Mohon tunggu...
Somya Cantika Suri
Somya Cantika Suri Mohon Tunggu... -

Penyuka buku, musik, dan ketenangan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sa Pu Cita-Cita (Saya Punya Cita-Cita)

13 Oktober 2015   15:12 Diperbarui: 13 Oktober 2015   15:18 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Sangat menyesal hidup sebegini

Telah berpadu cinta, untuk hidup bersama

Tapi sekarang, terikat dengan orang lain

Baru ku tahu omonganmu itu…..

“Heh! Yoel! Bangun kau!” teriak Franky di samping telinga pemuda itu. Dengan mata yang masih berat, ia mulai membangunkan Yoel, sahabatnya. Pemuda itu, masih terbaring gemerasak di atas karung goni tempatnya mengangkut langsat  untuk diantar ke pasar malam tadi.

Matahari mulai menyinari emperan Toko Kokput Jaya, memanaskan wajah Yoel, sehingga tak lama pemuda itu terbangun. “Sa lapar, trada makanan, jo kitong pulang.  Ayo cepat!” bentak Franky. Tanpa berkata-kata, Yoel yang masih mengumpulkan nyawanya berjongkok sambil melipat karung goni, alas tidurnya subuh tadi. Masih terngiang-ngiang dalam kepalanya lagu pengiring penampilan tarian yosim pancar atau yospan, tarian yang mempertemukannya dengan Greta, gadis  yang sejak dua hari lalu jadi pujaannya dalam diam. Lagu sedih yang di dendangkan dengan ceria itu, menjadi lagu pengiring pertemuan mata mereka. Malam yang menakjubkan, pikir Yoel.

Tak lama dua pemuda itu sudah berjalan gontai melewati sebuah pasar di Kota Manokwari. Aroma kuah sayur ikan kuning melewati hidung Yoel dan Franky, namun mereka harus terus berjalan, membawa utuh uang dikantung. “Kau sungguh lapar Frank? Sa juga. Dorang pu uang toh?Mari makan!” kata Yoel sambil menggerak-gerakkan hidungnya mengikuti aroma kuah ikan itu. “Inga-inga tujuan awal kitong El, kita harus punya ongkos untuk kesana!” kata Franky berapi-api sambil menepuk pundak sahabatnya, dengan penekanan pada kata “kesana”. Yoel memegangi perutnya, sambil menatap nanar warung Mama Esi, asal aroma itu. “Iya Frank. Sa pasti kesana!” ucapnya sambil menatap lurus kedepan. Diam-diam ia tersenyum, sambil membayangkan dirinya sudah “disana”.

Yoel Damianus, pemuda berusia 20 tahun yang telah lulus STM ini, kini menjadi penjual buah dan sayur kepada pedagang di sebuah pasar di Kota Manokwari. Ia bersama sahabatnya, Franky, lebih sering menjual langsat, buah sejenis duku yang sedang panen di desa mereka. Seusai memetik dari kebun, mereka memasukkan langsat-langsat yang manis itu ke dalam karung goni, untuk kemudian dijual ke pasar. Jangan bayangkan motor besar dengan gerobak kokoh untuk mengangkut karung-karung berisi langsat ini. Mereka harus memikul karung-karung ini, masing-masing satu karung perorang menempuh jarak yang tak mustahil puluhan kilometer. Dan mereka berdua, mempunyai satu tujuan, untuk “kesana”. Mengumpulkan uang untuk ongkos ke tempat impian mereka, tak masalah walau harus menggotong karung seberat 30 kilo dari desa ke Manokwari. Angkutan umum yang sesekali lewat mereka acuhkan meski sangat menggoda kaki untuk beristirahat. Alasannya tak lain tak bukan, sekali jalan mereka harus mengeluarkan uang Rp 15.000 untuk ongkos angkutan umum itu. Ojek? Jangan tanya lagi. Lebih dari Rp. 50.000  harus mereka gelontorkan. Ah mimpi itu!

Semenjak Manokwari berganti status menjadi ibu kota Provinsi Papua Barat, kota ini menunjukkan perkembangan yang signifikan. Seperti seorang gadis yang hendak bertemu kekasihnya, Manokwari pun berhias. Semenjak Papua Barat dibentuk pada tahun 2004, pertokoan, hotel, mal, dan kawasan perkantoran pun berdiri di Manokwari, menambah kesan kota modern. Dikota inilah, Yoel dan Franky menggantungkan harapannya, loncat dari satu pasar ke pasar lain, mencari pedagang yang mau memesan langsat desa mereka.

Disepanjang jalan menuju pulang, mereka berpapasan dengan masyarakat Papua yang bernasib sama – menghemat ongkos dengan berjalan kaki, meski tujuan mereka ke kota. Beberapa pria  masih memakai holim, atau koteka. Yoel pun tetap menghormati mereka meski ia sudah memakai baju dan celana. Ia pun mengenang, ia baru melepas holim miliknya saat menduduki bangku SMP.

Pria-pria yang memakai koteka itu kebanyakan masih tinggal di pegunungan atau pedalaman. Mereka tinggal di honai , rumah bundar beratap ilalang, bersama puluhan warga sukunya dalam kompleks permukiman adat. Seperti kebanyakan masyarakat Pegunungan Tengah Papua, mereka masih bertani secara tradisional. Mereka menanam ipere (ubi jalar) sebagai  tanaman utama, beserta aneka umbi-umbian lainnya. Tidak hanya ipere, warga juga menanam beraneka jenis sayuran dan buah-buahan seperti kol, sawi, jeruk, dan buah yang terkenal sebagai obat apalagi kalau bukan buah merah. Pascapanen, mereka pun turun gunung menjual hasil pertanian  ke kota. Jumlah manusia berkoteka semakin menurun karena sebagian dari mereka sudah memilih untuk berpakaian seperti masyarakat Indonesia pada umumnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun