Apa yang saya alami sejak bangku SD hingga hari ini, entah mengapa kedewasaan itu terkadang harus mencari jati dirinya sendiri tanpa melalui teori yang diterima di jenjang pendidikan formal yang telah aku lalui. Pikiran ini kadang sering terlintas dan bahkan mengahantui tiap langkahku. Pernah saya berkesimpulan, apakah ini pola pendidikan yang selama ini saya ikuti cukup seperti inikah membuka cakrawala pemikiran.Â
Hari demi hari keberanian untuk memilih pada barisan "open minded"Â tampaknya susah dan kerapkali nihil terbangun dari pola pendidikan formal yang kini berlangsung. Entah apakah ini yang hanya saya rasakan? ataukah dialami pula oleh pribadi lain di luaran sana.
 Kurikulum yang di-setting sedemikian rupa nampaknya membatasi ruang dan waktu bagi siswa untuk melirik membaca dan mempelajari buku-buku besar yang dapat merubah pemikiran dan cakrawala analisis dan daya kekritisan. Serasa apa yang aku dapat selama 9 tahun di dunia pendidikan tingkat dasar belum cukup memberikan hasil yang maksimal bagi kedewasaan. Ini hanya uneg-uneg dan berkecamuk di otak saya.
Membaca sejarah atau biografi orang besar, tidak sedikit mereka menentukan jalur/arah pemikirannya melalui proses perenungan atau "kontemplasi".  Tanpa ketekadan niat dan keberanian untuk menjadi beda dengan yang sudah biasa, nampaknya sulit menemukan jati diri yang sesungguhnya. Kenapa demikian? Berfikir jernih dalam proses kontemplasi mampu menentukan langkah progresif untuk menjadi pribadi tangguh dan tidak nyinyir. Bagaimana dengan anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H