Selama ini, menurunnya kelestarian fungsi lingkungan hidup, yakni fungsi lingkungan secara holistik yang mencakup unsur tanah, air, udara serta alam sekitarnya adalah tanggung jawab Pemerintah.
Begitu banyak aspek-aspek lingkungan yang akan menuntun kepada Argumen bahwa, selama ini pemerintah adalah biang keladi Perusakan dan pencemaran lingkungan. Padahal, baik secara agama, moral maupun hukum, pemerintah seharusnya bertanggung jawab untuk menjamin keberadaan "Lingkungan Hidup Yang Baik dan Sehat".
Salah satu contoh kasus yang adalah Diabaikannya Keberadaan RTH 30% di kawasan perkotaan. Selama ini, dengan alasan keterbatasan dana dan sumber daya, dengan mudahnya mereka menyampaikan ketidak-sanggupan untuk memenuhi luasan RTH. Sumber daya yang selalu identik dengan uang dan tanah tentu saja sangat menafikkan karunia akal dan pikiran dari Tuhan (kalo aparatnya berAGAMA nih) serta tanggung jawab telah memperoleh gaji (BUTA) dari masyarakat.
(Yahh, kalau berdebat tentang nurani dan moral...percuma sama pemerintah)
(issu : kenapa saat pemerintah melanggar Undang-Undang, tidak dikenakan tuntutan/ gugatan "Perbuatan Melawan Hukum (UU)).
Bukankah selama ini pemerintah lah yang "dengan imbalan" memberikan izin ini, izin itu, kepada segelintir pemilik Modal/uang. Semacet apapun suatu kota, Pusat2 perbelanjaan seperti Mall masih dapat memperoleh lahan dengan mudah. Padahal di lain sisi, pemerintah sibuk Gusur Sana-Gusur sini.
Selama ini wewenang "hak mengusai" yang dimiliki, seolah tidak diiringi dengan Tanggung Jawab.
Begitu mudahnya pemerintah memberikan izin untuk pengusaha, yang kemudian usaha tersebut menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Pertanyaanya kemudian, siapa yang salah???
Secara mudah terlihat, pengusaha yang salah. Namun dalam konteks wewenang dan tanggung jawab, selaku pemberi izin, Pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk mengawasi berjalannya suatu usaha/ kegiatan agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.
Diabaikannya tanggung jawab pengawasan dan pembinaan oleh Pemerintah berakibat, pencemaran dan perusakan lingkungan yang terjadi terlanjur parah.
Pengawasan yang pertama adalah dari aspek perencanaan. Instrumen analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), kenyataannya hanyalah menjadi formalitas basa-basi belaka. Tak jarang, oknum-oknum institusi pemerintah di bidang lingkungan, menjadi "CALO" dengan berkedok sebagai "Konsultan", supaya dapat mempermudah diperolehnya persetujuan AMDAL bagi para pengusaha.Tak hanya AMDAL, berbagai dokumen lingkungan seperti UKL-UPL serta SPPLH juga menjadi lahan subur bagi oknum institusi pemerintahan bidang lingkungan hidup.
Pengusaha, mau tidak mau, mengikuti jalur "jalan tikus" yang diarahkan oleh Ke(a)parat. Sebab tidak ada jaminan apabila Amdal dibuat dengan sunguh-sungguh oleh Konsultan yang sebenar-benarnya, dapat memperoleh izin persetujuan oleh pemerintah.
Akibatnya AMdal atau UKL-UPL atau SPPL tidak mampu menemukan apalagi mampu meminimalisasi potensi dampak negatif yang akan timbul dari suatu kegiatan.
Seandainya tanggung jawab tersebut dilaksanakan dengan baik, maka seharusnya dampak negatif yang timbul dapat diminimalisasi, atau bahkan dihilangkan.
Sayangnya, sebagian besar masyarakat seolah tidak menyadari tanggung jawab pemerintah. Sehingga selalu saja fokus terhadap kesalahan para pengusaha nakal semata.
lanjutin ntar yoooo...ngopi dulu...biar kepala agak dingin, bis kalo bahas kebobrokan pemerintah saat ini...bikin esmosi cohhhh!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H