Sebut saja dalam penciptaan lapangan kerja, kebijakan gubernur dengan bupati/walikota dapat disinergikan. Dari kebijakan penempatan tata ruang yang layak bagi industri, pertanian dan kebutuhan ruang lainnya. Sampai kepada kekompakan dalam standar upah buruh di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Contoh lain yang lebih kongkret adalah dalam upaya mencerdaskan bangsa melalui pendidikan. Dalam banyak kasus, seringkali kebijakan kabupaten/kota yang berhadapan langsung dengan masyarakat tidak didukung oleh pemerintah provinsi. Padahal Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pusat lumayan besar untuk disalurkan ke kabupaten/kota. Aparat kabupaten/kota cenderung berjuang sendiri untuk mendapatkan DAK tersebut.
Kedua, memperkuat fungsi pemerintahan di semua level. Dinamika otonomi daerah di Indonesia berubah dari masa ke masa. Repotnya, jenjang pemerintahan di negeri ini begitu banyak tingkatannya. Sehingga begitu kompleksnya persoalan administrasi pemerintahan yang mewarnainya. Ketika ada tiga tingkatan pemerintahan di bawah pemerintah pusat yaitu provinsi, kabupaten/kota dan desa, dapatkah hasil-hasil pembangunan berjalan efektif sampai kepada rakyat? Dapatkah fungsi pemerintahan yang menyatukan berbagai tingkatan itu berjalan sebagaimana yang diharapkan?
Memperkuat peran gubernur hanya akan “melemahkan” bupati/walikota dan kepala desa, dan realitas itu sudah seringkali kita alami. Justru sebaliknya, ketiga tingkat pemerintahan itu harus dikuatkan pada fungsinya masing-masing. Fungsi yang relatif sama yaitu pelayanan publik.
Ketiga, memperkuat koordinasi. Penulis mengibaratkan koordinasi sebagai peniti. Barang kecil yang cenderung dilupakan, namun sangat berarti dalam banyak fungsi. Semua bentuk dan level pemerintahan itu mutlak berjalan seiring dengan kata kunci: koordinasi. Karena desa –dengan otonomi desa yang semakin kuat- bukan lagi sub ordinasi dari kabupaten, dan begitu juga dengan kabupaten/kota yang bukan daerah bawahan provinsi. Walaupun dalam batasan tertentu, provinsi mengalirkan tugas-tugas dekonsentratif dan pembantuan (medebewind).
Dalam konteks pembahasan ini, koordinasi dapat dikatakan sebagai alat bantu terciptanya penguatan fungsi pemerintahan di semua level. Tanpa itu, semua fungsi pemerintahan tersebut akan nampak “kedodoran”.
Keempat, memperkuat distribusi anggaran. Harus diakui, bahwa sikap mbalelo dan “tidak patuh” bupati/walikota yang disebut Syamsudin Haris terhadap gubernur sangat terkait dengan sikap adil dalam distribusi anggaran. Karena dalam banyak kasus, seringkali bupati/walikota merasa dilecehkan dan mendapat perlakuan tidak adil dalam alokasi anggaran untuk kabupaten/kota. Terlebih, ketika kabupaten/kota dimaksud sudah memberikan kontribusi besar dalam pemasukan pajak daerah kepada provinsi. Sebagai contoh, dalam konteks ini pajak kendaraan bermotor.
Faktor ketidakadilan itu mungkin yang mendasari banyak bupati/walikota untuk mencalonkan diri sebagai gubernur, dan banyak diantara mereka yang menang.
Kelima, memperkuat kerja sama. Daerah besar dan kecil yang dimaksud konstitusi yang diterjemahkan oleh UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi berbeda dibandingkan dengan masa lalu. Perbedaan itu sangat menyolok karena daerah-daerah tersebut tidak lagi bertingkat. Provinsi dapat dianalogikan sebagai kolam besar yang dikelilingi oleh beberapa kolam sedang yang dapat disebut kabupaten/kota. Dan diantaranya banyak terdapat kolam-kolam kecil yang disebut sebagai desa.
Diantara ketiga bentuk kolam tersebut terdapat kanal-kanal yang mengalirkan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing yang dapat dikatagorikan sebagai desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan. Apabila peran gubernur diperkuat, bukan hanya tupoksi yang mengalir deras ke kolam-kolam tersebut, namun termasuk juga penyalahgunaan kekuasaan.
Dalam konteks itu, kerjasama menjadi suatu kebutuhan yang harus selalu dipelihara sebagai bentuk arus balik dan menjaga keseimbangan antar daerah. Kerjasama ini juga dimaksudkan sebagai batasan bahwa tidak ada daerah yang lebih dominan dari daerah lainnya, seberapapun besar daerah itu, seberapapun besarnya peran yang disandangnya. Walaupun daerah itu bernama provinsi sebagai wakil pemerintah pusat.
Dari uraian sederhana ini dapat disimpulkan, bahwa nampaknya tidak dirasa perlu untuk kembali memperkuat peran gubernur ditengah harapan titik berat otonomi daerah justru berada di kabupaten/kota. Yang dibutuhkan adalah adanya sinergi antar daerah, ditengah pemahaman dan kesadaran yang sama bahwa peran seorang kepala desa, bupati/walikota sama mulianya dengan gubernur yang juga wakil pemerintah pusat itu. Peran mulia sebagai pelayan-pelayan dari rakyatnya, yang tidak akan berubah sampai pada masa baktinya. Dan menghadirkan rakyat sebagai satu-satunya alasan untuk berbuat lebih dalam setiap kebijakan.