Jika Pada batu itu terdapat sebuah gambar bekas orang terlentang bertahun-tahun pada satu tempat, sehingga timbul membekas. Bekas tungkak kaki, betis, bokong, punggung, kepala, semua tergambar dengan jelas. Untuk bagian tangan agak tak jelas, ada beberapa bekas dengan lengan yang sama dan cakaran-cakaran kuku. Jika bekas telapak kaki Raja Purnawarman, di prasasti Ciampea sebagai simbol atas kekuasaannya di wilayah itu. Gambar di batu yang ini belum ada peneliti yang membacanya. Belum ada tulisan yang bisa di baca. Ada garis-garis seperti gambar uap yang menari, seperti jejak kaki-kaki penari balet.
Sebuah cinta sejati. Jaka Watuan dan Sri Wangi. Semua indah, sederhana, mengesankan tak ada perasaan berat, saling mengisi, saling mengerti, saling memahami. Semakin bertambah waktu, semakin tumbuh cinta mereka. Pada sebuah rumah sederhana mereka tinggal. Di tepi sebuah sungai yang mengalirkan air jernih sepanjang tahun. Di seberang sungai, sawah tempat mereka menanam padi dan sayur-sayuran, meski tak begitu luas, cukup untuk makan sehari-hari. Jika padi mulai menguning mereka disibukan mengusir burung pipit yang datang bergerombol memakan bulir-bulir padi yang padat berisi. Jaka Watuan membuat bambu yang dibelah digantungkan pada tiang-tiang bambu yang ditancapkan di beberapa tempat. Tiang-tiang bambu itu diikat dengan temali sambung menyambung yang ujungnya diikatkan  pada tiang teras rumah. Jika temali itu ditarik-tarik, maka bilah bambu itu menimbulakn bunyi sehingga burung-burung pipit akan terbang menjauh.
Mereka dikaruniai dua anak laki-laki yang  sehat. Selisih tiga tahun umurnya, yang pertama umur lima tahun. Tak ada tanda-tanda Sri Wangi punya sakit berat, sampai pada suatu malam yang dingin dan pekat, ia meggelinjang sakit perut. Ia mengerang menahan sakit yang tak pernah sebelumnya dirasakan. Keringat dingin merembes dari seluruh pori-pori kulit.
Seluruh keluarga sibuk, takut, tak tahu apa yang terjadi dan apa yang seharusnya dilakukan untuk menolong Sri Wangi. Dalam kekalutan, Suarman, kakak Sri Wangi, segera memanggil orang pintar yang biasa bisa menyembuhkan penyakit. Jaka Watuan berlari ke dokter terdekat, memohon pertolongan segera. Ketika Suarman dan Jaka Watuan pulang, Sri Wangi sudah tiada, wajahnya sudah tenang tanpa ada rasa menahan sakit. Jaka Watuan berdiri kaku tak bergerak, tak menangis, tak bicara, tak percaya keadaan. Diam tak mengerti.
Kabar kematian segera merebak, sekejap seluruh penduduk desa tahu. Kerabat bergegas datang, berbela sungkawa, menyumbang tangis histeris, dramatis. Di rumah Jaka Watuan, seluruh kesedihan menumpuk di situ. Paginya, sebelum matahari menyengat bumi, jenazah Sri Wangi di kebumikan. Beberapa kerabat bertahan sampai sore ikut menyangga beban duka. Malamnya, kerabat dan tetangga melakuakn tahlilan, mendo'akan arawah Sri Wangi. Seperti kematian yang lainnya, kesedihan perlahan menguap. Waktu menjadi obat yang baik dan tak tergesa-gesa bagi kerabat dekat. Dan bagi Jaka Watuan dan kedua anaknya, mereka tak mempercayai Sri Wangi, istri dan ibu, telah mati. Langit terus berganti-ganti malam-siang. Semua menguap tentang kematian Sri Wangi, dan tidak bagi Jaka Watuan.
Sejak malam pertama kematian istrinya, Ia selalu datang ke makamnya dimalam hari, Ia tunggui sampai pagi. Beberapa kerabat yang tahu mengkhawatirkannya, tapi Jaka Watuan tetap selalu menunguinya tak peduli hujan, tak peduli angin malam yang tajam. Ki Sariko, saudara jauh Jaka Watuan yang rumahnya tak jauh dari makam kadang sering membujuk untuk segera pulang dengan merayunya, "Kamu harus ikhlas Jaka, kasihan anakmu di rumah jika sering kau tinggalkan begini." Kadang Jaka Watuan menurutinya, kadang hanya memandangi dengan tatapan mata yang tak dapat dimengerti.
"Kau tahu paman, istriku sering menemuiku, hampir setiap aku ke sini. Meski kadang hanya tersenyum saja kemudian pergi lagi. Tapi itu sudah cukup bagiku, paman. Kemarin malam  Ia mengajakku ke puncak bukit Wungu. Tapi belum aku turuti. Anak-anak belum dikasih tahu. Mungkin besok malam aku akan bertemu di sana."
Ki Sariko terdiam. Ia maklum dan hanya bisa merayunya agar segera pulang untuk menjaga kesehatan dan juga kasihan pada anaknya di rumah. Sejak malam itu, saat malam berangin tenang, saat bintang bergemerlap, saat sinar bulan membasuh malam, saat tak ada angin, Jaka Watuan selalu ke puncak bukit Wungu setelah sebelumnya ke makam istrinya. Sebuah bukit yang di tumbuhi pohon Wungu besar dengan lempengan-lempengan batu pipih yang berderet berjajar. Paginya, Ia kadang bercerita pada anaknya.
"Semalam bapa ketemu ibu."
"Dimana pak? Kenapa saya nggak di ajak? Saya kan kangen sama ibu."
"Kamu belum boleh sayang. Jika kamu maksa, nanti ibu jadi nggak bisa pulang ke rumah. Kamu harus nurut jika kamu ingin ibu pulang."