“Ya.”
“Siapa manusia yang berhak memberi syafa’at?”
“Muhammad Rasul Allah.”
“Jika Allah berhak memberi maghfirah maka Muhammad berhak memberi syafa’at.” kata Abdul Jalil sambil menatap bintang-bintang di langit. “Jika Muhammad dan orang-orang beriman wajib shalat kepada Allah maka Allah beserta para malaikat bershalawat kepada Muhammad dan karena itu Allah mewajibkan orang-orang beriman bershalawat kepada Muhammad. Jika al-Hamid (Yang Terpuji) adalah Asma Allah maka Ahmad adalah nama Muhammad. Jika Allah murka kepada siapapun, yang mencintai sesuatu selain Dia, baik itu anak, istri, keluarga, harta benda, atau kekuasaan, kenapa Allah tidak murka kepada orang-orang yang mencintai Muhammad?”
“Tapi Tuan . . . “ Abu Talbis gelagapan.
“Tuan Abu Talbis,” sahut Abdul Jalil tersenyum, “Sebaiknya kita tidak perlu berdebat soal pandangan dan keyakinan kita. Sebab, yang paling utama menurut saya adalah bagaimana kita berjuang menuju Dia dan semata-mata untuk Dia dan karena Dia? Ataukah kita menggunakan agama-Nya untuk sesuatu selain Dia? Bagi saya, telah jelas dalil Al-Qur’an : Wa al-ladzina jahadu fina lanahdiyannahum subulana, bagi mereka yang benar-benar berjuang menuju Kami maka akan Kami tunjukkan jalan-jalan Kami. Itu berarti, jalan menuju Allah tidak satu. Jadi, jika Tuan yakin bahwa jalan Tuan itu benar maka ikutlah jalan itu. Sebaliknya, saya akan meyakini jalan yang saya anggap benar tanpa perlu mencela jalan orang lain, apalagi sampai memaksa orang lain agar mengikuti Jalan dan Cara saya.” –Halaman 41-47
.............................
Dalam memahami ungkapan tentang Dajjal, Abdul Jalil merasakan betapa setiap kali Misykat al-Marhum menyitir hadits maka saat itu pula ia bagaikan menyaksikan pemandangan nyata yang tergelar melalui bashirah. Saat Misykat al-Marhum menyitir hadits yang mengungkapkan bahwa Dajjal digambarkan berkulit putih, mata kanannya buta, mata kirinya bersinar laksana bintang (HR. Bukhari) maka terpampanglah di dalam pemandangan batinnya sosok-sosok dari manusia-manusia berkulit putih, bermata biru, berambut pirang, berhidung mancung, dan bertubuh tinggi besar. Mata duniawinya (sebelah kiri) terbuka lebar dan sangat cemerlang, sedang mata ukhrawinya (sebelah kanan) buta.
Misykat al-Marhum menyitir hadits yang menyatakan bahwa Dajjal memiliki gunung roti dan air sungai. Dajjal juga membawa api dan air di tangannya, namun air itu sebenarnya api dan api itu sebenarnya air (HR. Bukhari). Melalui pandangan bashirah, Abdul Jalil melihat gambaran tentang sosok-sosok yang memiliki kekayaan luar biasa. Mereka suka sekali menipu orang lain dengan janji-janji palsu tentang kehidupan duniawi dan ukhrawi. Siapa pun yang menumpukan harapan kepada mereka akan mendapatkan kesesatan dan kebinasaan. Sebaliknya, siapa yang berani menantang akan beroleh kebaikan dan kemenangan.
Ketika Misykat al-Marhum menyitir hadits yang mengungkapkan bahwa Dajjal jika berjalan di atas bumi sangat cepat bagai awan dibawa angin (HR. Abu Daud), tiba-tiba dalam pandangan bashirah Abdul Jalil terpampang kapal-kapal layar berukuran raksasa yang bergerak sangat cepat membelah samudera raya. Diiringi dentuman meriam, kepulan asap, bau mesiu, mayat bergelimpangan, dan darah berceceran di mana-mana, berhamburanlah kawanan manusia berkulit putih dari dalam kapal-kapal mereka. Demikianlah, kawanan manusia berkulit putih itu melanda ujung-ujung dunia. Dengan kerakusan tiada tara mereka memangsa apa saja yang ditemuinya di sepanjang perjalanan.
Berdasarkan hadits-hadits tersebut dan pandangan bashirah, Abdul Jalil menangkap makna Dajjal sebagai kaum berkulit putih yang hidup mengikuti tatanan nilai yang terhijab dari al-Khaliq dan dari kehidupan ukhrawi. Itu sangat sesuai dengan makna di balik nama Dajjal yang berasal dari kata dajala: dia (yang) tertutup. Dengan demikian, yang disebut Dajjal adalah bangsa-bangsa berkulit putih yang seluruh sisi kehidupannya terhijab dari al-Khaliq. Ini berarti, siapa yang mengikuti tatanan nilai bangsa-bangsa berkulit putih maka ia akan terhijab dari al-Khaliq.