"Kapan ibu pulang pa?"
"Nanti. Ibu akan pulang dan bersama lagi."
"Saya bisa peluk ibu pa?"
Jaka Watuan terdiam. Ia berat untuk mengatakan iya karena itu berbohong. Â "Bisa, tapi hanya hati dan perasaanmu yang memeluk ibu."
"Maksud bapa?"
"Kau akan tahu nanti jika sudah dewasa."
"kapan itu pak?"
"Nanti."
Jaka Watuan bercerita tentang peri-peri di surga yang menemani ibunya. Yang selalu mendengar apa yang dikatakan si ibu, yang selalu bertawa ria dan bermain-main di taman di setiap ada mau, yang berjanji akan turun ke bumi untuk menemani anak-anaknya saat bulan setengah di malam yang tak ada hujan. Sampai anak-anaknya terkulai diberangus kantuk dan tidur bersama mimpi kelanjutan cerita bapanya.
Saat malam dengan semeribit angin membawa wewangian lembut dari bukit Wungu, Jaka Watuan faham betul. Ia akan menengok anaknya di kamar tidur, membisikkan kata, "tidur yang nyenyak nak, sampai bapa pulang." Mandi lagi, membersihkan badan dari keringat, membasuh rambut dan muka. Duduk bersila sebentar dan mengucap, "aku akan datang untukmu. Untukmu."
Lewat pintu belakang Jaka Watuan keluar rumah, berhati-hati menggeser pintu anyaman bambu agar tak berderit. Berdiam sebentar dan mengeluarkan nafas perlahan di depan pintu setelah menutupnya. Berjingkat-jingkat beberapa langkah, kemudian mantap menuju ke puncak bukit Wungu. Langkahnya seperti di atas angin, tak menimbulkan bunyi. Menyelinap jika ada orang yang mungkin bisa tahu kepergiannya. Nafasnya yang mestinya terengah-engah, halus nyaris tak bersuara. Matanya tajam menembus langit malam yang hanya di sinari bintang dan bulan yang terhalang awan beringsut.