Mohon tunggu...
Soleh Djayim
Soleh Djayim Mohon Tunggu... karyawan swasta -

hanya seorang staf rendahan (kuli) di sebuah BUMN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

DANGDUT WAS DEATH

25 Oktober 2013   13:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:03 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Musik Dangdut, sebagi musik asli Indonesia mengalamai pasang surut dalam lembaran sejarah Budaya Indonesia. Di era 70an, mereka yang kurang menyenangi musik Dangdut seringmenyebut musik Dangdut sebagai musik kampungan. Musik dangdut yang pada era itu kedengaran sederhana dianggap musik yang hanya digemari oleh orang-orang pedesaan. Tapi, tak dapat dipungkiri, para penikmat dan penyuka musik dangdut menyebar diseluruh pelosok negeri. Sebutan musik Dangdut tadinya sebagai olok-olok kalau musik dangdut itu didominasi suara gendang dengan bunyi ‘dang dut’ dan dianggap sebagi bentuk rendah budaya popular pada era itu.

Musik Dandut juga sering disebut Musik Melayu, karena musik ini berkembang dari core musik melayu. Musiknya yang mudah dinikmati dan gampang dimainkan menjadi lebih cepat berkembang dibandingkan genre musik lain seperti musik jazz atau yang lainnya. Pada dasarnya, kebanyakan orang berkeinginan untuk bisa menikmati apasaja, termasuk musik dengan sederhana tetapi dapat menghibur dan memberi kepuasan batin. Sifat menghibur ini yang membuat musik Dangdut menjadi gampang diterima dan menjadi musik yang begitu banyak penyukanya di seluruh pelosok Nusantara dan di segala lapisan masyarakat.

Rhoma Irama adalah orang yang ‘mengangkat’ musik Dangdut yang tadinya di katakan musik kampungan, menjadi musik yang penuh gairah dan menjadi punya greget. Lewat album Begadang, Rhoma Irama memulai memoles musik Dangdut menjadi semakin menarik dan melewati masa ‘musik kampungan’ dan mematahkan anggapan sebagian orang yang menilai sebagai musik kampungan. Rhoma Irama pun di baiat oleh pecinta musik Dangdut sebagai Si Raja Dangdut mendampingi Elvi Sukaesih yanglebih dulu menyandang Ratu Dangdut.

Musik dangdut mengalami perkembangan dengan kontaminasi jenis musik lain atau juga kolaburasi dari satu dua jenis musik. Perkembangan ini semakin menambah kegairahan musik Dangdut. Penyanyi-penyanyi Dangdut menjadi publik figur dan artis papan atas. Sampai di pelosok pun banyak grup Dangdut yang mendapatkan rejeki yang lumayan dengan mengadakan pentas dari panggung ke panggung. Musik dangdut menjadi lahan mencari rejeki yang begitu luas dan besar karena penggemar musik ini begitu banyak di setiap tempat. Musik Dangdut kemudian berkembang menyatu dengan musik-musik tradisonal. Di jawa Musik Dangdut melahirkan Musik Campur Sari dengan khas budaya Jawa-nya. Di panggung-panggung modern, seperti di gedung kesenian dan di studio televisi, musik dangdut dimainkan dengan iringan orkestra yang menakjubkan. Musik Dangdut menjadi tak lagi menjadi musik kaum pinggiran.

Suara khas ‘dang dut’nya dan rancak permainan gendang, yang selalu mengoda orang untuk bergoyang membuat banyak penyanyi Dangdut menciptakan goyangan-goyangan yang unik dan khas. Maka terciptalah image, Dangdut tanpa bergoyang tak sempurna, seperti sayur tanpa garam. Berkembanglah kemudian model goyang dangdut di panggung-panggung. Pentas di lapangan terbuka, di gedung, di rumah orang hajatan, musik Dangdut menjadi pengiring goyangan para penyanyi. Kemajuan teknologi informasi dan teknologi audio visual, dan keberanian dan kejelian orang memanfaatkan kebebasan, mendukung perkembangan model goyang dangdut.

Goyang dangdut terus berkembang dengan ciri khas dari masing-masing ‘penggoyang’. Ia berkembang dan tanpa tolah toleh tentang kepatutan, kepantasan, norma sosial, budaya, malu, agama, dan pengaruh mental. Mereka berlari mengejar uang, melupakan estetika budaya lokal dan agama. Apa yang disebut kebebasan berpendapat dan berkesenian di manfaatkan seluas-luasnya. Berlindung di bawah payung seni dan kesenian, lahirlah goyangan-goyang seronok. Ketika ada sebagian orang yang merasa peduli dengan musik dangdut, merasa perlu menjaga norma-norma yang ada di masyarakat menyatakan keberatan dengan goyangan seronok, media massa yang sedang gagah-gagahnya menggusung kebebasan pers, memblow up-nya dan meboyong ke panggungnya, menyuguhkan ke rumah di seluruh pelosok negeri. Goyangan seronok itu sengaja di kontroversikan, dan kontroversi hasil ‘masakan’ media massa menyedot begitu banyak orang untuk melihat. Apa yang diharapkan tercapai, mengalirlah uang dari hasil itu kepada para pelakunya.

Pertengahan tahun duaribuan perkembangan musik Dangdut berhenti, bahkan jalan di tempat pun tidak. Yang berkembang adalah model-model goyangan yang berlomba-lomba untuk seronok dan di unik-unik-kan. Penyanyi dangdut dipanggung hanya menutur lagu-lagu yang ada atau lagu-lagu dari genre lain dengan di dangdutkan. Kreativitasnya jauh tertinggal oleh musik campur sari yang lahir di Jawa Timur. Cd-cd hasil rekaman di panggung-panggung pentas Dangdut, bertebaran di seluruh kota dan pelosok-pelosok negeri. Akses internet yang semakin mudah dan kanal Youtube menjadi wadah yang efektif menampung ego mereka. Mereka para penggoyang Dangdut berlomba membuat model goyangan se-seronok mungkin. Semakin seronok seolah mereka semakin bangga dan tak terpikirkan hal lain kecuali uang dan ketenaran.

Musik Dangdut tak lagi mengiring penyanyi bernyanyi. Musik Dangdut muncul dengan suara gendangnya dan lontaran-lontaran kata-kata dari para pemusik dan penyanyi, telah beralih menjadi pengiring orang untuk berjoget. Sangat sering lontaran kata-kata (senggakan) bernada dan bersuara porno, dengan gerakan goyangan yang mendukung itu. Suara si penyanyi menjadi tak penting dan dikesampingkan. Mereka sibuk membuat sensasi-sensasi porno mengiringi orang bergoyang, menggiring orang berfantasi seksual. Penyanyi-penyanyi Dangdut perempuan itu memamerkan porno aksi sambil menunggu ada pihak yang mempermasalahkan untuk mengambil kesempatan, bersenggugukan menangis merasa tak bersalah dan merasa tak mengerti di televisi, dan berharap memperoleh simpati seperti yang sudah beruntung berhasil.

Musik Dangdut menggelepar-menggelepar di panggung dipaksa mengiringi penggoyang seronok (bukan penyanyi dangdut). Atas nama kebebasan berkreasi dalam berkesenian, mereka pongah memporak-porandakan Musik Dangdut. Menginjak-injak, mengubur dalam lumpur terus menerus. Musik Dangdut sudah mati di tangan mereka. Beruntunglah, musik dangdut masih hidup pada pemusik lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun