Mohon tunggu...
Soleh Djayim
Soleh Djayim Mohon Tunggu... karyawan swasta -

hanya seorang staf rendahan (kuli) di sebuah BUMN

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Pertaruhan Itu Disebut Demokrasi

3 Mei 2014   01:51 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:55 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata Demokrasi ini berasal dari bahasa Yunani (dēmokratía) "kekuasaan rakyat", yang terbentuk dari (dêmos) "rakyat" dan (kratos) "kekuatan" atau "kekuasaan" pada abad ke-5 SM untuk menyebut sistem politik negara-kota Yunani, salah satunya Athena; kata ini merupakan antonim dari (aristocratie) "kekuasaan elit"(sumber: wikipedia). Salah satu syarat sebuah negara adalah rakyat, dan rakyat pasti jumlah lebih banyak daripada penguasa yang disebut pemerintah. Untuk melanggengkan dan mengamankan kekuasaanya, pemerintah biasanya menggunakan alat; mliliter, Polisi, peraturan-peraturan yang mengikat (hukum), hirarki pemerintahan sampai ke tingkat wilayah terkecil (desa), agar segala kebijakan dan keputusan pemerintah pusat yang mewaklili negara bisa efektif berjalan sampai ke rakyat.

Rakyat yang jumlahnya lebih besar tentu tidak ingin segala gerak gerik dan tindakannya selalu dibatasi oleh peraturan-peraturan yang dibuat sepihak oleh sang penguasa. Hal ini yang kemudian muncul sebuah kegiatan yang disebut demokrasi. Sebuah kekuasaan yang dibentuk oleh suara rakyat terbanyak. Masing-masing rakyat mempunyai hak suara yang sama, tidak mengenal kasta atau apapun sejenisnya membedakan dalam strata sosial. Ini tentu menjadi keuntungan bagi kebanyakan rakyat yang berkeinginan bahwa suaranya sekali waktu bisa di dengarmeski hanya mereka ‘dibutuhkan’ hanya pada saat pemilu legislatif, pilpres dan pilkada.

Untuk memperoleh kekuasaan itu, para calon penguasa berlomba dengan berbagai cara utnuk menarik simpati para empunya suara agar pada pemilihan umum nanti mendukungnya. Pendekatan sosial, pendekatan senasib sepenanggungan, bertindak empati dan menampakan diri bahwa dirinyalah yang akan membawa rakyat menjadi sejahtera, adil makmur dalam kehidupan yang aman dan menyenangkan. Suatu rancangn rencana pun disusun untuk menyakinkan para pemilik suara.

Dan, maka siapa pun mereka yang bisa mengumpulkan suara rakyat terbanyak, merekalah yang berkuasa, baik di pemilihan legislatif, pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah. Tak perlu orang yang pintar atau jenius untuk memenangkan sebuah pemilihan umum. Yang diperlukan adalah bagaimana Ia bisa membuat seseorang memilih dia. Seseorang yang mempunyai latar belakang kurang baik dalam adat istiadat atau norma-norma yang berlaku, asal ia mendapat suara terbanyak, ia akan menikmati sebuah kekuasaan. Katakanlah, seseorang yang malima-nya baik, asal secara de yure ia tidak terbukti bersalah dan sanggup mengumpulkan suara yang terbanyak karena pergaulannya yang luas, maka ia berhak memenangkan pemilu. Tak perlu dipertanyakan apakah nanti sanggup untuk menjadi wakil rakyat yang mampu menampung aspirasi rakyat, atau apakah ia bisa berinovatif dan kreatif untuk menyejahterakan rakyat seperti janji-janjinya saat pemilu.

Ketika rakyat telah pada tingkat kepercayaannya menurun pada wakil rakyat (DPR), saat pemilu tiba, rakyat sudah tak lagi mendengarkan janji-janji para calon legislatif. Sebagian rakyat sudah tak mau membuka telinga, membuka mata, bahwa masih banyak caleg yang kredibel dan tak sejelek yang mereka kira. Tetapi, fakta-fakta yang ada terjadi membuat rakyat menjadi mutung (ngambek) dan memilih bersikap; kau berani memberi apa pada kami maka akan kami pilih kamu. Pada dunia politik ini di sebut money politic, dan rakyat tak peduli. Janji-janji pada masa kampanye tak digubris dibiarkan lewat tak didengar. Para rakyat tak ingin tertipu lagi.

Negara menjadi pertaruhan dalam sebuah sistem yang disebut demokrasi. Siapa saja yang bisa membuat rakyat memilihnya dalam sebuah pemilu (legislatif, presiden dan kepala daerah). Tak perlu seorang ahli tata negara, ahli ekonomi, ahli hukum atau ahli-ahli lain untuk bisa menduduki kursi kekuasaan. Peraturan-peraturan yang membatasi seseorang untuk ikut menjadi caleg, capres, cakada, bisa saja nanti diperlonggar atau dipersempit tergantung pada kebutuhan dan keinginan mereka yang sedang berkuasa. Mereka atas nama wakil rakyat bisa saja melegalkan sesuatu yang sebelumnya dianggap melanggar hukum dengan cara mengganti peraturan atau undang-undang yang telah ada.

Demokrasi itu sebuah pertaruhan. Arah negeri ini tergantung pada mereka yang berkuasa dari hasil sebuah pertaruhan yang disebut demokrasi yang sedang digadang-gadang oleh Negara Indonesia untuk menyejahterakan seluruh rakyat dari sabang sampai merauke.

Jika orang yang baik-baik kepeduliannya terhadap pemilu kurang dan mereka enggan ke TPS untuk memberikan suaranya pada calon penguasa yang baik-baik dan kredibel, dan kalah oleh orang-orang yang siap mendukung siapa saja yang penting mau membayar, bisa saja mereka yang ambisius kekuasaan untuk memperoleh uang, menjadi penguasa. Atau jika orang-orang yang baik-baik, pintar, kredibel, sudah tak ada lagi yang mau terjun ke dunia politik, (karena politik itu kotor), maka merekalah yang tidak baik-baik dan tidak kredibel akan menjadi penguasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun