Oleh: Soleman Montori.
Santiago adalah raja III kerajaan Manganitu. Bataha Santiago, adalah nama lainnya. Bataha artinya sakti. Don Jugov (Jogolov) Sint Santiago, adalah nama lengkapnya. Lahir di Bowongtiwo-Kauhis, kecamatan Manganitu pada tahun 1622. Ia adalah raja satu-satunya di kepulauan Sangihe yang tidak mau menandatangani perjanjian dagang dengan VOC Belanda.
Bataha Santiago merupakan seorang patriot pemberani, bertubuh besar dan berpendidikan tinggi. Pada tahun 1666 saat usianya 44 tahun, ia di sekolahkan oleh ayahnya di Universitas Santo Thomas Manila, Filipina. Fransiscus Xaverius Batahi, anak dari raja Siau, Don Jeronimo Winsulangi, adalah teman kuliahnya di Filipina. Tahun 1670, ia sukses menyelesaikan kuliahnya.
Kakeknya bernama Tolosang dan dipanggil pula dengan nama Liungtolosang; ayahnya bernama Tompoliu; kakek dan ayahnya adalah raja I dan II kerajaan Manganitu kepulauan Sangihe. Charles Diamanti, Sapela, Apueng, Gaghinggihe, adalah empat orang adik Santiago.
Sekembalinya dari Filipina, Santiago diangkat menjadi datu (raja) III kerjaan Manganitu menggantikan ayahnya. Ia bertakhta dari tahun 1670-1675. Pada masa pemerintahannya, pusat kerajaan Manganitu dipindahkan dari Tatahikang sejauh 3 km ke Bowongtiwo, Kauhis, kecamatan Manganitu kepulauan Sangihe.
Selama belajar di Manila-Filipina, Santiago mengetahui banyak hal tentang misi bangsa Barat datang ke Timur. Menurutnya nusantara sedang dipermainkan oleh bangsa Barat. “Kita bukan sahabat Spanyol, juga bukan sahabat VOC Belanda, mereka hanya ingin mengambil hasil bumi kita,” kata Santiago pada suatu waktu kepada rakyatnya.
Ketika VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) mengeluarkan kontrak panjang (Lange Contract), Santiago menolaknya dan menyatakan siap berperang melawan VOC Belanda. Sebagai seorang raja terpelajar, Santiago menganggap kontrak atau perjanjian yang panjang itu merugikan rakyat dan kerajaan yang dipimpinnya. Isi Lange Contract yang ditentang oleh Santiago antara lain adalah perintah untuk memusnahkan tanaman cengkih dan semua benda yang dianggap oleh VOC sebagai simbol kekafiran.
Untuk mempertegas kontrak panjang (Lange Contract) yang sepihak itu, pihak VOC Belanda memperalat sultan Kaitjil Sibori, anak sultan Mandarsyah, datang ke Manganitu. Sibori membawa Lange Contract untuk ditandatangani oleh Santiago. Walaupun diancam akan dihukum mati oleh VOC jika tidak menyetujui, namun Santiago tetap tidak mau menandatanganinya. Sultan Kaitjil Sibori pulang ke Maluku tanpa membawa hasil perjanjian.
Tidak ditandatanganinya Lange Contract membuat VOC kecewa dan marah. Dalam menghadapi kemarahan VOC Belanda, Santiago telah siap dengan segala konsekwensinya. Ia mengumpulkan para pejabat kerajaan dan semua pihak yang terkait maupun yang akan melibatkan diri dalam peperangan melawan VOC Belanda. “I kite mendiahi wuntuang ‘u seke, nusa kumbahang katumpaeng,” yang artinya kita harus menyiapkan pasukan perang, negeri kita jangan dimasuki musuh, kata Santiago menyemangati para pejabat kerajaan dan seluruh rakyat yang hadir.
Setelah gagal dalam siasat pertama, pihak VOC Belanda membuat siasat baru, yaitu mengutus sultan Kaitjil Sibori ke Sangihe untuk mempersunting Maimuna, putri raja VI Tabukan, Markus Jacobus Dalero. Pernikahan sultan Sibori dengan Maimuna dilakukan untuk mempermudah masuknya VOC dan sekutunya ke Sangihe. Juga bertujuan agar sultan Sibori bisa tinggal lebih lama di kepulauan Sangihe dan dekat dengan kerajaan Manganitu, yang sesuai rencana akan ditaklukan oleh VOC .
Sejak saat itu, VOC Belanda dan sultan Kaitjil Sibori sebagai prins Belanda mulai berperang melawan kerajaan Manganitu. Dari Maluku, armada VOC dikirim ke Soa Tebe, yang merupakan pusat kerajaan Tabukan. Dari Tabukan, mereka menuju ke tanjung Maselihe, lalu memasuki wilayah laut di dekat tanjung Lesa. Pasukan VOC dan pasukan kerajaan Manganitu yang dipimpin oleh Santiago bertemu dan terjadi peperangan di laut.
Pertempuran berlangsung berhari-hari. Banyak korban jatuh dari kedua belah pihak. Pasukan Bataha Santiago sulit dikalahkan, sehingga membuat VOC mundur dan menghentikan perang yang sengit itu. Lalu VOC mencari siasat baru untuk mengalahkan Santiago dan pasukannya.
VOC Belanda memperalat Sasebohe dari Tabukan dan Bawohanggima dari Pensu’ untuk membujuk Santiago agar menyerah. Sasebohe dan Bawohanggima adalah sahabat dekat Santiago.Usaha mereka membujuk Santiago tidak berhasil. Santiago tetap tidak mau menyetujui isi perjanjian. Sehingga terjadi lagi pertempuran antara VOC dan pasukan Santiago.
Namun Sasebohe dan Bawohanggima yang diperalat VOC tidak menyerah membujuk Santiago. Suatu hari Sasebohe dan Bawohanggima menemui raja Bataha Santiago di Batumbakara. Batumbakara adalah sebuah benteng kecil yang disusun dari batu-batu besar. Di Batumbakara, Sasebohe dan Bowohanggima menyampaikan pesan kepada Santiago bahwa jika perjanjian dengan VOC tidak disetujui; dampaknya tidak hanya Santiago yang dihukum mati, tetapi juga rakyat, keluarga dan kerabat kerajaan Manganitu juga akan dihukum.
Usai mendengar pesan kedua sahabatnya, Santiago langsung turun ke pantai Paghulu Manganitu, kepulauan Sangihe. Di pantai sudah menunggu perahu VOC dan perahu yang dinaiki sultan Kaitjil Sibori. Santiago menaiki perahu VOC. Keluarga, sahabat dan teman-teman seperjuangan dan orang-orang yang mencintainya tak dibolehkan oleh VOC ikut menemaninya. Sebelum perahu bertolak dari tepi pantai Paghulu, Santiago meneriakan kembali kalimat yang selalu diucapkannya dalam peperangan, “Nusa Kumbahang Katumpaeng,” yang artinya negeri kita jangan dimasuki musuh.
Dari pantai Paghulu-Manganitu, perahu yang membawa Santiago berlabuh di pantai Bungalawang-Tahuna, lalu Santiago dibawa ke kantor VOC di dekat tanjung Tahuna (kini menjadi kantor Kodim/1301 Sangihe).
Setibanya di kantor VOC, perwakilan dari Gubernur Padtbrugge sudah menunggu Santiago; di atas meja sudah disiapkan Lange Contract untuk ditandatangani oleh Santiago, namun Santiago tetap pada pendiriannya; ia tidak mau menandatangani perjanjian sepihak itu.
Santiago sudah siap dengan konsekuensinya. Ia dihukum mati akibat penolakkannya terhadap Lange Contract .VOC menyiapkan satu regu tembak. Saat itu juga eksekusi dilakukan. Semua peluru yang disiapkan telah dimuntahkan, namun tidak ada satu pun peluru yang tembakkan oleh regu penembak berhasil menembus tubuh sakti Santiago.
Tim eksekutor takut bercampur heran, lalu mengubah cara eksekusi. Mereka membawa Santiago ke tanjung Tahuna, lalu sang pahlawan heroik digantung di atas tiang gantungan. Pada saat hendak dinaikkan di tiang gantungan, Santiago membangkitkan semangat patriotisme para pejuang dengan kalimat, “Biar saya mati di tiang gantung daripada tunduk kepada penjajah.” Saat itu juga, sang pahlawan mati pada seutas tali di tiang gantungan. Menjelang senja, mayat sang raja pemberani diturunkan dari tiang gantungan.
Walaupun Santiago telah meninggal, namun sultan Kaitjil Sibori yang merupakan antek/kaki tangan (handlanger) VOC Belanda tidak yakin kalau Santiago yang sakti, yang tubuhnya tidak bisa ditembus dengan peluru, bisa mati dengan seutas tali. Lalu ia memerintahkan salah seorang anggota pasukannya memenggal kepala Santiago. Hal tersebut dilakukan sebagai cara untuk membunuh orang sakti pada saat itu dan untuk memastikan bahwa Santiago benar-benar telah mati.
Menjelang subuh, Sapela adik Santiago, datang seorang diri di lokasi penggantungan untuk mengambil mayat kakaknya, Santiago. Tubuh Santiago yang sangat besar tak mampu diangkatnya. Ia hanya bisa membawa kepala Santiago dengan sebuah perahu menuju ke istana raja di Bowongtiwo.
Namun perkiraan Sapela tiba di Bowongtiwo masih dalam keadaan gelap meleset. Saat ia berada di desa Paghulu, hari sudah mulai terang, sehingga sangat beresiko baginya membawa kepala Santiago sampai di Bowongtiwo. Pasti akan diketahui oleh VOC dan kaki tangannya. Agar tidak ketahuan oleh VOC, Sapela membelokan haluan perahunya menuju ke salah satu pantai di desa Paghulu, lalu ia menguburkan kepala kakaknya, Santiago, beberapa meter di atas pantai. Ia kuburkan di antara akar pepohonan besar, yang hanya ditandai dengan tumpukan batu. Nama tempat tersebut adalah Nento di desa Karatung-Paghulu kecamatan Manganitu.
Sejak kematian Santiago tahun 1675, tak ada yang tahu pasti letak kubur kepalanya, selain Sapela dan orang-orang yang dekat dengan kerajaan Manganitu. Kubur kepala sang hero yang dirahasiakan keberadaanya itu setelah 275 tahun tersibak pada akhir tahun 1950, sehingga letak pasti kubur kepala raja Santiago yang sebelumnya siampang siur itu diketahui oleh masyarakat luas. Sedangkan tubuh Santiago diduga dikuburkan di tanjung Tahuna, di tempat ia dihukum mati, yang saat ini diberi nama kelurahan Santiago.
Charles Diamanti, adik Santiago, naik takhta kerajaan menggantikan Santiago. Dimanti merupakan raja kerajaan Manganitu yang ke-4. Pada saat pemerintahannya, ia menandatangani Lange Contract dengan VOC pada tanggal 10 Desember 1677. Sejak ditandanganinya kontrak dagang atau kontrak panjang (Lange Contract) dengan VOC, kerajaan Manganitu tunduk pada kehendak VOC Belanda.
Bagi masyarakat Sangihe, nama Santigo tercatat dalam sejarah sebagai ikon perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Jiwa patriotismenya telah diabadikan dalam bentuk patung di Miangas, yang merupakan daerah perbatasan antara Indonesia dan Filipina. Untuk mengenang jasa dan perjuangannya, di lokasi eks sang hero mengorbankan nyawanya, yakni di sebuah tanjung di desa Bungalawang-Tahuna didirikan markas Kodim 1301/Sangihe. Bentuk penghormatan lainnya pada tahun 1964, nama sang pahlawan diabadikan menjadi nama Korem 131/Santiago provinsi Sulawesi Utara.
Santiago menjadi terkenal dengan cara yang benar. Keberanian dan pengorbanannya membela kebenaran membuatnya terus dikenang. Ia adalah pahlawan yang gagah berani. Bagi kami kau pahlawan. Sudah tiga ratus tahun lebih berkalang tanah, namun namamu belum tercatat dalam deretan pahlawan nasional.
Hasil dan perjuangan Santiago dalam perlawanan heroiknya terhadap kolonialisme Belanda tidak dapat dilupakan oleh masyarakat Sangihe. Bagi masyarakat Sangihe, Santiago merupakan simbol perlawanan dan pembangkit semangat nasionalisme.
Di dalam keluarga, Santiago adalah contoh seorang anak yang santun dan bertanggung jawab. Sejak kecil ia telah diajari etika dan tanggung jawab oleh kedua orang tuanya. Tompoliu, ayahnya, menyebutnya I akang ganting gaghurang, yang artinya anak sulung pengganti orang tua.
Usia kematian sang hero dari tahun 1675 sampai tahun 2015 ini telah mencapai 340 tahun. Mengapa begitu lama tidak diusulkan oleh legislatif dan eksekutif sebagai pahlawan nasional? Penulis berharap, legislatif, eksekutif, bupati/wakil bupati yang ada dan atau bakal calon bupati/wakil bupati Sangihe berikutnya (jika ingin terpilih), atau masyarakat yang peduli dan mencintai kepulauan Sangihe hendaknya memperjuangkan sang hero sebagai pahlawan nasional.
Wacana kepulauan Sangihe menjadi provinsi Nusa Utara akan lebih lengkap jika didahului usulan ke pemerintah pusat melalui Kementerian Sosial untuk menetapkan Santiago sebagai pahlawan nasional. Di provinsi Sulawesi Utara, kepulauan Sangihe memiliki usia paling tua (590 tahun pada 2015 ini) dibanding kabupaten/kota lainnya yang usianya relatif muda, namun telah memiliki sejumlah pejuang yang bergelar pahlawan nasional. SOL***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H