Usai Perang Badar, Rasulallah mengungkapkan kepada para sahabat bahwa pertempuran itu adalah pertempuran kecil belaka. Pertempuran yang lebih besar dan dahsyat adalah pertempuran melawan nafsu. Melawan diri sendiri. Ucapan Rasulallah seusai Perang Badar itu terbukti saat pecah di Uhud. Dalam perang itu, para pemanah yang ditugaskan menjaga bukit untuk menghadang musuh ternyata berlarian ke bawah untuk berebut rampasan perang. Kemudian, terjadilah tragedi paling memilukan dalam sejarah awal kebangkitan Islam. Terbukti, pamrih pribadi dan kecintaan terhadap harta benda adalah pangkal kebinasaan.
Ketika sayap khayal mengepak perkasa, terbang di antara gugusan sejarah Perang Badar dan Uhud dengan masing-masing latarnya, tiba-tiba Abdul Jalil dihampiri oleh laki-laki muda yang sudah dikenalnya dengan nama Abu Talbis az- Zur. Orang ini berasal dari negeri Mesir. Tubuhnya tinggi kurus dengan wajah tirus, hidung melengkung bagai paruh rajawali, mata cekung, tulang pipi menonjol, dan gigi agak mengedepan. Jika berbicara dia selalu menggerak-gerakkan kedua tangan seolah-olah tukang sulap sedang memeragakan keahliannya.
Saat di Makah, Abu Talbis tinggal dekat dengan pemondokan Abdul Jalil, namun keduanya tak pernah berbincang-bincang kecuali hanya saling melempar senyum saat berpapasan. Malam itu Abu Talbis berpamitan kepada Abdul Jalil karena esok akan langsung menuju Yanbu untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Mesir. Abdul Jalil menangkap ada yang tidak beres pada diri Abu Talbis. Ia kemudian menanyakan apakah laki-laki itu tidak melakukan shalat arba’in di Masjid Nabawi dan ziarah ke makam Rasulallah.
Mendengar pertanyaan itu, Abu Talbis tertawa mengejek sambil mendengus. Kemudian, tanpa ada yang meminta dia berkhotbah dengan menyitir dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits yang intinya mengecam kebiasaan sesat yang dilakukan jama’ah haji yang menyekutukan Allah dengan Muhammad. “Muhammad itu manusia biasa. Meski dia nabi dan rasul, tidak boleh dimuliakan melebihi manusia lain, apalagi sampai dituhankan. Untuk apa aku shalat arba’in di Masjid Nabawi? Bukankah pahala yang besar sudah kita peroleh saat shalat di Masjidil Haram? Untuk apa aku ziarah ke makam Muhammad? Bukankah sudah cukup kita tawaf mengitari Ka’bah? Semua itu perbuatan sia-sia. Menyekutukan Allah. Musrik!” cibirnya.
“Tuan,” Abdul Jalil tersenyum, “Tuan boleh saja mengikuti keyakinan Tuan. Namun, janganlah Tuan menista dan menghujat amaliah ibadah yang dilakukan orang lain yang tidak sepaham dengan Tuan.”
“Sebagai sesama muslim, aku wajib mengingatkan mereka,” Abu Talbis melirik ke arah Abdul Jalil, “Sebab, telah tertulis di dalam Al-Qur’an (QS. al-‘Ashr:3) bahwa sesama orang beriman harus saling mengingatkan. Bagiku, jelas sudah kebenaran hanya ada pada Al-Qur’an sebagai firman Allah. Allah tidak boleh disekutukan dengan siapapun, termasuk Muhammad.”
“Tuan,” sergah Abdul Jalil mendadak merasakan dadanya bagai hendak menumpahkan sesuatu, “Sebagaimana Tuan, saya pun yakin bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah. Namun, tahukah Tuan dari mana kebenaran Al-Qur’an ayat demi ayat itu sampai kepada kita?”
“Melalui Muhammad, Rasul Allah” Abu Talbis mengerutkan kening.
“Apakah Al-Qur’an itu berupa kitab atau tabut saat diterima Rasulallah, sebagaimana hal itu pernah diterima Musa?”
“Tidak,” sergah Abu Talbis menatap tajam Abdul Jalil.
“Jika begitu, dengan cara bagaimana Al-Qur’an diturunkan oleh Allah?”