Mohon tunggu...
M.Solihin
M.Solihin Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Buramnya Pendidikan Nasional Bagaikan Kemilau Emas Tertutup Kabut Hitam

5 Mei 2016   19:00 Diperbarui: 5 Mei 2016   20:53 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

bp.blogspot.com

Pendidikan merupakan alat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Maju mundurnya suatu bangsa ditentukan oleh kualitas suatu pendidikan, karena dengan pendidikan satu-satunya cara yang mampu mencetak generasi bangsa yang cerdas untuk memajukan suatu nasib bangsa.

Melihat begitu pentingnya dunia pendidikan, maka Negara Indonesia mengamanatkannya dalam UUD 1945, dalam pasal 31 ayat 1 dan 2 yang mengatakan, bahwa setiap warga Negara berhak mendpatkan pendidikan dan pemerintah wajib membiayainya. Dengan ini diharapkan semua warga Negara dapat mengenyam yang namanya pendidikan, sehingga terwujudnya suatu peradaban yang mampu bersaing. Bukan menjadi Negara yang menjadi pasar tujuan perdagangan asing.

Namun  kenyataannya hari ini dunia pendidkan di Indonesia jauh dari apa yang diinginkan, pendidikan melenceng dari esensi pendidkan yang sebenarnya. Pendidkan kini menjadi komoditi yang diperjual belikan, hal ini terlihat jelas dengan banyaknya regulasi yang dikeluarkan tidk memihak kepada rakyat. Ini terlihat jelas dengan dikeluarkannya undang-undang sisdiknas no 20 tahun 2003 pasal 9  yang berbunyi “masyarakat berkewajiban member dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”. Selain itu ada juga beberapa kebijakan yang tidak sesuai dengan esensi pendidikan yang sebenarnya seperti; UU BHP tahun 2008 yang digantikan dengan Undan- undang Perguruan Tingggi (UUPT) No.12 tahun 2012 tentang otonomi kampus, yang kemudian dilanjutkan lagi dengan peraturan pemerintah no. 55 tahun 2013 tentang UKT.

Kebijakan-kebijakan yang di keluarkan begitu raksioner oleh pemerintah. Korban kebijakan reaksioner atas privatisasi ini adalah orang-orang miskin, matinya cabang ilmu yang tidak menghasilkan banyak uang, makin jauhnya universitas pengabdian kepada masyarakat.Dampak langsung kebijakan ini antara lain melambungnya biaya pendidikan tinggi di universitas negeri sehingga kian jauh harapan orang miskin untuk dapat mengenyam pendidikan tinggi bermutu.

Privatisasi yang memiliki maksud baik membuat setiap perguruan tinggi negeri (PTN) semakin mandiri dalam kerangka kerja ilmunya, ternyata menyimpan bara ketidakadilan sosial, melenggengkan kemiskinan, dan mencabut hak-hak orang miskin atas pendidikan tinggi yang semestinya disediakan negara. Sebab, kemandirian ternyata dipahami sekedar pembebasan universitas untuk mencari uang demi melaksanakan roda pendidikannya. 

Privatisasi semakin membuat universitas kehilangan otonomi, baik dalam kinerja intelektual maupun penelitian. Kedok ideologis dibalik privatisasi PTN adalah persaingan dan pasar bebas. Namun, yang terjadi sebenarnya adalah lepasnya tanggung jawab negara dalam memberi pelayanan publik paling eksistensial demi kelanggengan sebuah negara. Tugas negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa seperti amanat agung yang ada dalam pembukaan UUD 1945 kini menjadi sebuah dongeng bagi anak-anak bangsa Indonesia.

Yang memprihatinkan, lanjut Darmaningtyas, adanya kastanisasi ini juga telah menimbulkan dampak kapitalisasi dalam dunia pendidikan. ''Semuanya, sekarang diukur dengan uang. Sekolah saling berlomba-lomba untuk menjadi sekolah RSBI, agar bisa menghimpun dana sebesar-besarnya dari masyarakat,'' tambahnya. (www.republika.co.id)

Hal di atas terlihat jelas penerapannya di kampus No. 1 di NTB yang merupakan kampus idola bagi sebagian besar masyarakat di NTB, karena dianggap sudah menyediakan fasilitas yang sudah memadai dan biaya pendidikan dianggap dapat di jangkau oleh masyarakat menegah ke bawah. Namun melihat realita yang terjadi jauh dari apa yang dibayangkan. Terbukti dari banyak mahasiswa unram cuti paksa pada tahun 2013 berkisar 6.300 orang mahasiswa yang tak mampu membayar SPP.

Memang dalam penerapan SPP di berlakukannya UKT yang katanya dengan sistem silang dimana yang kaya membiayai yang miskin, tetapi pada kenyataannya lebih banyak orang yang sistem UKT yang diterapkan ini salah sasaran, seperti banyak mahasiswa yang ditaruh di great tiga. Dimana biaya SPPnya berkisar 2 juta ke atas, kalau kita lihat dari penghasilan masyarakat NTB berkisar 1,5 juta/ perbulan. Belum itu lagi untuk kebutuhan sehari-harinya. 

Selai biaya SPP ternya ada pungutan-pungutan liar diterapkan di dalam kampus negeri seperti; pungutan uang praktikum,  POM, IOMA. Padahal sudah jelas dalam permendikbud no. 55 tahun 2013 pasal 5 yang berbunyi “setiap perguruan tinggi negeri tidak boleh mengambil uang pangkal dalam bentuk apapun selain UKT”. (selebaran aksi aliansi rakyat untuk pembebasan, 2 mey 2016)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun