ucap Yoel emosi. “Kau tahu? Sa tak bisa menolak keinginan mama. Ia sakit El! SAKIT! Aku ingin ada terus disampingnya! Pergilah El…..pergilah. Pergilah tanpa sa! “ jawab Franky. Tak lama, Yoel jatuh tersungkur, di dorong oleh sahabatnya sendiri. “Pergi ko rang! Jangan terus memaksa sa!” bentak Franky. Kini dua sahabat itu menangis. Yoel bangkit, lalu berdiri memeluk sahabatnya. Franky membutuhkan dukungan. Yoel tahu, jauh di dalam hatinya, Franky masih ingin ke Jayapura, meraih cita-cita mereka. “Kau harus berhasil disana Yoel. KAU HARUS BERHASIL! CERITAKAN PADAKU EMPAT TAHUN LAGI!” kata-kata perpisahan Franky untuk Yoel. Kini, Yoel harus berjuang sendiri. “Lindungilah sahabatku ini ya Tuhan….jaga ia seperti engkau menjaga Mama dan Noel. Jagalah sahabatku ini seperti Kau menjaga Papa di surga.”

Perjalanan di mulai. Memang, perjalanan ke Jayapura ini satu bulan lebih cepat dari sesuatu yang sudah ditunggunya. Yoel membawa satu buah tas besar berisi baju-bajunya yang paling bagus, beberapa lembar kemeja lama dengan celana panjang bahan. Tak lupa ia membawa sepasang sepatu hitam yang sudah dua kali dijahit solnya. Sore harinya, ia sampai di tempat tujuan. Yoel menggulung celananya, mengganti bajunya dengan baju kaos dan memikul kardus-kardus barang. Yoel dan keponakan Pak Daeng bekerja keras hingga subuh. “Terima kasih banyak Yoel, kau sudah membantuku. Ini ada sedikit dari Om Daeng. Terimalah.” ucap Kasim, sambil menyodorkan amplop putih. “Terima kasih sobat. Terima Kasih. Saya pamit untuk pergi ke suatu tempat. Sampaikan terima kasihku untuk Pak Daeng.” ucap Yoel, menerima amplop itu. “Mama, Papa, saya mulai!”

“SELAMAT DATANG DI UNIVERSITAS CENDRAWASIH”

Tibalah Yoel disana, di depan pintu gerbang cita-citanya. Sejenak ia ingin meneteskan air mata, namun hal itu ditahannya. Malulah ia, pria gagah dengan umur kepala dua menangis di tempat umum.  “Oh Tuhaan…terima kasih. Terima Kasih…. Namun kini, apa yang harus kulakukan? Bahkan aku tak punya tempat tinggal…ujian masih beberapa minggu lagi.” batin Yoel. Ia memberanikan diri untuk masuk kesana. Begitu megah. Langkah kakinya terayun pasti, dan matanya menelusuri tiap sudut UNCEN. Ia pun tiba di Gedung Rektorat Universitas Cendrawasih. Yoel berdiri terpaku, ia gemetar. Tak sadar ia berjongkok, meraba rerumputan yang berada di pelataran gedung rektorat, lalu membasuh wajahnya dengan embun-embun yang menempel ditangannya yang kasar. Begitu sejuk!

Yoel melanjutkan perjalanannya. Kini hanya satu hal yang mengganjal di dalam hatinya, dimana ia akan tinggal untuk beberapa minggu kemudian? Ia pun duduk tak jauh dari Museum Loka Budaya Universitas Cendrawasih, bingung.  “Kenapa Kau terlihat bingung Nak?” tanya seorang pria beruban dengan senyum yang ramah. “Hah….oh…iya Bapak, sa bingung…saya bingung.” jawab Yoel. Cerita itu meluncur dari mulut Yoel. Bapak itu, Pak Soko namanya, takjub tak bisa berkata-kata. Pak Soko tak habis pikir, pria seperti Yoel bisa melanjutkan kuliah ditengah kondisi bahkan dimana orang di desanya masih banyak memakai holim. “Kau tinggal saja di museum bersamaku nak, kalau kau mau. Sebab aku hanya sendiri mengurus koleksi museum, temanku sedang cuti. Jika kau mau, aku akan meminta izin agar kau dapat tinggal sementara disana. Bagaimana?” tawar Pak Soko antusias.  Yoel mengangguk cepat, menyambut tangan ajaib lain yang menolongnya. “Ma….Pa….Yoel sungguh beruntung. Terima Kasih Tuhan!”

Universitas Cendrawasih adalah kampus pertama yang mempunyai museum budaya.  Tak hanya itu, museum ini juga memiliki sejarah yang unik. Michael Rockefeller, putra Gubernur New York Nelson Rockefeller, adalah salah satu orang yang berpengaruh pada berdirinya museum ini, meski tak bersentuhan langsung. Kedatangan Rockefeller ke Agats awalnya hanya untuk membuat film, namun ia begitu tertarik pada patung Asmat  dan berniat untuk membawa beberapa agar bisa dipamerkan di Museum of Primitive Art, New York, Amerika Serikat.

Namun, kenaasan menimpa Rockefeller. Perahu yang ditumpanginya bersama seluruh awak terbalik saat menyebrangi bibir Sungai Betsj. Rockefeller tewas tak terselamatkan. Akhirnya patung-patung yang semula hendak dipamerkan justru ditinggal di Papua.

Ide untuk membuat museum muncul sejak tahun 1974. Namun baru tujuh tahun kemudian museum resmi dibuka. Koleksi-koleksi benda-benda berharga dikumpulkan di tahun-tahun ini, sampai sekitar tahun 1985, ketika museum masih dibiayai oleh Rockefeller Foundation.

Pada tahun 1981 museum diserahterimakan dari Rockefeller Foundation kepada Rektorat UNCEN. Awalnya museum berdiri sebagai lembaga di kampus, namun kini telah menjadi Unit Pelaksana Teknis. Saat ini tercatat sekitar 1.300 benda koleksi tersimpan disini.

Yoel begitu bersemangat membantu Pak Soko. Setiap pagi sekali ia gigih membersihkan beragam koleksi museum mulai dari kapak batu, perahu, dayung untuk mencari ikan, patung-patung, peralatan untuk pemujaan roh,hingga lukisan kulit kayu.  Tidak hanya itu, Yoel juga  melayani kolektor dan turis yang sering berdatangan untuk berburu benda-benda antik yang dijual pada toko benda seni atau art shop yang masih ada di lingkungan museum. “Papa…lihat Yoel, Pa. Sekarang sa sudah mahir berbahasa Indonesia Pa, sa juga sudah bisa berbahasa Inggris. Ini untukmu Pa, untukmu…..Mama, kelak akan kuceritakan hal ini padamu Ma…..”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun