Dunia dengan dinamika yang cepat dan serba terkoneksi pada era sekarang ini, kebahagiaan seringkali diasumsikan dengan melakukan interaksi sosial, memiliki strata sosial yang tinggi, dan mendapatkan pengakuan dari orang lain. Kehadiran media sosial telah menciptakan sebuah ilusi bahwa kebahagiaan hanya dapat ditemukan dengan validasi eksternal, dimulai dari jumlah followers atau "like", mendapatkan perhatian dari keluarga dan teman, serta meraih kesuksesan yang diakui publik. Perlu direnungkan bahwa kebahagiaan tidak akan selalu hadir ketika melibatkan faktor eksternal tersebut melainkan bisa didapat dengan merenung dan melihat ke dalam diri sendiri.
Stoisisme : Kebahagiaan dari Dalam Diri
Tokoh filsuf stoik seperti Marcus Aurelius dan Epiketos percaya bahwa manusia itu bertanggung jawab atas makna hidupnya sendiri. Pandangan mereka kebahagiaan merupakan hasil dari pengendalian diri dan kebajikan. Mereka mengajarkan bahwa harus fokus terhadap apa yang bisa dikendalikan dan menerima dengan tenang apa yang tidak bisa dikendalikan. Pada konteks ini kebahagiaan tidak tergantung pada persetujuan ataupun pengakuan orang lain, melainkan pada warna sikap batin kita terhadap hidup.Â
Eksistensialisme: Kebebasan dan Tanggung Jawab
Jean-Paul Sartre seorang tokoh eksistensialisme mengemukakan sebuah konsep yang bernama 'projet de soi' (proyek diri) bahwa manusia sepenuhnya bertanggung jawab atas makna hidupnya sendiri. Kebahagiaan menurut Sartre merupakan hasil dari kebebasan dan keotentikan dalam menjalani hidup.Â
Hal ini dapat diartikan bahwa seseorang dapat menemukan kebahagiaan dengan metode pemaknaan hidupnya sendiri, tidak memerlukan validasi orang lain. Kita dapat belajar juga dari eksistensialisme bahwa seorang manusia memiliki kebebasan penuh untuk memilih jalan hidupnya dengan demikian manusia akan mendapatkan kebahagiaan dengan tercapainya keotentikan tujuan pribadi.
Buddhisme: Pencerahan dan Kedamaian Batin
Buddhisme hadir dengan menawarkan perspektif yang unik tentang kebahagiaan. Pada ajaran budha mengenalkan bahwa kebahagiaan berasal dari pencerahan dan pelepasan dari penderitaan. Hal ini dicapai melalui meditasi, pemahaman mendalam tentang sifat dunia, dan pengembangan kualitas batin seperti kebijaksanaan dan kasih sayang.Â
Kebahagiaan dalam buddhisme tidak bergantung pada kondisi eksternal interaksi dengan orang lain melainkan dengan pikiran dan batin yang tenang terbebas dari keinginan yang tidak terkendali. Ajaran buddhisme memiliki 3 ajaran utama dari eksistensi yaitu anicca (ketidakkekalan), dukkha (penderitaan), dan anatta (ketiadaan diri).Â
Perlu memahami bahwa segala sesuatu itu sudah pasti bersifat sementara dan tidak ada yang kekal, seseorang bisa melepaskan yang menjadi keterikatan dengan penderitaan. Apabila seseorang telah menyadari bahwa tidak ada diri yang tetap dan abadi maka keinginan yang tak terkendali dan keterikatan terhadap ego akan berkurang.
Pada akhirnya kita dapat menyadari bahwa kebahagiaan tidak selalu melibatkan orang lain. Dengan melakukan eksplorasi diri yang mendalam serta mengembangkan kualitas batin, menemukan makna hidup yang otentik, menjaga keseimbangan antara fisik dan mental maka manusia dapat mencapai kebahagiaan dengan tidak tergantung pada pengakuan dan interaksi sosial. Kebahagiaan dapat disimpulkan merupakan perjalanan pribadi yang dimulai dari diri sendiri.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H