Selain itu, pengakuan tersebut juga tertuang dalam berbagai Undang-Undang antara lain, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), Undang-Undang tentang Kehutanan (UUK), UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Sumber Daya Air (UUSDA), UU tentang Perkebunan, UU tentang Penataan Ruang, serta Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).
Sedangkan perlindungan terhadap masyarakat lokal ada di dalam UU 10/1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Salah satu ketentuanya menjelaskan bahwa, masyarakat sekitar hutan yang telah lama menjadikan hutan di sekitarnya sebagai penopang hidup mereka, memiliki hak dan kesempatan yang lebih besar untuk menjadi pengelola dan mengelola hutan tersebut daripada masyarakat pendatang dan atau para pengusaha HPH.
Dalam lingkup Nasional dan Internasional dituangkan dalam UU 11/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya memberikan jaminan terwujudnya hak bagi setiap orang atas standar kehidupan yang layak seperti terpenuhinya pangan, sandang, dan papan. Hak ini menyiratkan spirit dalam memberikan jaminan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat miskin pada umumnya.
Berbagai peraturan perundang-undangan (PUU) tersebut merupakan bukti akan eksistensi keberadaan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan yang tidak terbantahkan.
Namun seiring berjalannya waktu, hak yang telah ditegaskan tersebut cenderung semakin dikaburkan dan terlindas keberadaanya.
Ketidakmampuan atau keengganan pemerintah daerah untuk menetapkan keberadaan serta melindungi hak-hak masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan melalui peraturan daerah (perda) merupakan salah satu indikasi dilegalisasinya penindasan terhadap hak-hak tersebut selama ini.
Bahkan, berdasarkan data Komnas HAM tahun 2006, dari 20.000 jumlah masyarakat hukum adat di negara Indonesia, hanya tiga yang telah disahkan oleh pemerintah melalui Perda.
Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Lokal
Kewenangan “dikresi” pemerintah daerah dalam menetapkan perda mengenai keberadaan masyarakat adat/ sekitar hutan terbukti telah gagal.
Ketergantungan terhadap “goodwill” pemerintah dan pemerintah daerah, malahan cenderung semakin mengurangi dan bahkan menghilangkan hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh masyarakat adat tersebut. Lemahnya posisi masyarakat sekitar hutan/ adat dalam menentukan kebijakan pengelolaan hutan semakin memudahkan oknum aparat pemerintah menindas hak-hak masyarakat sekitar hutan/ adat.
Ketiadaan penentuan skala prioritas kebijakan serta kaburnya pemahaman mengenai kepentingan umum menjadi “senjata ampuh” untuk mengabaikan hak-hak tersebut oleh kebijakan pembangunan sektoral lainnya.
Sedangkan, Departemen Dalam Negeri kenyataanya juga tidak mampu membuat kebijakan untuk mengarahkan aparatur Pemda agar menetapkan keberadaan masyarakat lokal di daerahnya masing-masing.